Sekjen Syarikat Islam: SI Siap Bentuk Gugus Tugas Anti-Islamopobia
Yang justru ganjil, kata Ferry, sementara AS dan barat mulai bergeser paradigma dengan membangun landasan perundang-undangan untuk menghapus Islamophobia, di negeri kita sendiri isu-isu yang cenderung memojokkan Islam justru terkesan terus dikembangkan. “Misalnya wacana radikalisme atau Islam radikal. Dengan perkembangan dunia di saat-saat terakhir ini, wacana radikalisme Islam di Tanah Air sebenarnya ganjil dan terasa melawan arus sejarah alias zeitgeist. Dunia berjalan ke sisi kanan, eh, Indonesia sendirian memilih sisi kiri ” ujar Ferry Juliantono.
JERNIH—Walaupun fokus Syarikat Islam ke depan lebih pada dakwah ekonomi dan membangun kemandirian dan kekuatan ekonomi umat, sebagaimana nilai dasar pembentukannya di tahun 1905, persyarikatan tidak akan pernah melupakan problem sosial yang hidup dalam realitas umat sehari-hari. Berkaca dari berbagai upaya peminggiran umat melalui aneka isu, SI berkomitmen membangun desk Anti-Islamophobia dalam waktu dekat.
Hal tersebut antara lain terkuak dalam pembicaraan Jernih.co dengan Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Syarikat Islam, Ferry Joko Juliantono, Senin (21/3) pagi WIB. Menurut Ferry, runtuhnya bangunan islamophobia (ketakutan berlebihan yang dibangun tentang Islam) yang dikembangkan ulang sejak 11 September 2001, seharusnya membangkitkan umat Islam untuk bergerak dan menunjukkan agamanya sebagai agama welas asih bagi dunia (rahmatan lil ‘alaimin).
“Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan 15 Maret 2022 sebagai hari perlawanan terhadap phobia Islam, saya melihat umat Islam sendiri kurang menyambutnya dengan berbagai gerakan yang menunjukkan bahwa agama ini bertolak-belakang dengan wajah yang selama ini dikembangkan orang-orang yang memusuhinya,” kata Ferry. Untuk itu, kata mantan aktivis mahasiswa tersebut, SI bertekad untuk segera membangun desk Anti-Islamophobia.
“Kami akan bekerja sama dengan TNI, Kepolisian, Badan Intelijen, serta universitas serta lembaga-lembaga international yang memiliki semangat sama,” kata dia.
Ferry menunjukkan contoh bagaimana mereka yang selama ini mengembangkan Islamophobia, justru menjadi pihak yang senantiasa menunjukkan kekejian. Misalnya, negara Zionis Israel yang tanpa alasan menyerang rakyat Palestina dan Masjid Al-Aqsa tahun 2021 lalu. Sementara di sisi lain ada ada sikap humanis Taliban saat memenangkan Afghanistan dan mengusir keluar Amerika Serikat, yang mempersilakan pasukan AS dan warga berbagai negara asing untuk pulang ke negara mereka. “Itu berbeda jauh dengan peristiwa Perang Vietnam juga Kamboja, yang menimbulkan masalah kemanusian,” kata Ferry mengingatkan.
Menurut Ferry, semua itu sejatinya tak lepas dari kepemimpinan Pesiden Joe Biden yang mulai berkuasa tahun lalu. Biden, dengan pertimbangan internal mereka yang tak lepas dari peran Council on American Islamic Relations (CAIR), berhasil mendorong Partai Demokrat menginisiasi UU Anti-Islamophobia. “Selama 20 tahun barat telah gagal membangun propaganda bahwa Islam identik dengan terorisme, fundamentalisme, radikal, intolerant, karena ternyata justru dunia semakin mengetahui bahwa Islam ternyata berkebalikan dengan yang dipropagandakan teesebut. Barat dan juga negara-negara sekutunya di Asia serta berbagai negara belahan wilayah lainnya, kini tersadar bahwa situasi islamophobia tersebut justru dimanfaatkan oleh beberapa negara, seperti Cina, untuk membangun hegemoninya.”
Itulah antara lain berbagai alasan untuk dibentuknya desk Anti-Islamophobia di SI. “Itu raison d’etre-nya. Sangat clear bahwa dunia Islam harus merespons secara konstruktif perkembangan yang terjadi di dunia saat ini. Selain mengembangkan wacana anti-Islamophobia, tujuan yang lebih besar adalah disahkannya Undang-Undang Anti-Islamophobia di Indonesia. Ini langkah awal yang akan kami sosialisasikan sehingga umat Islam yang menjadi wakil rakyat di DPR juga sadar peran mereka,” kata Ferry.
Tentang isu radikalisme sendiri, sekjen yang juga doktor solo give tersebut sebenarnya merasakan banyak keganjilan. Paling tidak, isu tersebut mentah secara intelektual. “Coba baca, Webber dan Kruglanski saja menyatakan akar radikalisme itu lebih sering karena krisis sosial-ekonomi, adanya degradasi peran institusi politik serta penurunan standard hidup masyarakat. Selama isu radikalisme ini berlangsung, tak sekali pun saya dengar institusi yang getol meneriakkan radikalisme ini bicara soal keadilan sosial dan hal-hal yang relevan dengan itu. Malah yang dimunculkan justru daftar ulama radikal yang diminta tak diundang berceramah,” kata Ferry, sedikit terkekeh.
Untuk itu pula Ferry mengimbau agar seluruh Muslim Indonesia menyadari persoalan yang mereka hadapi saat ini. “Desk ini juga akan berupaya membangun kesadaran dan kebanggaan menjadi seorang Muslim. Sebab hanya orang yang bangga yang bisa diajak membangun negara dan berjuang meraih kesejahteraan hidup yang lebih baik,” kata Ferry. [dsy]