Menikmati ‘Beuleum Cau’ di Bangkok
Sambil mengunyah pisang bakar, ingatan melayang nun jauh ke kampung halaman. Ke masa silam, tatkala “beuleum cau” menjadi menu camilan sehari-hari. Bahkan menjadi makanan pokok pengganti beras di musim paceklik.
Oleh : Usep Romli H.M.
Jauh-jauh ke Bangkok, hanya untuk menikmati pisang bakar alias “beuleum cau”? Mungkin ya, karena di tanah air sudah amat jarang menemukan makanan khas pedesaan itu. Mungkin juga tidak,karena memang tidak direncanakan. Hanya kebetulan saja. Sedang jalan-jalan di tengah keriuhan Bangkok yang kini dianggap kota paling pesat dan dinamis di Asia Tengggara, menyaingi Hong Kong dan Singapura, tiba-tiba menemukan tukang jualan pisang bakar di trotoar.
Bangkok tampaknya tidak menyia-nyiakan situs-situs budaya, baik berupa bangunan peninggalan masa lampau, maupun tradisi masyarakat yang bertahan melalui aneka macam kesenian warisan leluhur. Juga kuliner asli dan khas.
Maka penjual pisang bakar, tenang-tenang saja pasang jongko di lorong-lorong sempit pencakar langit. Membuat tungku arang, mengipasi api dengan “hihid”. Kepulan asap tidak terasa mengganggu. Malah menarik perhatian para pejalan kaki. Terutama para turis asing. Harum lembut pisang bakar cukup mengundang selera. Apalagi harganya terbilang murah. Satu biji 2 bath (Rp 600). Sepuluh biji pisang bakar cukup untuk menambah variasi camilan, agar tidak terasa monoton karena terus-terusan mengunyah makanan kecil kemasan toko.
Pisang bakar dari jenis pisang “muli” itu, gurih lezat. Dan asli pula. Dalam arti tidak diberi zat pewarna dan perasa. Warna kuning betul-betul muncul dari hasil pembakaran. Bukan dipoles obat celup pewarna tekstil. Juga manis alami. Bukan tambahan pemanis buatan.
Kekayaan buah-buahan asli di Bangkok, kiranya dipertahankan benar. Penanaman dan penjualannya pun dilindungi. Peredaran buah impor dibatasi di supermarket dan mal-mal besar. Jarang ditemukan buah impor dijajakan bebas di jongko pedagang buah-buahan di kaki lima.
Seperti pisang bakar tadi, merupakan salah satu dari hasil pertanian rakyat Thailand. Jenis-jenis yang sudah jarang terdapat di tanah air, seperti “cau kulutuk” (pisang batu), masih banyak dijajakan di lapak kaki lima. Pisang “ambon” dan “raja cere” suguhan cuci mulut di hotel-hotel, juga hasil pertanian setempat. Bukan impor dari Karibia atau Haiti. Sudah pasti yang namanya durian, semacam “montong”, yang betul-betul tulen Thailand.
Sambil mengunyah pisang bakar, ingatan melayang nun jauh ke kampung halaman. Ke masa silam, tatkala “beuleum cau” menjadi menu camilan sehari-hari. Bahkan menjadi makanan pokok pengganti beras di musim paceklik. Ke masa tatkala sawah ladang masih berjaya sebagai tempat bercocok-tanam aneka macam tanaman pangan. Sebelum lahan-lahan pertanian tersebut berubah peran dan fungsi menjadi gedung, pabrik, restoran, jalan tol, dan segala apa yang tidak berhubungan lagi dengan usaha pertanian dan sumber ketahanan pangan.
Ke masa-masa sebelum “beuleum cau”, dan sejenisnya, tersisih oleh makanan olahan pabrik, yang menggunakan kemasan warna-warni , serta merek dagang aneh-aneh.
Menikmati pisang bakar di metropolitan Bangkok, ternyata mampu sejenak mengembalikan “jati diri” seorang kampung “bau lisung” ke habitatnya yang murni dan bersih. Alhamdulillah. [ ]