Mengarungi Jalan Sutra dalam 12 Hari: Perjalanan Lintas Milenium
Setelah itu kami pergi ke Bozori Kord Hammam, tempat mandi dan pijat berusia 350 tahun, untuk ‘dikukus’, digosok, dipijat, dan digosok lagi dengan madu dan jahe oleh berbagai anggota keluarga Iran-Uzbekistan yang kini memilikinya
Langit yang terdeoksigenasi di atas Tajikistan berwarna biru jernih manakala kami melaju melalui jalanan kecil di sebuah pegunungan terpencil di Pamir bagian timur. Selama berhari-hari kami berkendara di salah satu jalan paling berbahaya di dunia, Jalan Raya Pamir.
Jalan itu meliuk-liuk melewati dataran tinggi Tajikistan, sebelum berbelok ke utara menuju Kirgistan di sepanjang perbatasan dengan Cina. Kami baru saja melewati celah tertinggi: hampir 15 ribu kaki atau sekitar 4.560 meter di atas permukaan laut, dengan pemandangan ke Pegunungan Hindu Kush. Jalan di depan kami terbentang, kosong dan tak berujung, di atas dataran monokrom yang sempit, dengan ngarai dan kawah berselingan di kiri kanan jalan.
“Pada hari yang cerah, Anda dapat melihat 7.000 gunung dari sini,”kata Omurbek Satarov, sopir kami, seorang Pamiri berusia 38 tahun, menunjuk ke arah Himalaya. Dia menunjukkan tempat-tempat penuh sejarah intrik: tempat yang dulunya merupakan laboratorium biologis Soviet yang tersembunyi; sebuah gunung penuh dengan deposit emas yang baru-baru ini ditransaksikan pemerintah Tajik dalam ‘perjanjian rahasia’ dengan Cina; pos pemeriksaan Rusia di sisi tebing yang dibangun pada tahun 1912 dan dibentuk dari pasta lumpur dan bulu unta; sementara sekawanan domba bertanduk spiral berlari melintasi jalanan berbatu.
Domba-domba itu disebut Marco Polos, dinamai sesuai nama seorang penjelajah Venesia yang melewati jalan ini ketika ia masih merupakan bagian dari Jalan Sutra kuno, sebuah rute besar perdagangan yang membentang dari Cina ke Mediterania. Lewat jalan itu tersebar tak hanya sutra dan barang-barang lainnya, tetapi juga seni, teknologi, ide dan sistem kepercayaan, hingga akhirnya ke seluruh dunia.
Omurbek menunjuk sebuah pos pemeriksaan lain. Kata dia, pos itu dibangun di lokasi kuburan massal Basmachis, para gerilyawan Muslim anti-Bolshevik yang memberontak melawan pemerintahan Soviet di awal abad ke-20.
“Orang-orang bilang angker,” katanya, dari balik kacamata hitam. “Para penjaga perbatasan seringkali diganggu hantu, seolah mengejek mereka dari alam lain.” Dia tahu hal itu karena ayah, paman dan kakeknya, semua adalah penjaga perbatasan Soviet. Dia sendiri adalah seorang petugas kontra-narkotika yang mengejar para penyelundup obat bius yang membawa opium dan heroin Afghanistan ke Moskwa, tempat barang haram itu didistribusikan sebuah jaringan perdagangan Timur-Barat yang lebih baru dan lebih merusak.
“Itu bukan pekerjaan yang menyenangkan,” kata Omurbek, yang sekarang bekerja di sektor pariwisata Tajikistan yang tengah berkembang.
Suami saya, Roham, dan saya berada di titik dua pertiga perjalanan yang telah saya impikan selama bertahun-tahun: mengikuti bagian dari Jalur Sutra melalui negara-negara Asia Tengah di Uzbekistan, Tajikistan dan Kirgistan, bagian dunia yang selama berabad-abad merupakan tempat lahirnya peradaban—pembangun kekaisaran dari Alexander Agung hingga Jenghis Khan. Namun hingga baru-baru ini tempat itu sulit—kalau pun tak mungkin, dikunjungi orang Barat.
