Persona

WAFATNYA SANG TOKOH

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Meninggalnya Pak Wina, membuat saya tercenung di Galeri Jeihan, selepas berdiskusi tentang peran Jeihan dalam pergolakan seni rupa yang menganut paham humanisme universal dan paham realisme sosial.

Waktu diskusi belum selesai, dan mahasiswa peserta lagi asyik-asyiknya mengajukan pertanyaan ini itu, dan saya jawab, sebagiannya dengan anekdot, membuat mereka ager-ageran tertawa. Ada kalanya, di luar sadar, saya ternyata seorang humoris.

Lalu tiba-tiba saya ingin melihat android sejenak di saat ada penanya yang terlalu panjang dan melantur ke mana-mana. Beberapa grup WA banyak postingan baru. Saya scroll ke bawah, ada pesan dari Benny Benke, dan terbaca di awal pesan, Innalillahi….

Sebelum saya buka pesan dari Benke tersebut, hati saya langsung berdegub: Deg.

Pak Wina meninggal? Padahal saya belum buka isi pesan tersebut!

Benar saja, Pak Wina yang belakangan menjadi semacam kakak dan guru, berpulang pukul 15.59 menurut warta dari Benke itu. Pesan ini baru terbaca oleh saya pukul 16.26 WIB.

Saya tercenung, karena sekian rencana bersama Pak Wina belum tuntas, di antaranya Lomba Cipta Puisi Piala Kebangsaan 2025 bertema Pagar Laut. Lalu rencana Lomba Resensi untuk novel Sang Tokoh gubahan Pak Wina yang saya terbitkan dengan bendera SituSeni, serta satu buku yang sedang diperbaiki dari softcover menjadi hardcover, juga belum rampung dan tertunda karena saya dikibuli oleh percetakan. Tentang bagaimana saya dikibuli, tak perlu dijelaskan rinci, namun intinya, dalam penerbitan, percetakan, pengurusan ISBN dan HAKI, terdapat percaloan juga. Bukan hanya urusan tiket masuk, namun untuk mendapatkan anggaran bantuan pemerintah pun sering ada calo-nya.

Pak Wina sebenarnya sudah mulai sakit sebelum novel Sang Tokoh diluncurkan. Ia mengirimi foto sedang dirawat di RS, salah satu lengannya tersambung ke selang infus.

“Saya terlalu kelelahan,” katanya, dalam japrian.

Pak Wina pulih, merasa pulih, dan kembali menggeber kegiatan dan perannya yang banyak, terlalu banyak untuk usianya yang memasuki 66 tahun. Dalam dunia jurnalistik, Pak Wina adalah pengurus PWI yang sedang terbelah kepemimpinan, ada dua lisme, dan Pak Wina berada di barisan pengurus PWI yang menggugat kepemimpinan, yang diduga ‘main mata’ dengan kekuasaan. Barisan penggugat menggelar musyawarah luar biasa di Riau. Dualisme kepemimpinan di PWI ini mau tak mau menyita energi, pikiran, biaya, dan waktu. Saya ingin menyampaikan saran, Pak Wina tak usah ikut-ikutan lah, itu melelahkan. Tapi mana berani saya sampaikan hal tersebut. Kalau tahu akan begini jadinya, pasti saya sampaikan saran itu.

Selain berhibuk diri dalam bidang pers, Pak Wina juga seorang lawyer yang sedang mengurus sebuah perkara, sehingga kerap ia harus datang ke persidangan mendampingi klien.

Di lapangan yang lain, Pak Wina juga sedang manteng pikirannya, mengurusi festival film versi wartawan, dan menyikapi permasalahan keadilan dalam tatanan negara-bangsa melalui Podcast 9, dan beririsan dengannya, Pak Wina adalah komponen penting gerakan ikatan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang baru memperingati Satu Abad Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, yang menjadi titik kenangnya adalah berdirinya FHUI itu.

Buku hasil seminar Satu Abad Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia diterbitkan oleh SituSeni, meski pihak Perpusnas selaku penyelenggara ISBN menyarankan buku tersebut diterbitkan oleh UI Press. Tapi Pak Wina memilih SituSeni. Pilihan ini yang melahirkan musibah di mana saya dikibuli oleh seorang calo percetakan. Buku yang mestinya ekslusif, hardcover, datang terlambat dan menjadi softcover. Pak Wina marah, tentu saya marah juga ke si calo.

