Tidak Seperti Negara Arab, Indonesia dan Malaysia Gagal Dirayu Israel
Boleh saja negara-negara Arab kian lengket dengan Israel, Indonesia dan Malaysia dan semudah itu dirayu meski dengan iming-iming aneka ‘permen’…
JERNIH– Satu tahun setelah Israel dan Uni Emirat Arab mencapai kesepakatan normalisasi bersejarah, hubungan antara negara-negara Timur Tengah berkembang pesat. Namun, menurut pengamat Nesreen Bakheit di Nikkei Asia, prospek Israel untuk memperluas peluang diplomatiknya ke negara-negara mayoritas Muslim di Asia, masihlah terlalu redup.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan kesepakatan itu pada 13 Agustus 2020, dan kesepakatan itu ditandatangani sekitar sebulan kemudian. Perdagangan antara UEA dan Israel telah mencapai 570 juta dolar AS, menurut laporan media lokal yang mengutip Biro Pusat Statistik Israel.
Bulan lalu, UEA membuka kedutaannya di lokasi Tel Aviv yang melambangkan harapan tinggi untuk dividen ekonomi: gedung bursa saham. Ini terjadi setelah Israel membuka Kedutaan Besar di Abu Dhabi dan Konsulat di Dubai.
Israel dengan cepat mengikuti kesepakatan UEA dengan perjanjian lain yang ditengahi AS tahun lalu, dengan Bahrain, Sudan, dan Maroko. Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid minggu ini melakukan kunjungan pertama ke Maroko oleh seorang diplomat tinggi Israel sejak 2003.
Namun para ahli mengatakan, hubungan yang berkembang itu tidak banyak mempengaruhi negara-negara Asia yang berpenduduk mayoritas Muslim (yaitu Indonesia dan Malaysia) untuk mengubah penolakan resmi mereka terhadap Israel dan dukungan tak tergoyahkan untuk perjuangan Palestina.
Meskipun ada interaksi tidak resmi yang tidak terlalu rahasia, khususnya antara Israel dan Indonesia, hanya ada sedikit keinginan politik di Asia Tenggara untuk mengambil risiko, kata Nesreen Bakheit.
“Saya tidak berpikir Indonesia atau Malaysia akan menormalkan hubungan dengan Israel,” ujar Muhammad Zulfikar Rakhmat, seorang akademisi dari Universitas Islam Indonesia, kepada Nikkei Asia.
“Kedua negara, terlepas dari hubungan yang berkembang, tidak melihat Timur Tengah, atau Israel khususnya, sebagai kepentingan strategis. Kedua, baik Indonesia maupun Malaysia lebih memperhatikan dampak domestik jika mereka ingin menjalin hubungan dengan Israel secara resmi.”
“Kebanyakan orang di negara-negara ini tetap pro-Palestina, dan dengan demikian pemerintah tidak ingin membahayakan stabilitas domestik atas hubungan dengan negara yang mereka anggap tidak penting.”
Samuel Ramani, tutor politik dan hubungan internasional di Universitas Oxford, setuju bahwa “prospek jangka pendek Malaysia atau Indonesia mengakui Israel tidak mungkin.”
Dia mengatakan, pengunduran diri dari kekuasaan tahun lalu oleh kritikus lama Israel Mahathir Mohamad (yang sering dituduh membelok ke antisemitisme) “dapat meningkatkan hubungan komersial rahasia Israel-Malaysia.”
Namun dia menekankan, ketegangan bilateral tetap tinggi, terutama setelah desas-desus yang tersebar luas bahwa Israel berusaha untuk menargetkan operasi kelompok Islam Palestina Hamas di Malaysia, selama konflik Gaza pada Mei.
Ramani menambahkan: “Saya pikir Israel memandang Kesepakatan Abraham sebagai batu loncatan yang mungkin bagi negara-negara Teluk lainnya, seperti Arab Saudi, Oman, dan mungkin Qatar, untuk menormalisasi dengan Israel. Negara ini juga mengharapkan normalisasi yang lebih cepat di Afrika, seperti Niger atau Mauritania. Normalisasi antara Israel, Malaysia, dan Indonesia selalu dianggap sebagai prospek yang lebih jauh, dan inilah yang sebenarnya terjadi.”
Indonesia pada akhir Juni berkeras bahwa pihaknya tidak akan membangun hubungan diplomatik dengan pemerintah Israel yang baru, Perdana Menteri Naftali Bennett, setelah dilaporkan adanya tawaran dari Duta Besar Israel untuk Singapura, Sagi Karni.
Dalam wawancara sebelumnya dengan Nikkei Asia, Karni mengecam “diplomasi megafon” Asia Tenggara atas masalah Palestina, dan menegaskan Israel ingin memperluas hubungan di Asia.
Salah satu faktor yang telah membantu menyatukan Israel dan beberapa tetangga Arab tidak begitu banyak berperan di Asia: musuh bersama di Iran, catat Nesreen Bakheit.
“Negara-negara Muslim Asia Tenggara ini juga tidak memiliki kekhawatiran terhadap perang melawan Iran, yang menjadi perhatian negara-negara Teluk seperti UEA dan Bahrain,”ujar Profesor Yossi Melkelberg, rekan Program MENA di Chatham House.
Tapi poin terbesar, bisa dibilang, tetap Palestina. “Agresi Israel harus dihentikan,” tulis Presiden Indonesia Joko Widodo saat itu.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menegaskan, Jakarta mendukung “perjuangan Palestina”. Dan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin meminta masyarakat internasional “untuk memaksa Israel menghentikan serangannya terhadap rakyat Palestina.”
Namun demikian, beberapa pihak di Israel memiliki setidaknya sedikit harapan untuk pembukaan diplomatik dengan lebih banyak negara.
Fleur Hassan-Nahoum, yang menjabat sebagai wakil wali Kota Yerusalem, mengatakan kepada Nikkei Asia bahwa “Israel akan menyambut normalisasi dengan lebih banyak negara Muslim Arab dan Asia Tenggara.”
Dia berpendapat, yang menghalangi penyelesaian masalah Palestina adalah kepemimpinan Palestina itu sendiri, yang terpecah antara Presiden Fatah Mahmoud Abbas di Tepi Barat dan Hamas di Gaza.
“Kami sangat jauh dari negosiasi damai,” tutur Hassan-Nahoum. “Tidak ada kemungkinan negara Palestina jika dijalankan oleh gangster Ikhwanul Muslimin,” tambahnya, merujuk pada gerakan Mesir yang melahirkan Hamas. “Pelestarian diri adalah tujuan akhir Israel,” katanya.
Negara-negara Muslim Asia Tenggara sepertinya tidak akan sependapat dengannya tentang situasi Palestina dalam waktu dekat. Tetapi Hassan-Nahoum (yang bertanggung jawab atas pembangunan Yerusalem) menyinggung manfaat lebih banyak normalisasi dapat membawa ekonomi kota yang digerakkan oleh pariwisata.
“Visi saya,” ucapnya kepada Nikkei Asia, “adalah agar Yerusalem menjadi tujuan bagi semua jemaah Muslim.” [Nikkei Asia]