Selama beberapa generasi, kuil-kuil Buddha dan Zoroaster, masjid-masjid berhias dan madrasah, pasar kuno dan pemandangan alam indah yang tersembunyi, disembunyikan di balik tirai besi Komunis, kemudian diselimuti kediktatoran, kemiskinan, kekacauan sosial, dan perang.
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir gelombang pasang telah berubah, ketika stabilitas ekonomi dan politik relatif menetap di kawasan tersebut. Kematian diktator brutal dan berkuasa di Uzbekistan, Islam Karimov pada 2016, telah menyebabkan reformasi dan pencairan sementara. Terjadilah ‘musim semi Uzbekistan’ alias Uzbekistan spring.
Tajikistan telah mengalami rekonstruksi luar biasa sejak akhir 1997 keluar dari perang saudara enam tahun yang menghancurkan, sementara kerusuhan demi kerusuhan yang melanda Kyrgyzstan satu dekade lalu memudar menjadi masa lalu. Perbatasan dibuka dan pembatasan visa dicabut. Pada 2018, warga dari lebih dari 100 negara, termasuk Amerika Serikat, dapat melakukan perjalanan bebas visa melalui Uzbekistan hingga lima hari, dan sistem e-visa baru membuat tinggal lebih lama relatif lebih mudah.
Transportasi regional telah membaik, sebagian karena inisiatif pemerintah Cina yang membangun Belt and Road Initiative (OBOR) yang kontroversial dan bernilai triliunan dolar AS. Jalan raya yang juga dikenal sebagai New Silk Road itu membentang dari Asia Timur ke Eropa, bertujuan untuk memperluas pengaruh politik dan ekonomi Cina, dan dikritisi sebagai penyebab krisis utang negara-negara di wilayah itu. Hanya Turkmenistan—negara polisi, yang masih dikontrol ketat dan tetap tertutup.
Awal petualangan
Melewati ibukota Uzbekistan di Tashkent, kami memulai perjalanan dari kota suci kuno Bukhara. Kota kedua setelah Bagdad sebagai kota intelektual dunia Islam saat itu, Bukhara adalah pusat perdagangan, beasiswa, agama dan budaya yang merentang hingga melewati milenium. Di situlah penyair besar Persia Firdausi dan Rudaki menyusun karya mereka yang paling penting. Di situ pula Ibnu Sina–yang disebut bapak kedokteran modern, menulis risalah yang menjadi magnum opusnya, ‘Al Qanun fi At-Tibb’ yang akan menanamkan pengertian selama berabad-abad kepada para para ilmuwan dan filsuf, dari Kairo hingga Brussels.
Perjalanan yang dimulai dari Berlin itu tidak mudah. Tetapi dua hari perjalanan udara dengan tiket biaya rendah itu segera terlupakan begitu di saat fajar kami melangkah keluar, memasuki alun-alun Lyabi-Hauz dari abad 17. Dua madrasah berubin biru mengapit reservoir batu yang luas, berjajaran dengan biara Sufi dan kedai teh, yang berdiri tenang diselimuti kabut. Pagi yang sunyi, kecuali pekik burung-burung kecil di dahan-dahan pepohonan murbei.
Kami tidur selama beberapa jam di Lyabi House Hotel, salah satu dari beberapa bed-and-breakfasts terkenal di Bukhara, yang mengambil lokasi rumah-rumah pedagang Yahudi abad ke-19. Setelah itu bergegas menuju kompleks keagamaan Po-i-Kalon, tempat arsitektur terkenal di dalam kota.
Terletak di selatan Ark Citadel kuno, Po-i-Kalon mencakup Menara Kalon abad ke-12 yang sangat indah, satu dari hanya dua bangunan di kota yang dilindungi Jenghis Khan saat ia dan pasukan Mongolnya menjarah. Selama berabad-abad, penjahat yang dihukum mati dilemparkan dari atas menara, membuat pas nama yang disampirkan untuknya: Menara Maut. Beberapa orang percaya, pola hiasan berlian dari tembok batu bata yang dibakar itu menjadi inspirasi–melalui Marco Polo, untuk Istana Doge di alun-alun San Marco di Venesia.