[17.26, 14/6/2025] Wina Armada: Akibat buku ini manajemen Podcast Sembilan jadi belum dapat mendukung program-program kita yang lain.

[17.27, 14/6/2025] Doddi Ahmad Fauji: Iya, Pak, saya sudah berhenti, saya ada 3 rekanan, nah rekanan kedua ini, ternyata cetak di rekanan yg ketiga, yg hasilnya kurang bagus. Bagi saya ada hikmahnya, meskipun saya wartawan, ketika memasuki dunia bisnis, ternyata mudah dikibuli orang.

[17.28, 14/6/2025] Wina Armada: Sebagian besar wartawan kalo bisnis mudah dikibulin.

Dan entah kenapa, rekanan saya yang terpercaya, juga lambat menyelesaikan orderan perbaikan dari softcover ke hardcover. Hingga Pak Wina berpulang, buku tersebut belum selesai dikerjakan.

Dalam pada itu saya teringat ucapan Pak Wina, akibat buku ini lambat, manajemen Podcast Sembilan belum menyetujui segera dituntaskan program yang sedang berjalan, yaitu peluncuran buku hasil Lomba Piala Kebangsaan 2025. Lewat telepon Pak Wina menuturkan, selesai dulu buku Satu Abad, baru beralih ke peluncuran dan pembagian hadiah Lomba Cipta Puisi.

Saya tercenung di serambi Galeri Jeihan, salah satunya teringat proses buku tersebut. Kenapa saya bisa terkibuli ya oleh calo?

Dalam pikiran saya, Pak Wina tetaplah orang baik dan dermawan. Saya katakan begitu, karena dalam beberapa penerbitan buku Pak Wina, harga yang saya ajukan sudah tergolong ekslusif, dan Pak Wina menyetujui ajuan harga tersebut. Malah di akhir serah terima buku, Pak Wina mentransfer dana ucapan terima kasih karena saya telah bekerja keras dan mewujudkan buku antologi Pacul Berdarah, Puisi Serba-benda. Juga ketika rumah mertua saya hancur lebur diterjang longsor Cipongkor pada Maret 2024, Pak Wina juga mengirimkan sumbangan. Juga ketika novel Sang Tokoh diluncurkan, saya diminta jadi moderator, dan membaca puisi. Tentu semua itu ada honornya.

Pak Wina pernah pula mempersuasi saya, supaya kami punya perkumpulan berbadan hukum. Partey Penulis Puisi yang saya dirikan pada 2009, hingga sekarang bertahan sebagai organisasi tak jelas bentuknya. Pak Wina saya minta menjadi Ketua, tapi Pak Wina tampaknya malu-malu untuk menerima permintaan tersebut. “Cari dululah yang lain, yang kompeten, orangnya bersih, kalow bisa yang ternama,” katanya melalui telepon.

Di saat tercenung itu, Mas Gal yang menjadi fasilitator Galeri Jeihan, terlihat ada di beranda yang lain, sedang asyik ngobrol dengan sekian seniman, dan saya lihat ada Om Abah Tris, Doddi Eka Pratama atau Doddi Kiwari. Saya pun segera merapat ke sana, bergabung, dan mencermati apa yang mereka obrolkan. Rupanya mereka sedang merencanakan suatu kegiatan terkait seni budaya di Kota Bandung.

Di tengah obrolan itu, saya tiba-tiba bicara tentang orang-orang yang meninggal, yang terkait dengan saya, salah satunya tentu Pak Wina yang baru berpulang. Alamatnya di Jakarta, tapi malam ini saya terlalu letih bila bertolak ke Jakarta, untuk tazkiyah ke rumah duka.

Saya bercerita, ada orang yang meninggal setelah saya menyarankan untuk meroko, malah saya kasih sebatang rokok di malam hari, dan esoknya orang tersebut meninggal. Saya merasa bersalah, dan takut dipersalahkan. Tapi istri yang meninggal malah berujar, “Rezeki terakhir almarhum, harus diterima lewat Bapak. Suami saya peroko berat. Saat sakit tentu tidak meroko, tapi Bpk kasih roko sebelum ia berpulang,” plong hati saya.

