Veritas

Prabowo Subianto: Antara Dorongan Nietzschean dan Alfred Adler

Barangkali, dengan cara berpikir Adler itu, menjadi presiden bagi Prabowo bukan jawaban klise seperti yang terucap dari lidah murid TK sebagai hasil pengondisian sadar belaka. Diangkat sumpah sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan Republik Indonesia, tampaknya telah menjadi harga mati.

Oleh     : Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Kalau ada banyolan tak lucu dan lebih terasa cenderung menghina bahwa pada Pilpres 2024 mungkin saja Prabowo Subianto terpilih justru karena publik bosan melihatnya terus-menerus menjadi calon presiden, hal itu bukan tidak mungkin terjadi. Tetapi tentu bukan karena kebosanan publik—yang pasti cuma humor hitam–, melainkan karena memang Prabowo—pada akhirnya– pantas untuk itu.

Bagaimana tak pantas, karena waktu pun telah membuktikan keras dan teguhnya sikap Prabowo tersebut. Pada Pilpres 2024 nanti ia tercatat akan berkontestasi untuk keempat kalinya. Bahkan lima kali, bila keikutsertaannya dalam Konvensi Partai Golkar 2004—yang dimenangkan Wiranto-Gus Solah—turut kita hitung.

Prabowo mulai masuk gelanggang Pilpres saat mendampingi capres Megawati Sukarnoputri pada Pilpres 2009. Hasilnya, kalah. Kedua, saat menjadi capres berpasangan dengan Hatta Rajasa, dengan hasil serupa pada 2014. Ketiga, di 2019 ketika kembali tampil dengan sekondan Sandiaga Uno. Kali ini tak ada yang bisa menyebutnya kalah, karena toh akhirnya masuk juga di kabinet Jokowi dan turut memerintah. Belakangan, mungkin dengan cara itu Prabowo bisa menjaga penampilannya di depan publik, hingga tetap menjadi tokoh yang pantas diperhitungkan.   

Ada satu hal yang tampaknya luput dari perhatian publik.  Meski kita tak melihat Prabowo mengalami trauma, tiga kali kegagalan berturut-turut dalam kontestasi Pilpres sejatinya tak mungkin tidak membawa persoalan batin tertentu kepadanya. Setidaknya, bagaimana mungkin hal itu bahkan sama sekali tak membuat Prabowo rikuh dan jengah. Tiga kali—selama lima belas tahun berturutan–bukan waktu yang singkat. Kadang, pada beberapa budaya suku tertentu di Tanah Air, kegagalan tiga kali sering dianggap pertanda untuk mulai mengambil sikap ‘menerima’.

Di Tanah Pasundan dikenal istilah nista, maja, utama. Dalam kamus Sunda-Indonesia susunan Maman Sumantri, dkk (1985), arti nista, maja, dan utama adalah sebagai berikut: nirca atau nista artinya satu, tapi juga aib; menyimpang dari ajaran agama. Maya atau maja artinya sedang, sementara utama artinya (sudah) cukup. Pemakaiannya dalam kalimat, misalnya: “Lain ukur sakali dua kali manéhna nganyerikeun haté kuring. Geus nista maja utama. Moal diantep ayeuna mah — Bukan sekali dua dia menyakiti hati saya. Sudah nista maja utama. Tak akan lagi saya biarkan.”  Dengan kata lain, nista-maja-utama itu bisa berarti ‘geus kaleuleuwihi’ atau sudah keterlaluan. Bahasa Inggris punya istilah yang khas untuk itu: ‘enough is enough’.

Artinya, untuk bisa berazam ikut kembali dalam Pilpres 2024, Prabowo tentu telah mengalahkan musuh terbesar yang terus-menerus membisikinya dengan keraguan, bimbang, sangsi bahkan bukan tak mungkin pula was-was: dirinya sendiri. Maka manakala hambatan itu telah dikalahkannya, sebagai warga, apalagi yang bisa kita lakukan selain memberi selamat padanya? Toh itu hak pribadinya yang tak mungkin kita halangi.

Memang, kadang masih tersisa pertanyaan, kalau urusannya mengabdi negara, bukankah tidak selalu harus dengan mengabdi sebagai presiden negeri ini? Tetapi persoalannya, kalau itu yang ada dalam hati dan menjadi keyakinan seseorang, apa hak orang lain untuk mempertanyakannya?

Sebagaimana dikatakan Prabowo dalam wawancaranya dengan Najwa Shihab, majunya ia di Pilpres hingga empat kali adalah wujud baktinya kepada bangsa dan negara. “Dari kecil saya dibesarkan sebagai pendekar, ksatria, pejuang yang ingin berbakti pada negara dan bangsa,”ujar Prabowo program “Mata Najwa”, Jumat, 30 Juni 2023. Keinginannya untuk kembali mencalonkan diri sebagai capres itu pun karena merasa diri kian diberikan kesempatan oleh Tuhan belajar masalah bangsa dan negara. “Jadi saya merasa terpanggil. Saya harus menyediakan diri, menawarkan diri untuk saya bisa berbuat, mengabdi, memberi sumbangsih saya yang terbaik pada bangsa dan negara,”kata Prabowo, tegas.