Dalam kondisi semacam trance, kami berjalan menyusur labirin kota dengan masjid-masjid berkubah biru, halaman berubin mosaik, dan tempat bekas para kafilah menginap dan menitipkan hewan-hewan tunggangan mereka. Semua disatukan arkade kuno yang hanya tercemar sebagian karena pengembangan wisata yang norak. Di antara dua pasar tua berkubah, di mana penduduk setempat saat ini menjual kerajinan tangan dengan kualitas dan keaslian yang bervariasi, kami mengunjungi Maghok-i-Attar. Itulah masjid tertua di Asia Tengah dan pusat sejarah keagamaan di Bukhara yang paling sederhana. Masjid itu hasil rekonstruksi pada abad ke-16 dari masjid abad kesembilan yang dibangun di atas sisa-sisa kuil api Zoroaster abad kelima, yang dulunya dibangun di atas kuil Buddha yang ada sebelumnya.
Setelah itu kami pergi ke Bozori Kord Hammam, tempat mandi dan pijat berusia 350 tahun, untuk ‘dikukus’, digosok, dipijat, dan digosok lagi dengan madu dan jahe oleh berbagai anggota keluarga Iran-Uzbekistan yang kini memilikinya.
Menjelang matahari terbenam, kami menghadapi meja tempat banyak makanan-minuman teronggok, di teras sebuah restoran bernama Minzifa, yang menghadap ke kubah-kubah matahari dan atap-atap bangunan Bukhara. Di sana kami menjelajah kuliner termasyhur Asia Tengah yang dibentuk oleh beragam budaya kuliner, dari Asia Timur, padang stepa Mongolia hingga Teluk Persia.
Salad kubis Cina, mentimun, bawang dan daging sapi dalam saus cabe-wijen, segera turun ke perut, diikuti plov atau nasi pilaf, makanan pokok Asia Tengah yang dipengaruhi budaya Persia, yang mungkin saja berasal dari metode kuliner zaman keemasan Islam. Semua menambah variasi hidangan beras nasional dari paella Spanyol ke Biryani India. Nasi kecoklatan dengan daging–biasanya domba atau kambing, yang direbus dalam kaldron yang disebut Kazan dengan bawang merah, bawang putih dan wortel, dan dibumbui dengan jintan, ketumbar, barberi atau kismis, marigold dan lada. Versi Resto Minzifa ini terasa lembut dan beraroma, ideal dinikmati bersama shish-kebab dan daging sapi lunak yang dibakar sempurna, untuk kemudian dicuci dengan minuman teh hijau Asia Tengah yang ada di mana-mana.
Foodwise, perjalanan kulinet tampaknya datri sana akan menurun. Meskipun mungkin untuk menemukan versi plov yang baik dan bahkan hebat, pangsit gaya Asia Timur lezat yang disebut manty, dan hidangan lainnya, saya harus setuju dengan pepatah bahwa orang tidak mengunjungi Asia Tengah untuk makan.
Harta karun Samarkand
Keesokan paginya kami berangkat pagi-pagi melalui jalur kereta berkecepatan tinggi yang ramping, yang secara drastis mengurangi waktu perjalanan di negara itu. Hal itu dimulai pada 2018, dari Tashkent ke kota Silk Road lainnya, yakni kota Khiva di barat. Ladang kapas berkelap-kelip dalam kegelapan pagi sampai kami akhirnya mencapai Samarkand, sebuah kota setua Roma atau Babel, yang kekayaan arsitekturalnya bahkan melampaui milik Bukhara. Banyak Gedung dibangun oleh Timurlenk (juga dikenal sebagai Tamerlane), penakluk Turco-Mongol dari abad pertengahan yang menjadikan Samarkand sebagai ibukota.
Di Observatorium Ulugbek, salah satu yang pertama dan terbaik dalam sejarah manusia, kami memandangi parit di kuadran yang tersisa dari busur meridian besar yang memungkinkan para astronom awal mengukur waktu dan benda-benda langit dengan akurasi yang hingga kini terasa menakjubkan.
Dari Registan, alun-alun pusat kuno Samarkand, kami berjalan ke perempatan Old Jewish Quarter yang dilupakan, kemudian menuju ke Necropolis Shah-i-Zinda, labirin luas mausoleum berkubah biru dan berkilau keramik, tempat para peziarah dan turis berkeliaran dalam keheningan, di antara mosaik dan majolica.