Tabib akupunktur yang mengobati saya, menyarankan saya untuk kembali meroko dan minum kopi. Kedatangan kedua berobat, ditemani istri saya, dan tabib itu menyarankan yang sama, meroko dan kembali ngopi. Istri saya agak mencorong matanya. Berobat yang ketiga, masih sama sarannya, saya harus kembali meroko dan minum kopi. Istri saya kembali mencorong matanya.

Namun akhirnya saya meroko dan minum kopi karena saat itu saya menjamu tukang tembok yang membenahi talang karena akan memasuki musim hujan. Dia suka meroko dan ngopi, dan saya ikut-ikutan menyicipinya. Setelah minum kopi, terasa benar ke tubuh, rasa segar seperti menjalar, dan tubuh terasa ringan. Akhrinya saya putuskan untuk kembali meroko tembakow dilinting sesuai saran tabib, dan minum kopi tanpa gula, juga sesuai saran tabib.

Saya ceritakan kisah wafatnya tabib itu ke Pak Wina. Pak Wina berkomentar itu takdir. Ya benar itu takdir yang kebetulan, koinsidensi. Adapun tentang roko, Pak Wina tidak meroko. Bila ada tamu, teman, ke rumah dan suka meroko, Pak Wina menyediakan ruang khusus untuk peroko.

Saya berkata ke Kg Doddi Eka Pratama, Om Abah Tris, dan lain-lain, dilaporkan ada 12 orang pesepak bola mati justru sedang merumput. Mereka terlalu memacu tubuh, dikejar obsesi, jantung jadi stres. Maaf nikotin adalah mengurangi dengut jantung yang terlalu dipacu, dan kebalikannya, kafein memacu denyut jantung, dan itu sebabnya, orang yang suka begadang secara naluriah suka minum kopi. Tentang asumsi saya itu, tentu tidak pernah saya ceritakan ke Pak Wina, karena itu sama dengan saya menyuruh Pak Wina untuk meroko. Namun saya percaya, mereka yang terlalu sibuk fisik dan pikiran, ada baiknya meroko.

Di akhir November, bertepatan dengan tubuh yang mulai terasa segar, datanglah naskah Sang Tokoh, Novel Absurd Paling Realistis karya Pak Wina, yang sempat terhenti karena saya sakit dan Pak Wina sibuk. Maka digeberlah penyelesaian novel setebal 380 halaman itu, hingga terbit. Novel ini, pada bagian-bagian tertentu, memberi motivasi kepada saya, untuk semangat dan hidup. Di salah satu sekuelnya diceritakan, Pangeran Arab yang sudah koma selama dua tahun, bisa disembuhkan oleh Sang Tokoh. Kalow begitu, saya juga harus sembuh.

Di akhir kisah, Sang Tokoh yang digambarkan punya banyak karomah itu akhirnya wafat. Dalam beberapa hal, tokoh Sang Tokoh terasa benar seperti novel biografi yang menceritakan kisah si Pak Wina sendiri.

Saya teringat pada akhir novel Sang Tokoh yang wafat. Sekaligus saya ingat tabib yang mengobati saya hingga tiga kali. Berobat yang keempat, dilayani oleh putra sang tabib, karena tabib utama jatuh di kamar mandi, dan tentu sakit. Berobat yang kelima, tidak jadi, karena tabib utama yang menyuruh saya meroko dan ngopi itu wafat.

Jika sudah waktunya, Sang Tokoh yang memiliki banyak karomah, bisa menahan laju peluru, menyembuhkan orang sakit padahal sudah koma dua tahun, terbukti tak dapat menyembuhkan dirinya sendiri ketika didera sakit. Pun tabib akupunkur yang menjadi wasilah kesembuhan saya, juga tak dapat mengobati dirinya sendiri, dan akhirnya mangkat juga.

Jika sudah waktunya, kita yang berhimpun di sini, tak dapat berbuat apa-apa. Nama adalah kosong, kejayaan hampa belaka. Di hadapan Sang Maha, yang tersisa ialah apa yang pernah kita perbuat. Jadi, mari kita berbuat baik. Meminta maaf dan memaafkan, supaya tidak menjadi belenggu jalan pulang.

Semoga Pak Wina meraih maghfiroh dan berkah Allah Swt, seluas-luasnya, sekekal-kekalnya. ***

Back to top button