Veritas

Wabah Coronavirus Hantam Industri Pariwisata Dunia

Sejak mewabahnya virus corona yang telah menginfeksi setidaknya 9.000 orang dan membunuh 300 orang, efek domino terjadi pada banyak industri pariwisata dunia

JAKARTA—Sesegera dunia dihebohkan wabah virus Corona, secepat itu pula dunia pariwisata terpukul keras. Tiadanya kedatangan turis Cina menyusul larangan bagi masuknya mereka ke berbagai negara, baru-baru ini, akan terasa dramatis di kawasan Asia-Pasifik yang sangat bergantung pada pariwisata Cina.

Tak hanya itu, Eropa dan Amerika juga diprediksi akan merasakan tekanan tersebut. Pada Sabtu (1/2) sore, Bill Egerton menerima email yang segera membuatnya khawatir “Semua tur dari China yang telah dipesan melalui saya, semua dibatalkan. Saya kehilangan 15 tur untuk Februari ini,” kata pengusaha Tur dan travel Koala Blue di Queensland, Australia tersebut.

Seorang turis berjalan-jalan cari angin di jalanan sebuah kota di Cina yang kosong, sekosong hatinya

Selama lebih dari tiga dekade berkecimpung di bisnis tersebut, ia mengaku baru benar-benar merasa terpuruk saat ini. Kepada CNN, Egerton mengatakan, “Pangsa pasar orang Cina sekitar 10-20 persen, dan itu  pangsa bisnis potensial. Saya pikir pemerintah federal tidak benar-benar memahami hilangnya pendapatan dan dampak pada bisnis ini. Taman hiburan akan menderita, hotel-hotel akan terpuruk, bahkan infonya, hotel-hotel besar pun hanya mendapat 20 hingga 500 pengunjung saja sekarang. Sejauh ini, Cina adalah pasar terbesar kami untuk pariwisata luar negeri.”

Di Gold Coast, tujuan wisata terkemuka di Australia, wisatawan Tiongkok adalah pasar pengunjung terbesar dan paling berharga. Mereka bisa menghabiskan hingga 1,6 miliar dolar AS pada 2019. Jika ditotal, Australia menyambut 9,4 juta pengunjung pada tahun lalu. Dari jumlah itu, 7,96 juta berasal dari Cina dan menyumbang sampai 21,95 miliar (32,7 miliar dolar Australia).

Egerton bukan satu-satunya operator pariwisata Australia yang melihat penurunan dramatis dalam bisnis ini di Januari 2010, setelah larangan Cina agar warganya berdiam diri.  Didorong oleh virus corona Wuhan yang telah menginfeksi setidaknya 9.000 orang dan membunuh 300 orang sejak pertama kali diidentifikasi di Cina tengah pada Desember 2019, larangan itu sontak memberi efek domino pada banyak industri pariwisata dunia.

Cina adalah pasar terbesar di dunia untuk perjalanan ke luar negeri, setelah meroket dari 4,5 juta pelancong pada 2000 menjadi 150 juta pada 2018 seiring boom ekonomi negeri itu. Pada 2020-an jumlah itu diperkirakan akan berlipat ganda, karena kepemilikan paspor di Cina meningkat dari 10 persen populasi saat ini menjadi 20 persen yang diharapkan.

Negara itu juga menyumbang 277 miliar dolar AS atau 16 persen dari total pengeluaran pariwisata internasional yang besarnya 1,7 triliun dolar AS, sebagaimana catatan UNWTO.

Menyusul larangan baru-baru ini pada perjalanan kelompok dan pemesanan paket, tidak adanya pelancong Tiongkok akan terasa paling dramatis di kawasan Asia-Pasifik, yang sangat bergantung pada pariwisata Cina. Sementara bagian Eropa dan Amerika juga merasakan tekanan.

Pada Kamis lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kondisi darurat kesehatan global, setelah penyebaran virus corona makin tak terkendali. Departemen Luar Negeri AS meningkatkan saran perjalanannya, serta memperingatkan orang Amerika untuk tidak melakukan perjalanan ke China, seperti halnya Inggris dan Kanada.

Maskapai seperti United, American, Delta, British Airways, KLM, Air Canada, dan Lufthansa telah menangguhkan layanan ke dan dari banyak kota di China. Senada, maskapai yang lain, seperti Cathay Pacific juga mengurangi penerbangan.

Pada Jumat lalu, AS mengumumkan untuk sementara melarang masuknya warga negara asing yang telah mengunjungi Cina dalam 14 hari terakhir. Kementerian Kesehatan Singapura juga mengumumkan semua pengunjung baru yang telah melakukan perjalanan ke Cina daratan dalam 14 hari terakhir tidak akan diizinkan masuk ke Singapura, atau transit melalui Singapura.

Hong Kong, Makau, Mongolia, Korea Utara, dan sebagian Rusia juga memberlakukan hal yang sama. Mereka kompak menutup perbatasan dengan Cina untuk mencegah penyebaran penyakit ini.

Sebagai akibat dari pembatasan perjalanan dramatis ini, biasanya tujuan wisata yang sibuk seperti Angkor Wat di Kamboja, Istana Emas di Bangkok, atau Istana Kekaisaran di Tokyo terasa lebih sepi dari biasanya.

Menurut sebuah laporan ForwardKeys, sebuah perusahaan analis perjalanan yang memantau 17 juta transaksi pemesanan sehari, dampak larangan ini sangat penting karena dunia tengah berada di tengah periode Tahun Baru Cina–masa perjalanan tersibuk di dunia. Perusahaan itu menganalisis perjalanan keluar selama bagian pertama dari periode liburan Tahun Baru Cina, dari 19 hingga 26 Januari, dan menemukan pemesanan naik 7,3 persen menjelang jelang Imlek.

Lokasi wisata favorit seperti Thailand, Kamboja, Vietnam, Korea Selatan, dan Jepang di mana wisatawan Tiongkok merupakan bagian besar dari lalu lintas masuk dan pengeluaran pariwisata, telah sangat terpukul oleh larangan perjalanan. Cina sendiri menyumbang 51 pesen dari PDB perjalanan dan pariwisata di wilayah Asia-Pasifik pada 2018, menurut World Travel and Tourism Council (WTTC).

Di Thailand, di mana wisatawan Tiongkok menyumbang 30 persen dari kedatangan, dampak dari virus corona sudah sangat besar. Menurut Vichit Prakobgosol, presiden Asosiasi Agen Perjalanan Thailand, sekitar 1,2 hingga 1,3 juta pelancong Tiongkok telah membatalkan kunjungan ke Thailand untuk kurun Februari dan Maret.

“Efeknya bisa bertahan hingga April. Sulit untuk memperkirakan saat ini,” tambah Prakobgosol. “Namun, sejak pesanan dari Cina datang pada akhir Januari, saya tidak melihat banyak efek pada Januari.”

Akibatnya, banyak bisnis pariwisata di tujuan wisata utama seperti Bangkok, Phuket, Chiang Mai, dan Pattaya telah merasakan konsekuensi langsung, dengan penutupan sepenuhnya. Di Pattaya, setidaknya dua perusahaan pelayaran makan malam – All Star Cruise Pattaya dan Oriental Sky – telah mengumumkan akan menangguhkan operasi tanpa batas waktu mulai 1 Februari. [CNN/matamatapolitik]

Back to top button