Situs-situsnya luar biasa, tetapi bahkan lebih dari Bukhara, Samarkand menderita karena terlalu berkembangnya tempat-tempat wisata. Shah-i-Zinda dipulihkan dengan agresif pada tahun 2005, dan para penjual suvenir yang menjual setengah memaksa, sekarang menyumbati jalan-jalan menuju madrasah-madrasah suci yang indah di Registan.
Ini adalah masalah yang harus dikedepankan di Uzbekistan, terutama setelah pembuldoseran saluran abad pertengahan sepanjang 1,2 mil di kota tenggara Shakhrisyabz, yang hampir menyebabkan pencabutan statusnya oleh UNESCO.
Pagi berikutnya, kami naik taksi dari Samarkand dan lebih jauh menjelajah Lembah Zerafshan yang subur, melewati ladang kapas dan gandum serta ladang bunga poppy merah darah, sampai kami mencapai perbatasan Tajik. Di sana, kami berjalan di zona perbatasan berpagar yang diapit oleh papan reklame Presiden Tajik, Emomali Rahmon, dan penerus Kadirov yang memudar, Presiden Uzbekistan, Shavkat Mirziyoyev. Keduanya, dengan senyum penuh kemenangan, saling menggenggam tangan. Itu adalah salah satu dari beberapa penyeberangan Uzbek-Tajik yang dibuka kembali dalam beberapa tahun terakhir–bagian dari upaya meredakan ketegangan antara kedua negara setelah kematian Kadirov.
Di Tajikistan, lukisan dinding, mata air panas dan reruntuhan
Di Tajik, kami menumpang pada salah satu pengemudi kekar yang berebut untuk berebut untuk mendapatkan kami, sebelum menuju Penjikent, sebuah kota kuno di seberang perbatasan. Setelah berhenti untuk melihat reruntuhan Neolitikum di pinggiran jalan. Kami juga menuju Museum Rudaki, yang dikhususkan untuk penyair besar Persia tetapi terkenal karena lukisan dinding Sogdia abad ke delapan yang fenomenal, yang menggambarkan kehidupan istana dan adegan-adegan dari sastra epik Persia.
Kami mengagumi lukisan dinding, bukti kekayaan besar dan kecanggihan orang-orang Sogdiana, pedagang karavan utama di Asia Tengah dari abad kelima hingga kedelapan, yang memainkan peran besar dalam membawa agama Buddha ke Cina dan sutra ke Eropa.
Saya begitu tenggelam dalam lamunan sejarah, sehingga hampir tidak menyadari telah memasuki sebuah ruangan yang dipenuhi dengan binatang-binatang tak berdosa yang membusuk. Semua berubah menjadi kesedihan dan teror yang mengerikan. Tetapi pada saat ini kami telah terbiasa dengan kejutan seperti itu.
Untuk bisa menikmati perjalanan semacam ini melalui Asia Tengah, Anda harus bersikap bersahabat dengan hal-hal aneh dan tak terduga, dengan hidangan daging berminyak, toilet jongkok yang suram, dan insiden hina yang sering terjadi. Seringkali semacam itu menjadi lucu, juga besiaplah manakala ada kekacauan dalam bertransaksi.
Selama perjalanan 12 hari, beberapa kali kami terjebak dalam krisis perjalanan: sempat menghabiskan waktu berjam-jam mencari mesin ATM yang berfungsi dibantu sekelompok ‘sampah masyarakat’. Pernah pula terpojok di zona perbatasan oleh banyak orang, atau seorang lelaki besar berseragam militer dengan mulut penuh gigi emas, bersikeras memaksa kami masuk ke dalam mobilnya karena menurut dia pengemudi lain ‘tidak normal’. Atau, kami terbangun di suatu pagi manakala pintu kamar hotel kami digedor seorang sopir taksi yang bersikeras membawa kami ke kota lain. Pernah pula suatu kali, di sebuah restoran bergaya perjamuan resmi disajikan mayones dari sebuah piala yang berkilau bling bling.
