
Kehadiran Ray Dalio dalam wacana Danantara mengingatkan bahwa pembangunan institusi publik tidak pernah lepas dari simbol, reputasi, dan politik. Presiden bahkan telah memberinya penghargaan. Tetapi sejauh mana Dalio dapat berkontribusi bagi Danantara?
JERNIH – Ketika Indonesia meluncurkan Danantara sebagai sovereign wealth fund baru, publik disuguhi kabar mengejutkan: nama Raymond Thomas Dalio alias Ray Dalio, investor legendaris asal Amerika Serikat, dikaitkan langsung dengan lembaga ini. Kehadiran seorang tokoh global sekelas Dalio tentu bukan sekadar detail teknis, melainkan simbol yang sarat makna.
Ia membawa reputasi, pengetahuan, dan jaringan internasional yang dapat mengubah arah persepsi dunia terhadap Indonesia. Namun di saat yang sama, keterlibatan Dalio juga memunculkan pertanyaan: sejauh mana kehadiran figur internasional dapat benar-benar memberi manfaat, dan sejauh mana itu hanya menjadi pencitraan?

Dalio bukan orang sembarangan. Ia membangun Bridgewater Associates menjadi hedge fund terbesar di dunia, mengelola ratusan miliar dolar, dan dikenal luas berkat filosofi manajemen yang ia sebut “radical transparency.” Gagasannya tentang siklus ekonomi, terutama mengenai utang dan kebangkitan-kemunduran kekuatan global, telah menjadi rujukan banyak pemimpin politik dan bisnis. Karyanya, seperti Principles: Life & Work, beredar luas sebagai semacam “kitab” bagi manajemen modern.
Ketika Bridgewater Associates sejak 1975 dari apartemennya, lalu menjadikannya hedge fund (dana investasi gabungan yang dikelola secara profesional ) terbesar di dunia. Pada puncaknya, Bridgewater mengelola lebih dari 160 miliar dolar aset (sekitar Rp 2.500 triliun), dengan total keuntungan kumulatif untuk klien lebih dari 58 miliar dolar selama empat dekade — angka ini menempatkan Bridgewater sebagai hedge fund dengan profit tertinggi sepanjang sejarah industri.
Sebagai investor, rekam jejak Dalio sangat impresif. Strategi “Pure Alpha Fund” miliknya berhasil memberikan return tahunan rata-rata sekitar 12% sejak diluncurkan pada 1991, bahkan melewati krisis-krisis besar termasuk krisis keuangan 2008. Tahun itu, ketika banyak bank besar ambruk, Bridgewater justru mencatat kinerja positif dan memperkuat reputasinya sebagai “safe haven” institusi keuangan global.
Namun, reputasi besar itu datang bersama kontroversi. Budaya perusahaan yang ia bangun sering dipuji sebagai inovatif, tetapi juga dikritik sebagai terlalu keras, bahkan “cult-like.” Sebagian karyawan lama Bridgewater menyebut pengalaman kerja di sana traumatis, meski Dalio melihatnya sebagai jalan menuju meritokrasi sejati. Kontroversi inilah yang membuat namanya selalu berada di zona abu-abu: disegani sekaligus diragukan.
Kabar tentang Dalio bergabung dengan Danantara sempat membingungkan publik. Beberapa media melaporkan ia menjadi penasihat strategis, kemudian muncul berita bahwa ia mundur, lalu beredar lagi pernyataan yang membantah kabar pengunduran diri tersebut. Menanggapi hal ini, Dalio menegaskan, “Saya tetap menjadi pendukung setia misi Danantara Indonesia. Keterlibatan saya sebagai penasihat tetap sama, dan tidak berubah, bersifat sukarela, dan tidak dibayar.”
Pernyataan ini memperlihatkan bahwa perannya memang lebih bersifat informal, bukan manajerial, tetapi tetap membawa bobot simbolis.
Mengapa Danantara ingin dikaitkan dengan Dalio?
Jawabannya jelas: reputasi. Sebagai lembaga baru, Danantara membutuhkan legitimasi internasional untuk menarik investor dan mitra. Rosan Perkasa Roeslani, CEO Danantara, menegaskan, “Kita bertukar pikiran bagaimana pengembangan Danantara, karena beliau kan adalah salah satu investor terbesar dan paling berhasil di dunia. Masukan dari Ray Dalio ini kepada kami sangat-sangat baik, sangat-sangat bagus masukan-masukannya sehingga ke depannya peran dari Danantara bisa berjalan sesuai dengan amanahnya.”
Kehadiran Dalio dalam lingkaran diskusi strategis semacam ini memberi sinyal bahwa Danantara berupaya menautkan dirinya pada standar global, bukan sekadar regional.
Apabila keterlibatan Dalio nyata, dampaknya bisa besar. Pertama, Indonesia bisa mendapatkan akses ke jaringan investor global yang selama ini skeptis terhadap tata kelola institusi publik di negara berkembang.
Kedua, prinsip-prinsip investasi yang berorientasi jangka panjang dapat membantu Danantara menghindari jebakan investasi politik yang kerap menjerat lembaga serupa di negara lain. Dan ketiga, legitimasi internasional yang melekat pada nama Dalio berpotensi mempercepat masuknya modal untuk proyek-proyek strategis seperti energi terbarukan dan infrastruktur hijau.

