POTPOURRIVeritas

Jejak Sejarah Intelektual Kota Bandung

Tak terlewatkan nama dan jasa Daeng Kanduruan Ardiwinata. Bangsawan Makassar yang merintis pembentukan “Paguyuban Pasundan”. Organisasi kesundaan tertua itu, melahirkan pula nama-nama termashur di kancah perpolitikan dan kenegaraan nasional, seperti Oto Isakandardinata, Iwa Kusumasumantri, dll.

Oleh   : Usep Romli HM

Kota Bandung cukup banyak meninggalkan jejak sejarah intelektual. Banyak pemikir, seniman, budayawan, sastrawan, politikus, teknokrat dlsb memulai karir intelektualnya di Bandung. Konon, di kalangan para intelektual di kalangan pergerakan kemerdekaan tahun 1920-an, muncul semacam adagium “belum teruji keintelektualan seseorang, sebelum menerjuni karir di kota Bandung”.

Itulah yang ditempuh Ir. Soekarno, sejak masuk Tehnische High School (THS) yang kelak berubah menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Walaupun Soekarno (1901-1970), seorang mahasiswa arsitektur yang menggeluti ilmu-ilmu eksakta, ia lebih terkenal sebagai tokoh pejuang pergerakan kemerdekaan.

Di kota Bandung,  presiden pertama RI (1945-1966) itu menemukan wadah dan lahan yang cocok dengan jiwa dan bakatnya. Di Bandung, ia menemukan sosok Marhaen, rakyat kecil yang kemudian menjadi “ikon” ideologi “Marhaenisme”.

Dari tokoh Marhaen, Soekarno menimba pelajaran berharga tentang daya tahan hidup “wong cilik” di tengah gencetan kondisi sosial-ekonomi kolonialis-imperialis yang hanya memikirkan keuntungan kaum elit Belanda dan kaum ningrat pribumi belaka. Paparan tentang sosok Marhaen dapat ditelusuri dalam tulisan Bung Karno – demikian ia akrab dipanggil – yang terkumpul dalam buku “ Di Bawah Bendera Revolusi” (1965).

Dari tokoh Islam reformis, Ahmad Hasan, pendiri Persatuan Islam (Persis), Bung Karno belajar banyak tentang Islam. Bahkan setelah ia dibuang ke Ende, Flores (NTT), sangat intensif melakukan korespondensi dengan A.Hasan. Mendiskusikan berbagai masalah keislaman, mulai dari aqidah hingga muamalah. Surat menyurat Bung Karno-A.Hasan juga termuat dalam “Di Bawah Bendera Revolusi”.

Di Bandung, Bung Karno menerbitkan surat kabar “Fikiran Rakyat”, yang sehari-hari dikelola Asmarahadi (penyair dan pendiri Partindo) yang juga suami Ratna Djuwami, anak angkat Bung Karno dengan Inggit Garnasih. Di kota ini pula, Bung Karno beberapa kali menghadapi dakwaan “anti pemerintah”. Sidang pengadilan Bung Karno diwarnai pembelaan yang ditulis dan dibacakan sendiri oleh Bung Karno, berjudul “Indonesia Menggugat”. Sebuah pledoi yang sulit ditandingi ketinggian mutunya, karena sangat komprehensif menguraikan kehendak rakyat merdeka dan impian masa depan kemerdekaan rakyat Indonesia. Isinya menunjukkan keluasan pengetahuan Bung Karno yang sangat holistik.             

Selain Bung Karno, di Bandung tahun 1930-an pernah berkiprah pula Mohammad Natsir, murid A.Hasan. Tapi Natsir lebih cenderung ke politik. Setelah kemerdekaan, Natsir bersama  Isa Anshari yang juga tokoh Persis Bandung, Safruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito,dll. mendirikan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang bersama Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) menduduki “Empat Besar” pemenang pemilu 1955. Natsir sempat beberapa kali menjadi menteri dan Perdana Menteri.

Di Bandung pula, tahun 1930-an, terdapat Abdul Muis. Tokoh pergerakan dari kalangan Syarikat Islam (SI) yang juga sastrawan terkenal. Penulis roman-roman “Balai Pustaka” yang terus dicetak-ulang hingga sekarang. Antara lain “Salah Asuhan”, “Untung Surapati”, “Robert Anak Surapati”, dll. Nama Abdul Muis pernah diabadikan sebagai nama jalan yang sekarang kembali ke nama asal, Jl. Pungkur.