Namun kami juga menunggang kuda di saat fajar, melintas padang rumput dengan bunga-bunga liar yang membeku disiram salju, menyaksikan kafilah unta Afghanistan melintasi Koridor Wakhan dalam badai salju, mandi di mata air berbelerang di udara dingin gunung, dan tertawa bersama penduduk setempat. Itu tentu saja sulit, kacau, dan melelahkan. Namun tanpa diragukan, semua itu merupakan salah satu perjalanan paling berkesan dalam hidup saya.
Dari Penjikent kami terus ke Dushanbe, ibukota Tajik, untuk menjelajahi jalan-jalan penuh dengan monumen era Soviet yang luas, yang telah mengalami keindahan yang dramatis sejak walikota baru Rustam Emomali, putra Presiden Emomali Rahmon, berkuasa. Emomali yang dituakan telah memimpin negara itu selama 26 tahun, menstabilkannya dengan cara otoriterianisme. Putranya diharapkan public menjadi presiden berikutnya.
Namun ada kekuatan lain yang tengah membesar. Remaja Tajik dalam balutan Nike dan Adidas menyemuti jalan-jalan Dushanbe, dengan tangan-tangan erat menggenggam bir. Dalam perjalanan menuju kedai teh gaya Persia, Chaykhona Rokhat, kami melewati kerumunan di sekitar panggung darurat yang berdiri dekat situ, hampir semua memegang smartphone di bawah sebuah spanduk besar bertuliskan,”Huawei Selfie Show”.
Di pagi hari kami bertemu dengan seorang pengemudi dari sebuah perusahaan bernama Roof of the World–julukan untuk daerah yang dikenal sebagai Asia Tinggi, termasuk Pamir, Himalaya dan Tibet, bersama seorang eksekutif perusahaan batubara Rusia berusia 29 tahun yang suka bertualang, yang saya temukan di papan pesan pencarian untuk berbagi biaya 1.200 dolar AS upah pengemudi dari Dushanbe ke Osh. Biasanya perjalanan memakan waktu enam hari; kami memutuskan untuk melakukannya dalam empat hari, yang berarti membuat perjalanan hari pertama menuju Khorog, kota di pegunungan tersebut, dalam 16 jam.
Seharusnya perjalanan itu sangat melelahkan, tapi sebagian besar saya rasa luar biasa. Daerah pinggiran Dushanbe memberi peluang melihat pemandangan biru-hijau yang bergelombang dan medan akuatik air di reservoir Norak, sumber energi hidroelektrik utama di sana. Bayangan awan melewati dusun kecil di sisi tebing yang berkilauan di cahaya malam, saat cerobong asap menyembur dari sisi dapur.
Akhirnya kami sampai di Sungai Panj yang memisahkan Tajikistan dan Afghanistan, yang akan kami ikuti selama dua hari ke depan. Kami ingin melihat sebanyak mungkin daerah pedesaan utara Afghanistan, dari sisi lain sungai seperti yang telah kami alami di Tajikistan.
Kami berhenti di sumber air panas dan mendaki ke reruntuhan kuil dan benteng Zoroaster dan Buddha yang pernah berdiri tegak di sepanjang Jalur Sutra. Malam harinya kami berhenti untuk makan dan tidur di sepanjang rantai homestay yang menghubungkan wilayah ini sekarang. Setiap desa di pegunungan terdapat beberapa penginapan, tempat orang-orang Pamir yang ramah menawarkan makanan hangat dan tempat tidur atau tempat di lantai kepada pengunjung.
Ke pegunungan
Ketika kami naik semakin tinggi ke Pamirs timur, keterasingan yang liar melingkup kami. Ngarai besar dan tonjolan bebatuan tinggi membentang di cakrawala, diselingi alur-alur pertanian hijau yang digarap dengan metode tradisional yang oleh para petani merana pada masa Soviet, ketika barang-barang sebagian besar diimpor.
