Sulut, Wilayah Rawan Perlintasan Pelaku Terorisme
MANADO – Pemerintah terus melakukan upaya terhadap penanggulangan terorisme di Indonesia, termasuk pada wilayah perbatasan dan pulau terluar di tanah air.
Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Penanggulangan Teroris (BNPT), Irjen Pol Budiono Sandi, mengatakan wilayah Sulawesi Utara merupakan salah satu wilayah rawan dalam perlintasan barang maupun pelaku terorisme.
“Wilayah ini berbatasan langsung dengan Filipina, dimana jaringan teroris diwilayah perbatasan ini di antaranya kelompok-kelompok teror yang berafliasi dengan Abu Sayyaf, Maute dan Jamaah Islamiyah sejak kekalahan ISIS di Irak dan Suriah,” ujarnya di Manado, Rabu (11/3/2020).
“Mereka mulai memindahkan pusat aktivitasnya ke berbagai wilayah dimana salah satunya adalah Marawi, Filipina Selatan sehingga menjadikan wilayah tersebut dan sekitarnya menjadi rawan aksi terorisme,” Sandi melanjutkan.
Sementara, Kabid Operasi (Kabidops) Zona Maritim Tengah, Kolonel Bakamla Ahmad Muharam, mengatakan perlunya peningkatan koordinasi yang ketat dan sinergi antar pemegang kebijakan (stakeholder) terkait penanganan terorisme, antara aparat yang berwenang di darat dan aparat yang berwenang di laut.
Hal tersebut untuk meminimalisir bentuk kejadian dan ancaman terorisme di laut, baik dalam bentuk penculikan-penculikan yang kerap terjadi dilakukan oleh Abu Sayyaf Grup (ASG) maupun jalur perlintasan para pelaku terorisme melalui jalur laut.
“Terkait pelaksanaan penanggulangan terorisme di laut, Kamla Zona Maritim Tengah melaksanakan patroli secara berkala, dengan melibatkan unsur kapal patroli sebanyak dua unit yang beroperasi di wilayah perairan Laut Sulawesi hingga ke selat Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB),” katany.
Selain itu, lanjut Sandi, pertukaran informasi lintas instansi terkait dilakukan untuk mengatisipasi kegiatan ilegal fishing yang juga berpotensi menyelundupkan benda mencurigakan maupun senjata api dari perairan Filipina Selatan.
Garis besar kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia adalah menyeimbangkan pendekatan lunak (soft approach) dan keras (hard apporoach). Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 2018, pendekatan lunak difokuskan pada upaya pencegahan yang dilaksanakan melalui kesiapsiagaan nasional, deradikalisasi, dan kontra radikalisasi.
“Terkait pendekatan keras (hard approach), indonesia memfokuskan pada penegakan hukum yang memperhatikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM),” kata dia. [Fan]