Tiga Aktivis Mesir yang Bakal Bergabung dengan Armada Sumud Global Menghilang

Ketiga aktivis tersebut merupakan bagian dari Armada Sumud Mesir, sebuah gerakan akar rumput yang menyatukan masyarakat sipil, beberapa serikat pekerja profesional, dan tokoh masyarakat dalam upaya menyampaikan pesan solidaritas dengan Gaza.
JERNIH – Tiga aktivis yang merupakan bagian dari bagian dari Armada Sumud Mesir untuk menantang blokade maritim Israel terhadap Gaza tiba-tiba menghilang pada 29 September. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan tentang keberadaan mereka dan menyebarkan ketakutan di antara rekan-rekannya.
Ketiga aktivis itu merupakan bagian dari gerakan akar rumput yang menyatukan masyarakat sipil Mesir, sejumlah serikat pekerja profesional, dan tokoh masyarakat dalam upaya menyampaikan pesan solidaritas dengan rakyat Gaza. Prakarsa tersebut mengumpulkan dana dan bantuan material, termasuk bahan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan lainnya, berencana bergabung dengan Global Sumud Flotilla (GSF).
Ini adalah dorongan berani bagi keterlibatan nasional dalam solidaritas dengan Palestina, yang berupaya menghindari tekanan pada saluran bantuan darat Mesir seperti penyeberangan Rafah di perbatasan Gaza dengan menggunakan rute laut untuk mencapai wilayah pesisir yang rata dengan tanah akibat perang.
Namun, ketiga aktivis tersebut menghilang secara tiba-tiba. Terakhir ketiganya terlihat di pusat kota Kairo, menurut rekan penyelenggara. “Kami diberitahu bahwa mereka tidak pulang,” kata Ziad Bassioni, salah satu penyelenggara armada, kepada The New Arab (TNA).
Pihak berwenang Mesir belum mengeluarkan pernyataan resmi tentang hilangnya ketiga aktivis tersebut dan tidak menyebutkan apakah ada surat perintah penangkapan terhadap mereka. Meskipun demikian, rekan-rekan penyelenggara yakin bahwa hilangnya mereka terkait dengan aktivisme mereka dalam Armada Sumud Mesir.
Inisiatif Armada Sumud Mesir diluncurkan pada 8 September bercita-cita membentuk basis dukungan untuk bertindak sebagai partisipasi publik Mesir dalam upaya global mengakhiri pengepungan di Gaza. Para penyelenggaranya telah mengajak hampir semua serikat profesional, al-Azhar, dan Gereja Ortodoks Koptik untuk bergabung.
Sejauh ini telah terkumpul lebih dari tiga ton bantuan diikuti oleh banyak tokoh masyarakat, termasuk aktivis politik, jurnalis, pengacara, serta individu terkemuka lainnya. Prakarsa tersebut telah merencanakan memuat lima perahu dengan bantuan kemanusiaan ini dan berlayar menuju Gaza setelah bergabung dengan GSF, yang sekarang hanya berjarak sekitar 100 mil laut dari pantai Gaza.
Meskipun demikian, para penyelenggaranya terus berjuang untuk memperoleh izin resmi untuk menggunakan pelabuhan Mediterania Mesir untuk bergabung dengan GSF, meskipun telah menghubungi semua lembaga pemerintah terkait, termasuk otoritas pelabuhan. “Kami tidak menemukan alasan apa pun untuk menolak izin kami,” kata salah satu penyelenggara kepada TNA tanpa menyebut nama.
Ia menghubungkan penundaan resmi dalam izin yang diperlukan dengan kekhawatiran aktivis Mesir akan terjebak di tengah-tengah aksi kekerasan yang diperkirakan akan dilakukan tentara Israel terhadap GSF. Israel telah memutuskan untuk mencegat kapal yang melakukan perjalanan ke Gaza dalam GSF.
Hilangnya tiga orang penyelenggara terbaru menambah tantangan yang dihadapi Armada Sumud Mesir saat berupaya bergabung dengan GSF. Hal ini memperparah kurangnya kerja sama resmi terhadap inisiatif tersebut dan tekanan yang diberikan kepada para penyelenggaranya sejak awal.
Tekanan-tekanan ini, menurut beberapa penyelenggara, termasuk ancaman oleh badan keamanan agar tidak bersikeras melanjutkan pengorganisasian armada tersebut.
Salah satu penyelenggara mengatakan bahwa ia dan rekannya harus mengurangi jumlah kapal yang mereka rencanakan untuk disertakan dalam armada karena tekanan dari badan keamanan. Beberapa pemilik kapal lokal yang sebelumnya setuju untuk menjadi bagian dari armada, berubah pikiran beberapa saat kemudian.
Ia menambahkan bahwa pemilik kapal di sejumlah kota Mediterania di Mesir diperingatkan agar tidak bergabung dengan armada atau menyewakan kapal mereka kepada inisiatif tersebut.
Tekanan yang sama kemungkinan menyebabkan pembatalan konferensi yang direncanakan Armada Sumud Mesir awal bulan ini, yang dimaksudkan untuk menggalang dukungan publik terhadap inisiatifnya.
Bassioni dan penyelenggara lainnya telah menugaskan seorang pengacara untuk mengikuti jalur hukum guna mengetahui keberadaan ketiga penyelenggara yang menghilang pada 29 September.
Mesir memiliki catatan mengenai hilangnya aktivis politik. Catatan yang pertama kali dimulai setelah pemberontakan tahun 2011 terhadap presiden lama Hosni Mubarak, tetapi terus berlanjut hingga saat ini. Negara ini juga memiliki rekam jejak permusuhan terhadap inisiatif publik, yang berupaya mengambil alih solidaritas dengan Gaza ke tangan mereka sendiri.
Pada bulan Juni, otoritas Mesir menangkap puluhan aktivis asing di Kota Ismailia di Terusan Suez, yang mencoba mencapai Sinai dan kemudian penyeberangan Rafah di perbatasan dengan Gaza sebagai bagian dari Global March to Gaza.
Pihak berwenang kemudian menolak puluhan bus membawa ratusan aktivis internasional yang mencoba mencapai perbatasan Mesir-Gaza, melintasi hampir seluruh Afrika Utara, untuk masuk ke Mesir dari Libya.
Hilangnya ketiga aktivis tersebut menambah catatan ini, kata aktivis armada. “Perkembangan ini mengirimkan pesan yang sangat buruk, tidak hanya bagi warga Mesir, tetapi juga bagi orang-orang di mana pun,” kata Bassioni.