Ketika Uni Soviet runtuh, tidak ada tempat yang dihantam lebih keras daripada Pamir, wilayah termiskin dan paling terisolasi di negara termiskin di bekas Blok Timur. Orang-orang Pamir berpihak pada pemberontak yang kalah dalam perang, membuat mereka hancur berkeping-keping. Namun dalam dekade terakhir, mereka telah melakukan pemulihan yang luar biasa, sebagian karena bantuan asing, sebagian besar berasal dari Yayasan Aga Khan, seorang pemimpin spiritual populasi Pamir kelahiran Swiss.
“Tetapi pariwisata juga yang membuat perbedaan besar,” kata Ruzadorova Bakhten, pemilik homestay berusia 48 tahun yang cantik dan istri gembala yak, ketika ia menghidangkan sepiring besar ikan goreng di desa terpencil Bulunkul. “Setiap tahun semakin banyak pengunjung. Ini membuat kami sangat bahagia, bukan hanya karena mereka menghabiskan uang, “katanya,” tetapi karena kadang-kadang mereka datang dan membantu dengan cara lain.”
Tahun lalu, katanya, seorang warga Amerika yang pertama kali datang sebagai turis, kembali untuk memasang atap tahan cuaca baru di sekolah, di mana Ruzadorova menjadi kepala sekolah itu. Setelah makan siang, dia mengantar kami berjalan-jalan melihat-lihat sekolah dan sekitarnya. Sekolah itu berpemanas oven kala musim dingin, dihiasi beraneka poster-poster tokoh-tokoh Rusia, Pamir, Tajik dan Inggris yang sudah mengelupas. Kami kmbali ke desa yang terletak di dataran tinggi, yang diliputi angin dan dikelilingi salju di gunung-gunung yang membubung tinggi itu.
“Sangat indah di sini,” kata suamiku kepada beberapa pria lokal yang tengah memperbaiki panel surya sumbangan sebuah LSM Jerman. “Oh ya, sangat cantik!” balas salah seorang lelaki dengan sarkasme yang begitu tajam. Memang tekesan kontras manakala saat itu seorang anak melintas mengendarai sepeda berkarat, di sekitar tempat tinggal yang dibangun dari tanah dan kotoran yak.
Sore itu kami bergerak ke tempat yang lebih tinggi ke Pamir Timur, berhenti untuk mengagumi danau air tawar Yashil Kul dan Bulunkul yang berkilauan. Di kota dataran tinggi Pamir, Murgab, pada ketinggian 12.000 kaki di atas permukaan laut, kami bertemu Omurbek, yang memiliki surat-surat resmi untuk membawa kami ke Kirgistan.
Perjalanan itu mencapai klimaks yang cukup ‘menggelegar’. Dalam waktu satu jam lebih sedikit, puncak-puncak Taldik yang putih bersalju membutakan jalan menuju lembah Alay di Kirgistan yang hijau. Sapi dan kuda merumput di perbukitan dan sesekali berkeliaran di jalanan.
Hijau berubah menjadi lebih hijau saat kami turun ke Lembah Fergana, koridor kuno yang subur antara peradaban Yunani, Cina, Bactrian, dan Parthia, akhirnya tiba di kota Osh, Silk Road. Kami terlalu awal untuk mengunjungi padang rumput di gunung yang luar biasa tinggi, atau penjara Son-Kol, Kochkor atau Karakol. Jadi setelah malam kami keluar dalam satu jam perjalanan menuju Taman Nasional Kyrgyz-Ata. Di sana, kami tinggal di sebuah yurt yang tinggi di atas bukit, dekat rumah seorang gembala dan keluarganya.
Kami menghabiskan hari-hari terakhir kami di Asia Tengah dengan menunggang kuda melalui hutan juniper yang lebat, mendaki gunung, mempelajari gaya berkendaraan Kyrgyz. Kami sering dibiarkan tanpa pengawasan, mendaki hutan belantara. Semak berduri menggores kaki saya, membuat sakit saat berkendara bahkan berjalan. Tidak ada yang bisa dimakan selain plov dan manty tua. Pada akhir musim semi salju menghantam yurt itu, meneteskan salju cair ke bawah, membuat tempat tidur kami basah kuyup. Kami bangun menggigil di bawah selimut, menatap ke tengah-tengah yurt yang bolong menampilkan langit musim semi pucat. Kami berharap itu tidak akan pernah berakhir. [Charly Wilder/ The New York Times]