Mereka menilai bahwa sistem manajemen K3 yang diterapkan di kawasan tersebut cacat secara hukum dan tidak melibatkan masukan dari pekerja, seperti yang diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012. Akibatnya, kecelakaan kerja, baik yang ringan maupun parah, masih sering terjadi
JERNIH– Serikat Pekerja Industri Morowali-Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (SPIM-KPBI) menyampaikan pernyataan sikap terkait kondisi yang dialami pekerja di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Pernyataan tersebut mencakup berbagai isu penting, termasuk upah yang dianggap jauh dari layak, penerapan keselamatan kerja, serta diskriminasi antara pekerja lokal dan tenaga kerja asing (TKA).
Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Jordi Goral, koordinator Aksi SPIM-KPBI, disebutkan bahwa upah di kawasan IMIP selama beberapa tahun terakhir tidak mengalami kenaikan yang signifikan, hanya meningkat sebesar Rp75.000 per tahun. Hal ini, menurut SPIM-KPBI, tidak sebanding dengan peningkatan biaya kebutuhan hidup, sehingga nilai riil upah menurun.
Selain itu, SPIM-KPBI menyoroti penerapan Permenaker Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah. Meskipun peraturan ini mengharuskan pengusaha untuk memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi dalam menentukan upah, namun SPIM-KPBI menyatakan bahwa realitanya upah pokok di IMIP tidak mempertimbangkan semua aspek tersebut secara memadai. “Upah pokok tetap sama, tanpa memperhatikan level jabatan, yang membuka peluang bagi pengusaha untuk memangkas upah,” kata Goral.
Tidak hanya masalah upah, SPIM-KPBI juga mengkritik penerapan sistem keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di IMIP. Mereka menilai bahwa sistem manajemen K3 yang diterapkan di kawasan tersebut cacat secara hukum dan tidak melibatkan masukan dari pekerja, seperti yang diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012. Akibatnya, kecelakaan kerja, baik yang ringan maupun parah, masih sering terjadi, dan pekerja sering kali disalahkan atas kejadian tersebut.
Selain itu, SPIM-KPBI juga mengecam diskriminasi yang dialami oleh pekerja lokal dibandingkan dengan TKA. Mereka menyoroti bahwa pekerja Indonesia sering kali diperlakukan tidak setara dengan TKA, bahkan dalam posisi jabatan yang sama. Hal ini, menurut SPIM-KPBI, mencerminkan kurangnya profesionalisme dan keadilan di kawasan IMIP.
SPIM-KPBI juga menuntut agar sistem kerja 3 shift 3 regu dihapuskan, karena dinilai tidak sehat dan tidak layak. Sistem ini, yang telah diberlakukan sejak tahun 2020, menurut SPIM-KPBI telah menyebabkan kelelahan pada pekerja dan peningkatan jumlah pekerja yang harus berobat.
Selain isu-isu tersebut, SPIM-KPBI juga menyoroti masalah perempuan di kawasan IMIP. Mereka mengkritik prosedur yang mengharuskan pekerja perempuan untuk mendapatkan surat keterangan dokter (SKS) saat mengajukan cuti haid atau cuti hamil, serta kurangnya fasilitas seperti ruang laktasi untuk ibu menyusui. SPIM-KPBI juga menyatakan bahwa pelecehan seksual masih marak terjadi, dan pihak perusahaan belum memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja perempuan.
Dalam pernyataannya, SPIM-KPBI menyerukan kepada seluruh pekerja di kawasan IMIP untuk bersatu dan mengorganisir diri dalam wadah serikat pekerja. Mereka menuntut perusahaan di IMIP untuk menaikkan upah buruh, meningkatkan penerapan sistem K3, menghentikan diskriminasi antara pekerja TKA dan TKI, serta memberikan fasilitas yang lebih baik bagi pekerja perempuan.
Mereka juga menyatakan solidaritas dengan aksi-aksi pekerja di seluruh Indonesia yang mengecam tindakan represif aparat terhadap massa aksi, serta mendesak DPRD Kabupaten Morowali untuk menyatakan sikap dalam berbagai isu nasional, termasuk menolak UU Cipta Kerja dan mendukung pengesahan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Dengan pernyataan ini, SPIM-KPBI berharap dapat memperjuangkan hak-hak pekerja di kawasan IMIP dan memastikan bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang adil dan layak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [ ]