
Presiden Prabowo bisa melakukan shutdown secara parsial. Misalnya, saat ini Presiden sedang melakukan Reformasi Kepolisian. Bisa saja lembaga Kepolisian di “shutdown” dahulu. Lalu fungsi-fungsi pelayanan publik yang menjadi domain Kepolisian diserahkan dulu kepada lembaga lain. Misalnya, dalam fungsi Kepolisian untuk keamanan negara (Kamneg), bisa saja Korps Brigade Mobil ditarik dan disimpan di bawah Kementerian Pertahanan.
Oleh : Kurnia Fajar
JERNIH– Pemerintah AS ditutup di tengah perpecahan yang mendalam antara anggota parlemen Republik dan Demokrat. Terhitung 1 Oktober 2025.
Apa yang terjadi ketika pemerintah AS ditutup? Jika terjadi penutupan pemerintahan, pemerintah federal menghentikan semua fungsi “non-esensial”, yang secara historis akan menyebabkan ratusan ribu pegawai federal dirumahkan dan penutupan banyak fasilitas pemerintah, termasuk taman nasional. ASN Amerika Serikat yang pekerjaannya dianggap “esensial” diwajibkan untuk melapor kerja, seringkali tanpa bayaran, hingga penutupan pemerintahan berakhir.
Ini termasuk personel militer aktif dan petugas penegak hukum federal. Pegawai negeri dirumahkan tanpa gaji. Yang esensial (dokter, tentara, polisi, imigrasi, dsb.) tetap kerja namun tanpa adanya gaji. Apakah AS pernah shutdown sebelumnya? Ini shutdown ke-21 dalam sejarah AS. Era Trump 2018–2019, pernah berlangsung 35 hari, dan menjadi shutdown terpanjang. Ekonomi AS rugi $3 miliar saat itu.
Apa Strategi Trump? Pemerintahan Trump sudah minta lembaga federal siap-siap PHK massal permanen para ASN. Ini bisa jadi cara untuk “menyusutkan” birokrasi federal.
Apakah Indonesia bisa melakukan hal yang sama? Sebagai negara demokrasi, dengan kedaulatan berada di tangan rakyat. Seharusnya Indonesia bisa melakukannya. Tentu dalam rangka reformasi birokrasi dan menciptakan aparatur sipil negara yang lebih melayani rakyat.
Dalam sejarah Republik, hanya Presiden Gus Dur yang mau dan berani shutdown, dengan membubarkan Kementerian Sosial dan Kementerian Penerangan. Hanya saja, karena bangsa ini kekurangan literasi dalam hal membedakan pemerintah dengan negara, hal yang dilakukan Gus Dur ini mendapatkan cibiran dan sentimen negatif dari masyarakat.
Shutdown pemerintahan ini juga bermanfaat dalam program efisiensi yang digagas oleh Presiden Prabowo Soebianto. Tujuan akhirnya tentu terciptanya birokrasi yang transparan dan lebih melayani. Lalu bagaimana dengan pelayanan publik? Bisa beragam cara, Presiden Prabowo bisa melakukan shutdown secara parsial. Misalnya, saat ini Presiden sedang melakukan Reformasi Kepolisian. Bisa saja lembaga Kepolisian di “shutdown” dahulu. Lalu fungsi-fungsi pelayanan publik yang menjadi domain Kepolisian diserahkan dulu kepada lembaga lain. Misalnya, dalam fungsi Kepolisian untuk keamanan negara (Kamneg), bisa saja Korps Brigade Mobil ditarik dan disimpan di bawah Kementerian Pertahanan.
Kemudian untuk fungsi kamtibmas, wewenangnya bisa diserahkan kepada polisi pamong praja, dinas perhubungan dan pemadam kebakaran. Lalu untuk fungsi penegakan hukum bisa diserahkan kepada penyidik-penyidik di lingkungan ASN, inspektorat. Untuk kejahatan Narkoba bisa diserahkan kepada BNN dan instansi lain. Sehingga Reformasi Polri bisa utuh dan menyeluruh. Sehingga ketika Kepolisian di aktifkan kembali sudah terjadi perubahan mendasar dan signifikan. Setelah shutdown Kepolisian bisa dilanjutkan dengan shutdown pemerintah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.
Ini penting, jangan sampai reformasi birokrasi hanya menjadi ilusi saja. Banyak Pemkab/pemkot di pulau Jawa habiskan 50 persen APBD untuk anggaran belanja pegawainya. Rata-rata pemda habiskan Rp 1,5 sd 3 triliun untuk anggaran belanja pegawai. Kenapa pemda lebih memilih malakin rakyat daripada melakukan penghematan anggaran belanja pegawainya?
Contoh Kabupaten Pati. PAD atau pendapatan asli daerahnya hanya sekitar Rp 300 miliar, sementara belanja pegawainya Rp 1,5 triliun. Amat boros dan tidak efisien. Ini terjadi hampir di semua kabupaten/kota di Indonesia.
Porsi anggaran untk pembangunan malah makin kecil. Anggaran pegawai makin boros. Sudah boros, lamban, lalu banyak kasus korupsi pula. Ambyar!
Selain shutdown demi reformasi birokrasi juga saatnya reformasi sistem politik dan kepartaian. Partai politik tumbuh menjadi mesin oligarki: tertutup, mahal, dan nyaris mustahil ditembus wajah-wajah baru. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menegaskan, akar persoalan ada di sini. Tanpa membongkar sistem kepartaian dan memperkuat pendidikan politik, kebijakan publik akan terus lahir dari ruang politik yang sempit dan elitis. Momentum untuk memperbaikinya sebenarnya ada sekarang, lewat revisi Undang-undang Pemilu dan Pilkada. Tapi langkah itu berulang kali ditahan DPR dan pemerintah. Jadi ide kemarin tentang #resetIndonesia harusnya bisa menjadi renungan bagi Presiden Prabowo.
Reformasi birokrasi dan partai politik itu penting agar lembaga-lembaga kita semakin sederhana dan lincah, makin sigap melayani, dan cepat memberikan izin. Lembaga yang tidak efisien, tidak efektif, kita pangkas. Bahkan, kalau tidak bermanfaat dan bermasalah, lebih baik dibubarkan saja.
Jangan lagi memakai pola pikir lama yang bekerja secara linier, yang hanya berupa rutinitas, monoton. Kita harus berubah, membangun nilai-nilai baru dalam bekerja yang menuntut kecepatan beradaptasi dengan kedaulatan rakyat sebagai pemilik dan pemegang saham sah republik Indonesia.
Pertanyaannya, apakah Presiden berani melakukan langkah radikal ini? Jika itu terjadi, yang bergulir bukan hanya reformasi, tapi juga revolusi dalam pemerintahan dan birokrasi di Republik Indonesia yang kita cintai ini. Tabik! [ ]