‘Yalla Erhal Ya Bashar’ dan Kenangan Revolusi Suriah 2011 yang Dipimpin Petugas Damkar

- Awal 2011, Ibrahim Qashoush di petugas Damkar muncul di YouTube membawakan lagu Yalla Erhal Ya Bashar.
- Setelah Ibrahim Qashoush terbunuh, pemain sepakbola Abdul Baset al-Sarout menyanyikan Jana Jana di tengah aksi demo.
JERNIH — Tahun 2011, ketika kali pertama dalam 35 tahun penduduk Surian keluar rumah untuk berdemo menuntut akhir kekuasaan Bashar al-Assad, mereka tidak berteriak apalagi memaki keras-keras. Mereka bernyanyi.
Dipimpin para aktivis dan penulis lagu, penduduk Homs — kota yang kemudian dikenal sebagai ibu kota revolusi — bersenandung lirih; Yaal Erhal Ya Bashar, yang artinya; Ayo Bashar, Pergilah! Lagu dinyanyikan setiap malam, bersama lagu-lagu lain.
Lagu itu populer dalam waktu singkat. Dihafal dan dinyanyikan penduduk semua usia. Lebih penting dari semua itu, itulah kali pertama penduduk menyebut nama Bashar al-Assad di depan umum.
Selama bertahun-tahun, lebih tepatnya sejak Hafez al-Assad berkuasa lewat kudeta tak berdarah tahun 1971, nama al-Assad diucapkan dengan berbisik. Mengucapkan nama itu secara salah, atau dengan nada yang salah, adalah petaka.
Hafel al-Assad membangun badan keamanan yang terkenal kejam, dengan telinga di setiap sudut dan di tengah masyarakat. Diam adalah cara terbaik untuk selamat. Diam adalah pengorbanan terbesar bagi siapa pun yang hidup di bawah rezim Keluarga al-Assad.
Maret 2011, warga Suriah tak lagi diam. Sekali dan untuk selamanya, setelah penyiksaan terhadap 15 mahasiswa di Daraa karena membuat grafiti antipemerintah, penduduk Homs dan kota-kota lain turun ke jalan.
Musik, Lagu, dan Yel-Yel
Jurnalis Al-Jazeera yang menyamar sebagai penduduk Suriah selama berbulan-bulan menyaksikan semua itu. “Meski pemerintah merespon dengan kekerasan dan serangan, demo berjalan hampir setiap malam,” kata jurnalis itu.
“Orang-orang keluar untuk bernyanyi, seolah itu kali pertama mereka menjadi manusia bebas dan bermartabat,” lanjut jurnalis itu.
Sebuah subkultur musik protes yang unik muncul dan menyebar di sekujur Suriah. Lagu-lagu itu masih dihafal mereka yang selamat dari pembantaian pada aksi demo, dinyanyikan anak-anak yang bermain di halaman rumah setiap hari.
Pertanyaannya, siapa yang menciptakan suasana demo seperti itu?
Jawaban atas pertanyaan ini hanya satu, yaitu Ibrahim Qashoush. Ini nama yang akan dikenang mereka yang melawan kekuasaan Bashar al-Assad dan yang berdemo sepanjang 2011.
Awal 2011, klip YouTube berisi Qashoush bernyanyi Yalla Erhal Ya Bashar muncul. Suara tajam Qashoush diiringi derbeke, atau gendang Arab. Lewat lagu itu ia mengejek Keluarga al-Assad, sesuatu yang kelewat berani pada masanya.
Yang lebih mencengangkan adalah Qashoush bukan artis. Ia hanya petugas pemadam kebakaran berusia 33 tahun, dan ayah tiga anak laki-laki. Ia menghabiskan waktu senggang dengan menulis lagu, bermain kata, dan musik.
Juli 2011, jenazah Qashoush ditemukan di tepi sungai di Hama, kota kelahirannya. Lehernya digorok, pita suaranya dicabut — pembunuhan brutal yang hanya meningkatkan gerakan protes di Suriah.
Qashoush telah tiada, tapi Yalla Erhal Ya Bashar dinyanyikan lebih keras. Ribuan orang menghadiri pemakaman Qashoush di Hama. Setelah itu muncul kabar Qashoush masih hidup. Qashoush menjadi mitologi seputar ikon pemberontakan.
Perlawanan Pemain Sepak Bola
Qashoush tidak sendiri. Seorang pemain sepak bola berbakat, lebih tepatnya penjaga gawang tim nasional Suriah bernama Abdul Baset al-Sarout, muncul di tengah massa dengan lagu Jana Jana (Surga Surga). Lagu itu dinyanyikan di berbagai aksi demo di Homs, kota kelahirannya.
Tahun 2012, Sarout mengatakan kepada Al Jazeera; “Saya tidak bisa lagi sering berdemo. Orang-orang al-Assad benar-benar ingin membunuh saya. Mereka menargetkan saya.”
Serout selamat dari upaya pembunuhan. Setelah demo berubah menjadi perang saudara, Serout angkat senjata. Ia memimpin unit pemberontak selama pengepungan Homs, lalu berada satu resimen dengan Tentara Pembebasan Suriah.
Perannya dalam pemberontakan menjadi subyek film dokumenter Return to Homs, yang memenangkan penghargaan di Festival Film Sundance 2014.
Tahun 2019, saat melawan tentara rezim di Hama, Serout tewas. Ia dimakamkan dengan iringan lagu Jana Jana dari pengeras suara. Ratusan orang bergantian mengusung jenazahnya ke pemakaman umum.
Banyak cara mengenang Serout, mulai dari berandai-andai sampai membicarakan keberaniannya. Alex Rowell, dari majalah New Lines, berandai-andai dengan mengatakan; “Jika tidak meninggal, orang Suriah mungkin akan melihat bintang sepak bolanya bermain di Liga Inggris.”
Lainnya mengatakan Serout adalah contoh langka pemimpin protes antipemerintah Suriah. Ia terlalu berani dengan tidak menutupi wajah, sebuah pertunjukan kekuatan dan kerentanan yang tidak malu-malu.
Serout tidak seperti kebanyakan tokoh publik yang menyembunyikan wajah saat berdemo, mengingat bahaya kehilangan nyawa di depan mata.