Setelah Peluru tak Lagi Mengerikan, Tentara Myanmar Bunuhi Rakyat dengan Granat
Pada Jumat lalu, Juru Bicara Junta–manusia yang telah kehilangan rasa–Mayjen Zaw Min Tun, mengatakan militer telah menahan diri sejak kudeta dan mengaku bisa membunuh lebih banyak orang jika mau. “Jika kami benar-benar menembak para pengunjuk rasa dengan senapan otomatis, 500 orang yang Anda bicarakan akan tewas dalam beberapa jam,” katanya setelah ditanya tentang jumlah korban secara nasional.
JERNIH—Jika ada militer yang harus diperangi rakyat hingga ke akar-akarnya, tampaknya itu adalah tentara Myanmar. Saat ini tentara negeri itu telah membunuh dengan keji lebih dari 700 orang rakyatnya sendiri.
Pada Jumat lalu saja, sebuah kelompok Hak Asasi Manusia menyatakan militer telah membunuh 80 orang hanya di satu kota. Bahkan, karena rakyat seolah tak lagi bisa membedakan peluru dengan biji melinjo, militer mulai membunhi rakyatnya dengan ledakan granat.
Pasukan keamanan menewaskan 82 orang di satu kota pada Jumat, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, yang telah mendokumentasikan pertumpahan darah sejak kudeta militer 1 Februari. Tentara menggunakan senapan mesin dan granat berpeluncur roket guna menyerang sekelompok pengunjuk rasa yang telah mendirikan barikade untuk mempertahankan bagian kota itu, Bago.
Militer tampaknya menargetkan pusat-pusat perlawanan di seluruh negeri, menggunakan kekuatan yang luar biasa melawan pengunjuk rasa yang sebagian besar tidak terlatih dan bersenjata buruk. Di Tamu, sebuah kota dekat perbatasan dengan India, anggota kelompok pertahanan lokal yang mirip dengan yang ada di Bago, mengklaim telah membunuh beberapa anggota pasukan keamanan pada Sabtu setelah diserang.
Serangan pasukan keamanan di Bago, sekitar 40 mil timur laut Yangon, kota terbesar Myanmar, adalah salah satu yang paling mematikan. Sebuah outlet berita terkemuka, Myanmar Now, juga menyebutkan jumlah korban tewas di Bago mencapai 82.
Pada Jumat lalu, Juru Bicara Junta–manusia yang telah kehilangan rasa–Mayjen Zaw Min Tun, mengatakan militer telah menahan diri sejak kudeta dan mengaku bisa membunuh lebih banyak orang jika mau. “Jika kami benar-benar menembak para pengunjuk rasa dengan senapan otomatis, 500 orang yang Anda bicarakan akan tewas dalam beberapa jam,” katanya setelah ditanya tentang jumlah korban secara nasional.
Seorang pemimpin kelompok pertahanan di Bago, Ko Myo Kyaw, mengatakan militer telah melepaskan tembakan dengan senjata berat sebelum fajar untuk menghancurkan barikade yang telah didirikan para pengunjuk rasa, dan penembakan berlanjut sepanjang hari. Hanya sedikit yang bisa dilakukan para pembela HAM, katanya.
“Kami tidak memiliki senjata mematikan,” kata Tuan Myo Kyaw, yang saudara laki-lakinya termasuk di antara mereka yang terbunuh. “Kami hanya memiliki ketapel dan senapan angin.”
Orang-orang yang selamat dari serangan itu telah meninggalkan kota dan berkumpul kembali, kata Myo Kyaw. “Kami tidak akan pernah menyerah,” katanya. “Mereka harus membayar atas apa yang mereka lakukan terhadap kota kami.”
Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Myanmar mengatakan di Twitter, kekerasan di Bago “harus segera dihentikan” dan mendesak militer agar membiarkan tim medis merawat yang terluka.
Anggota organisasi pertahanan lokal di Tamu, yang menamakan dirinya Tamu Security Group, menuturkan, seperti di Bago, pasukan keamanan telah menyerang pertahanannya pada hari Sabtu dengan senapan mesin dan granat berpeluncur roket.
Anggota pasukan keamanan tewas dalam bentrokan berikutnya, menurut dua anggota kelompok pembela. Klaim mereka tidak dapat dikonfirmasi secara independen. Namun, membunuh banyak anggota pasukan keamanan akan menjadi perkembangan signifikan dalam kekerasan sejak kudeta sepihak, lapor The New York Times.
Sebuah kelompok pemberontak kecil yang kurang dikenal bernama Tentara Nasional Kuki, salah satu dari banyak kelompok etnis bersenjata yang telah memerangi militer Myanmar selama bertahun-tahun dalam konflik regional, mengatakan telah membantu para pengunjuk rasa Tamu memerangi pasukan keamanan pada Sabtu, tetapi sejauh mana keterlibatannya tidak jelas. Beberapa pemimpin gerakan protes telah meminta tentara pemberontak untuk bergabung.
Kasus tersebut ditangani oleh pengadilan militer karena dugaan pembunuhan – yang dikatakan melibatkan perampokan – terjadi di sebuah distrik di Yangon yang berada di bawah darurat militer. Semua kecuali dua terdakwa bersembunyi dan diadili secara in absentia, laporan televisi pemerintah mengatakan.
Tidak jelas apakah para terdakwa adalah pengunjuk rasa. Namun, Phil Robertson, wakil direktur Asia untuk Human Rights Watch, menyebut persidangan tersebut sebagai “contoh lain dari upaya habis-habisan junta untuk memaksa orang turun dari jalan dan menghancurkan gerakan pembangkangan sipil.”
Daw Aye Aye Thwin, ayah Ko Bo Bo Thu (27) adalah salah satu dari dua terdakwa yang ditahan. Ia mengatakan, ada di rumah saat pembunuhan itu dan tidak ada hubungannya dengan itu. Dia tidak bisa melihatnya sejak penangkapannya dan mengetahui hukuman itu pada Jumat, sehari berselang.
“Sekarang saya merasa dunia saya telah hilang,” katanya. “Saya hanya ingin memohon kepada pihak berwenang untuk tidak membunuh anak saya.” [The New York Times]