Tetapi tentu saja jawaban itu bagi banyak orang ‘’terlalu Humas”. Seorang netizen, Nazlira Alhabsy, dalam media sosialnya, akun Twitter @Naz_lira, yang beberapa hari lalu sempat ramai menjadi perbincangan, mengatakan, Prabowo dalam sebuah video di YouTube sempat “keceplosan” tentang raison d’etre majunya kembali ke kontestasi Pilpres 2024.

“Ada yang tanya, “Kenapa Prabowo kok ambisius sekali ingin berkuasa ya?” tanyanya dalam posting berjudul “Keceplosan Itu Wajar”.  “Saya jawab di sini ya,” tulisnya lebih lanjut. Ia lalu menunjuk sebuah video yang menurutnya merupakan “ambisi tersembunyi yang dipertontonkan”. Nazlira mempersoalkan kalimat Prabowo dalam video yang mengatakan,”Karena kita ingin berkuasa untuk melayani rakyat”, yang menurutnya—katakanlah—salah. Seharusnya, kata Nazlira, bukan keinginan berkuasa yang ditonjolkan, tetapi keinginan melayani yang dikedepankan.

Baginya, pernyataan “kita ingin berkuasa untuk melayani” itu lebih mendekati representasi seorang Tuan terhadap burung peliharaannya. “Diberi makan, dirawat, tapi diberangus kemerdekaannya. Dikurung dalam kandang untuk dinikmati keindahannya. Bahkan jika Tuan mau burung bersuara seperti yang diharapkan, maka diberikanlah contoh suara sesuai dengan yang diinginkan,”tulis Nazlira.

“Logika ini tak mungkin dimungkiri (–koreksi redaksi dari “dipungkiri) karena “berkuasa” adalah idiom yang khas dari gramatikal absolut atau yang bersifat mutlak. Kata “berkuasa” adalah satu sematan untuk tujuan menempatkan diri di atas kepentingan orang banyak,”tulis Nazlira. Ia menganjurkan, Prabowo seyogyanya memilih kalimat,”Kita tidak ingin kekuasaan, tapi kita ingin diberi izin dan diberi mandat oleh pemilik kekuasaan untuk melayaninya.”

Posting itu diakhiri Nazlira dengan kalimat,”Andai pun hasrat berkuasa Pak Prabowo memang sudah membuncah dan meletup-letup, saya tetap tak ingin terpancing untuk menyudutkan Pak Prabowo, apalagi menuding ….” dan seterusnya.

Posting Nazlira di Twitter-nya itu wajar kalaupun menjadi sebab terangkatnya kembali wacana yang pernah diangkat sastrawan, filsuf dan filologis Jerman, Friedrich Nietzsche, tentang motivasi awal perbuatan manusia, di masa lalu. Nietzsche berkeyakinan akan apa yang disebutnya ‘kehendak berkuasa’-–The Will to Power–sebagaimana menjadi judul buku yang disusun Elizabeth, saudara perempuannya, yang menerbitkannya setelah Nietzsche meninggal—sebagai motivasi paling dasar perilaku manusia.

Nietzsche percaya dunia sebagai “monster energi, tanpa awal, tanpa akhir… dunia Dionysianku yang menciptakan diri sendiri secara abadi, menghancurkan diri sendiri secara abadi…” Keyakinan yang membuat dirinya kemudian menyimpulkan: “Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa–dan tidak ada apa-apa selain itu! Dan kau sendiri juga adalah kehendak untuk berkuasa–dan tidak ada apa-apa selain itu!”

Benarkah Nietzsche, pribadi yang berada di belakang gigihnya Prabowo? Atau barangkali kita harus pula mempertimbangkan pandangan sahabat dan senior saya, seorang ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel.  Reza menunjuk Alfred Adler, bapak Psikologi Individual, yang berkeyakinan bahwa hidup adalah perjuangan kompensatoris. Menurut dia, sekiranya tesis Adler itu dijadikan sebagai pijakan berpikir untuk meneropong Prabowo, harus ada napak tilas terhadap perjalanan hidup sang jenderal. “Spesifik, tapak-jejak dirinya, bahkan orang tuanya di arena politik. Di situ, barangkali, bisa ditemukan akar jawaban atas pertanyaan di atas,”kata Reza.

Ia mengingatkan bahwa orang tua Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo, adalah seorang terpandang yang tak pernah lupa daratan. Dalam otobiografinya Soemitro mengakui lika-liku hidupnya sebagai orang yang bertahun-tahun—kita bisa memilih– ‘bersembunyi’ atau ‘bergerilya’ dari kejaran rejim Soekarno. Bersama keluarga, ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain, guna menghindari kejaran pasukan tentara Orde Lama.

Masa dan kekuasaan berganti. Di era Soeharto, Soemitro mendapat ruang untuk kembali ke Tanah Air. Perubahan nasib Soemitro semakin dikukuhkan oleh pencapaian—terutama–dua putranya, Hashim dan Prabowo.

Namun blunder tak terampunkan justru Prabowo lakukan. Tinggal satu dua pengkolan lagi, hitung-hitungan di atas kertas, Prabowo akan menjadi orang nomor satu di jajaran Angkatan Darat. Diperkuat sosok Soeharto dan Soemitro di kanan kirinya, 99,9 persen Prabowo pada saatnya bakal dilantik sebagai Panglima ABRI.

Tapi akibat pedal gas yang diinjak terlalu dalam, plus rem blong, Prabowo justru terlempar dari institusi yang pasti sangat ia cintai. Kosakata ‘terlempar’ sudah sangat memadai untuk memberi ilustrasi tentang perasaan sedih, pedih, sakit hati, frustrasi, amarah, bahkan dendam yang sangat mungkin berkobar-kobar di dada Prabowo.

Itu seakan “déjà vu”. Sekian lama menyandang nama harum, seketika beralih status menjadi musuh “semua orang”. Dan itu pernah dialami sang ayah. Like father, like son.

Kekalahan, tentu tak boleh dibiarkan. Itu sabda Adler. Apalagi sebagai pemikir psikologi yang sangat dipengaruhi kharisma Freud dan Mazhab Psikoanalisisnya, Adler–jika ia masih hidup hari ini–pasti sangat percaya bahwa beban batin Prabowo, yang mengendap kronis itu, terus menyalak minta dikompensasi.

Hal itu bisa didramatisasi dengan memasukkan urusan trah Djojohadikusumo diadu head to head dengan trah Soekarno. Sudah tiga generasi Soekarno jadi ‘orang’: Soekarno, Megawati, dan Puan Maharani. Kejayaan generasi berikutnya pun sudah memperlihatkan tanda-tandanya. Menandingi, menyamai, apalagi mengungguli kedigdayaan politik lintas generasi Soekarno itu, jelas, beratnya bukan alang-kepalang.

Maka, lebih dari sebatas ambisi rasional, hasrat untuk menang (kompensasi!) memperoleh energinya dari magma di alam bawah sadar Prabowo. Sampai pada satu titik bahwa keharusan untuk menang merupakan raison d’etre’ untuk hidup.

Itu yang terlihat dari manuver politik Prabowo sejak puluhan tahun silam. Incarannya bukan main-main: langsung kursi  presiden. Ia tidak pernah direkam media menetapkan target-target antara. Menang sebagai presiden, presiden adalah menang. Tak ada kompromi.

Impian Adlerian Prabowo jelas belum sampai di tujuan. Alih-alih, endapan sensasi atas berbagai kekalahan sebelumnya, semakin tebal. Sampai di situ, sulit untuk bisa percaya, bahwa Prabowo secara tulus ikhlas sanggup menerima kenyataan bahwa atas segala jerih payah kompensatorisnya (jangan lupakan nyawa sekian yang disebut sebagai pendukungnya pada Pilpres 2019) ia ternyata hanya bisa menduduki kursi menteri. Jabatan itu sama sekali tidak sebanding dengan–katakanlah–trauma politik majemuk yang ada pada diri Prabowo. Jadi, belum waktunya untuk berhenti.

Barangkali, dengan cara berpikir Adler itu, menjadi presiden bagi Prabowo bukan jawaban klise seperti yang terucap dari lidah murid TK sebagai hasil pengondisian sadar belaka. Diangkat sumpah sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan Republik Indonesia, tampaknya telah menjadi harga mati.

Namun tentu saja, itu hanya analisis. Lebih tepat lagi, analisis seorang wartawan di negara dengan bejibun persoalan dan membuat focus perhatiannya senantiasa bergeser antara urusan politik, korupsi, kemiskinan dan aneka hal yang jadi penyakit negeri ini.  

Yang juga tak bisa kita nafikan, adalah pribadi Prabowo yang sejak kanak-kanak dididik sebagai seorang ksatria. “Kita akan berhadapan dengan Pemilu. Kita akan bertanding dengan gagah dan ksatria…”kata Prabowo, pada saat deklarasi dukungan Partai Golkar dan PAN, 13 Agustus lalu.

Ksatria. Itulah persepsi Prabowo tentang dirinya. Dalam bukunya, “Jejak Perlawanan Begawan Pejuang”, Soemitro mengaku sering menasihati putra-putranya—terutama—tentang pedoman seorang pejuang.

Smiling in the face of adversity

Contemptuous of danger

Undaunted in defeat

Magnanimous in victory–

Tersenyum saat menghadapi kesulitan

Tak mengindahkan bahaya

Tak gentar dalam kekalahan

Agung dalam kemenangan”.

Saya kira Prabowo telah khatam akan semua itu. [Inilah.com]

Check Also
Close
Back to top button