Presiden Prabowo sendiri menegaskan bahwa keterlibatan Dalio diharapkan membawa nilai kritis. “Saya rasa Anda berada dalam posisi yang dapat berbicara kepada kami secara terbuka dan juga secara kritis. Saya rasa kami memang memerlukan nasihat-nasihat yang kritis ini, saya rasa kuncinya,” jelasnya. Pernyataan ini mencerminkan harapan bahwa Dalio bukan hanya figur simbolis, tetapi benar-benar mitra diskusi yang berani mengoreksi.
Di sisi lain, Presiden juga menekankan arah besar Danantara, “Danantara Indonesia ini merupakan konsolidasi kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu BUMN, usaha-usaha negara. Danantara ini kita konsolidasikan untuk melaksanakan suatu perbaikan, suatu peningkatan dalam kinerja.”
Bahkan, dalam pertemuan resmi, ia menambahkan secara personal ke Dalio. “Ray, you are a good friend, you’ve become a good friend of mine and I think we would like you to be a good friend of Indonesia,” sambut Prabowo.
Kutipan ini menunjukkan bagaimana figur global seperti Dalio juga diposisikan sebagai “sahabat politik,” bukan sekadar penasihat teknis.

Kendati Dalio belum pula bekerja untuk Danantara namun Prabowo sudah memberinya Bintang Tanda Jasa Utama pada 30 September lalu. Dengan memberikan penghargaan kepada tokoh global, pemerintah Indonesia memberi sinyal bahwa negara membuka diri terhadap investor dan pemikiran internasional. Ini bisa meningkatkan kepercayaan pasar dan mitra asing bahwa Indonesia serius membangun institusi investasi seperti Danantara secara transparan dan kompetitif
Prestasi Dalio tidak perlu diragukan: hedge fund yang ia dirikan berhasil mencetak puluhan miliar dolar keuntungan bagi kliennya, sekaligus bertahan melewati krisis-krisis global. Ia menjadi miliarder dengan kekayaan pribadi lebih dari 19 miliar dolar, dan kerap masuk daftar “Top 100 Most Influential People” versi Time. Tetapi bayangan kontroversi selalu mengikuti: tuduhan budaya kerja toksik, sikap yang dianggap elitis, serta inkonsistensi publik terkait peran-perannya di berbagai proyek. Hal-hal inilah yang membuat keterlibatannya di Danantara sekaligus menguntungkan dan berisiko.(*)
BACA JUGA: Prabowonomics VS Deng-isme: Catatan Atas Kuliah Raymond Thomas Dalio