YLKI Curiga Ada Tangan Kartel di Dalam Harga Minyak Goreng
Masih waktu itu di tahun 2009, KPPU menduga ada kartel yang berlindung di delaoan perusahaan besar yakni, Bukit Kapur Reksa Grup, Musimmas Grup, Sinarmas Grup, Sungai Budi Grup, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I hingga PTPN IV, Berlian Eka Sakti, Raja Garuda Mas dan Salim Grup.
JERNIH- Melambungnya harga minyak goreng curah di pasaran, diduga lantaran aktifnya kartel memainkannya. Selama hampir tiga bulan, lonjakan harga melesat tanpa bisa dikendalikan. Beberapa pihak menduga ada delapan perusahan besar yang bermain dibalik meroketnya harga tersebut.
Ketika para produsen kompak menaikkan harga dengan dalih penyesuaian harga minyak sawit dunia, meski Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak sawit terbesar di dunia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menduga ada beberapa indikasi perilaku kartel dibaliknya.
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI menyebutkan, kekompakan para produsen menaikkan harga itulah yang menjadi salah satu indikasi paling kentara di permukaan. Padahal, minyak goreng yang selama ini beredar di pasaran, dikelola hanya oleh segelintir perusahaan besar saja.
“Saya curiga ada praktek kartel atau oligopoli. Dalam UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” kata Tulus, Rabu (12/1/2022).
Konsumen memang tak punya pilihan lain, setelah kartel pengusaha minyak goreng bersepakat dan bersekongkol menentukan harga yag sama. Seandainya kenaikan dipicu meningkatnya permintaan, itu tak bisa dijadikan alasan sebab momen Natal dan Tahun Baru sudah lewat, sementara harga masih ada di langit.
Padahal, seperti diketahui bersama, Indonesia merupakan salah satu raksasa sawit di kancah dunia. Sementara untuk memenuhi pasar ekspor, para produsen mematoknya pada harga internasional. Namun, lonjakan harga di tingkat global, tak bisa juga dijadikan alasan menaikkan harga minyak goreng sebagai produk turunannnya di dalam negeri.
Seharusnya, para produsen dalam hal ini pengusaha, wajib mengacu pada harga eceran tertinggi yang sudah dipatok Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan. Sebab jika melirik ke tetangga paling dekat yakni Malaysia yang juga berpredikat sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia, harga minyak goreng malah dijual seharga Rp 8.500 perkilogramnya.
“Kita kan penghasil CPO terbesar, kita eksportir bukan importir, jadi bisa menentukan harga CPO domestik. Jangan harga internasional untuk nasional,” kata Tulus.
Pandangan Tulus, sudah tentu sangat masuk di akal. Sebab menjual minyak goreng di dalam negeri dengan mengacu pada harga dunia, sudah pasti mencederai konsumen. Sebab, perusahaan-perusahaan besar juga menggunakan tanah negara melalui skema Hak Guna Usaha dalam menanam sawit.
Apalagi, seperti diberitakan Kompas Pemerintah juga sudah banyak memberi bantuan kepada para pengusaha kelapa sawit dengan menyerapnya guna kebutuhan biodiesel. Bahkan, Pemerintah juga mengucurkan subsidi biodiesel dengan jumlah besar melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Alasan lain seperti banyaknya pabrik minyak goreng yang tak memiliki kebun sawit, menurut Tulus juga tak masuk akal. Sebab dalam pandangannya, hampir semua pemain juga menguasai perkebunan kelapa sawit.
Masih mengutip Kompas, permainan kartel dalam dunia miyak sebenarnya bukan barang baru di dalam negeri. Pada 2009 lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga pernah mencurigai praktek permainan mafia dalam dunia minyak goreng di tanah air.
Waktu itu, Direktur Komunikasi KPPU Ahmad Junaidi mengatakan, pihaknya menyelidiki dan mengumpulkan data guna membuktikan kecurigaan tersebut. Soalnya, harga minyak goreng lokal sulit sekali turun, dana atmosfir dibuat seolah tak berhubungan dengan harga minyak sawit sebagai bahan baku utama.
Masih waktu itu di tahun 2009, KPPU menduga ada kartel yang berlindung di delaoan perusahaan besar yakni, Bukit Kapur Reksa Grup, Musimmas Grup, Sinarmas Grup, Sungai Budi Grup, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I hingga PTPN IV, Berlian Eka Sakti, Raja Garuda Mas dan Salim Grup.[]