Tak terlewatkan nama dan jasa Daeng Kanduruan Ardiwinata. Bangsawan Makassar yang merintis pembentukan “Paguyuban Pasundan”. Organisasi kesundaan tertua itu, melahirkan pula nama-nama termashur di kancah perpolitikan dan kenegaraan nasional, seperti Oto Isakandardinata, Iwa Kusumasumantri, dll. DK Ardiwinata terkenal pula sebagai seorang sastrawan Sunda, berkat bukunya yang termashur “Baruang Ka Nu Ngarora” (1934) dan masih menjadi acuan para sastrawan dan ahli sastra Sunda hingga kini.        

Para intelektual yang menghias lembar sejarah Bandung, terus  berlanjut ke masa-masa sesudahnya. Pada masa perubahan dari era Orde Lama (Soekarno) ke era Orde Baru (Soeharto), dari Bandung muncul tokoh-tokoh intelektual muda yang memberi corak pada pembentukan dan perkembanan Orde Baru, yang berpusat diJakarta. Melalui kelompok-kelompok diskusi, yang juga berfungsi sebagai “pressure-group” (kelompok penekan), para intelektual Bandung memberikan kontribusi sangat berharga pada masa-masa awal Orde Baru.    

Para periode itu (1966-1970), terdapat  kelompok diskusi yang  cukup menarik perhatian. Yaitu kelompok Study Group Pembangunan (SGP) di Jl. Tamblong 1. Diprakarsai para tokoh mahasiswa/sarjana pengelola  surat kabar mingguan “Mahasiswa Indonesia” (MI). Antara lain Rahman Tolleng, Awan Karmawan Burhan, Alex Rumondor, Rum Aly, Dadi Pakar, Mansur Tuakia, Johny Pattipeiluhu, Sarwono Kusumaatmadja, Abdul Razak Manan, dll, dari kalangan nasionalis-sosialis.

Serta kelompok “Braga 12”, pengelola   surat kabar mingguan “Mimbar Demokrasi” (MD). Antara lain Hasyrul Muhtar, Adi Sasono, Sakib Mahmud, Masudi, dll. dari kalangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Grup Tamblong lebih intensif dan agresif menyebarkan gagasan-gagasannya mengenai pembaharuan politik Indonesia. Pernah melahirkan usul sistem “dwi partai” (dua partai) yang mendapat dukungan penuh dari Mayjen HR Darshono (Pangdam VI/Siliwangi). Namun belum diterima oleh Presiden Soeharto. Tapi slogan “Parpol No, Pembangunan Yes” yang digemakan “MI”, sangat berperan dalam memenangkan Golkar/Pemerintah pada Pemilu 1971.

Beberapa tokoh “MI”dan “SGP” berhasil menjadi anggota DPR/MPR dari Golkar. Tapi  tidak mampu menghalangi tangan besi pemerintah membreidel suratkabar “MI”, akibat tuduhan mendukung huru-hara “Lima Belas Januari” (Malari) di Jakarta, th.1974. Bahkan, Rahman Tolleng, Pemred “MI”, ditangkap dan direcal dari keanggotaan DPR.

Mingguan “MD” dan “Grup Braga 12” sudah lebih dulu lenyap th.1969. Tokoh-tokohnya banyak berpindah ke professi lain, di luar pers dan politik. Adi Sasono misalnya menjadi ekskutif sebuah perusahaan otomotif terkenal. Tapi kehadiran “MD” cukup bermakna. Antara  lain menerbitkan brosur ceramah ilmiah Nurcholis Madjid (Ketua Umum PB HMI), berjudul “Modernisasi Bukan Sekularisasi dan Westernisasi” (1969), dan kumpulan sajak Saini KM “Anak Tanah Air” (1970).

Mungkin sekarang juga banyak perorangan dan kelompok yang terus melanjutkan tradisi sejarah intelektual Bandung. Hanya saja kurang terpublikasi dan terapresiasi seperti yang sudah-sudah. Atau mungkin gerakan dan gagasan mereka kurang “greget” seperti para pendahulunya. [  ]

Back to top button