Solilokui

“Karamah” : Apa dan Bagaimana?

Karena mendapat “nash” (dalil) dari Quran dan Sunnah Rasulullah Saw, maka “karamah” tidak dapat sembarangan diperoleh siapa saja yang tak memenuhi syarat lahiriah dan batiniah berdasarkan penilaian Allah SWT. Apalagi untuk tujuan komersial duniawiyah, seperti penggandaan uang yang mengandung unsur penipuan.

Oleh   :  H.Usep Romli HM

Sering ada orang mengaku-ngaku punya “karamah”. Mampu menggandakan uang, mendekatkan jodoh, memuluskan pangkat jabatan, dan sejenisnya.

Betulkah itu? Entahlah. Yang jelas, “karamah” bukan suatu perkara enteng. Sebab “karamah” merupakan hal yang berkaitan dengan akidah Islam.  Dalam Islam,“karamah” adalah kemuliaan, keluhuran dan anugerah yang diberikan Allah SWT kepada hamba  yang dicintaiNya (Walii Allah). Sedangkan ciri-ciri Wali Allah, paling utama,  beriman dan bertakwa kepada Allah SWT (Q. Yunus  : 62-64). Tidak sembarang orang mampu mencapai derajat Wali Allah dan mendapat “karamah” dariNya.

Al Quran banyak mengungkapkan figur-figur Wali Allah yang mendapat anugerah “karamah”.  Antara lain, seorang ahli ilmu anak buah Nabi Sulaiman, yang mampu memindahkan kursi singgasana Ratu Bilqis hanya dalam sekedipan mata (Q.s. An- Naml:40). Padahal jarak antara kerajaan Bilqis di Saba (Yaman), dengan kerajaan Nabi Sulaiman di Yerusalem (Palestina), kl. 5 ribu kilometer. Tapi ahli ilmu itu, para mufassir menyebutnya Ashaf bin Barkhaya,  mendapat “karamah” sehingga memiliki keahlian sedemikian menakjubkan .

Kemudian figur Zulqarnain (Q.s.Al Kahfi : 83-1080. Ia membangun benteng besi campur tembaga. Menutup lembah gunung, untuk melindungi penduduk setempat dari gangguan mahluk ganas Yajuz dan Majuz.

Serta seorang hamba di antara hamba-hamba Allah, yang mendapat rahmat untuk mengajarkan ilmu kepada Nabi Musa (Q.S. Al Kahfi : 60-82). Para mufassir menamakan “hamba di antara hamba-hamba Allah yang mendapat rahmat ilmu” itu, Khidir. Ia mendapat “karamah” mengajarkan “ilmu hikmah” (sesuatu di balik kenyataan lahiriah).

Maryam, bunda Nabi Isa, termasuk seorang Wali Allah. Setiap hari, ia mendapat hidangan segar dan hangat di tempatnya beribadah  (Q.s. Ali Imran : 37).

“Karamah” tersebut, berperan dan berfungsi untuk semakin mendekatkan para penerimanya kepada Allah SWT Maha Pemberi Karamah. Baik pendekatan lahiriah, berupa amal soleh kepada sesama manusia, maupun pendekatan batiniah, berupa ibadah kepada Allah SWT dengan menunaikan segala kewajiban (fardlu) dan sunnah (nawafil).

Karena mendapat “nash” (dalil) dari Quran dan Sunnah Rasulullah Saw, maka “karamah” tidak dapat sembarangan diperoleh siapa saja yang tak memenuhi syarat lahirian dan batiniah berdasarkan penilaian Allah SWT. Apalagi untuk tujuan komersial duniawiyah, seperti penggandaan uang yang mengandung unsur penipuan.

“Karamah” sebagaimana halnya ”mukjizat” (sesuatu yang luar biasa pada diri Nabi dan Rasul Allah), dan “maunah” (pertolongan Allah SWT kepada setiap orang beriman dalam keadaan terdesak), tidak dipelajari terlebih dahulu. Karena semata-mata hanya keistimewaan mendadak dan sekejap dari Allah SWT.

Nabi Ibrahim  mendapat “mukjizat” tidak mempan dibakar api . Dia tidak mempelajari dulu bagaimana agar api tidak terasa panas. Atau agar badannya “weduk” (tidak mempan apapun). Melainkan karena pertolongan Allah SWT semata. Ketika sudah berada di atas tumpukan unggun atas perintah Raja Namrudz, dan api menyala-nyala, Allah SWT berfirman : “Hai api, dinginlah, dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim” (Q.s.Al Anibya : 69). 

Demikian pula “mukjizat” Nabi Musa, melemparkan tongkat menjadi ular yang melahap ular-ular ciptaan tukang sihir (Q.S.Thaha : 19-21). Semua hanyalah kehendak Allah SWT. Tidak dapat dipelajari dan tidak ada rumus ilmunya.

Termasuk “maunah”. Seseorang Mumin awam, dikejar anjing gila. Secara reflek, ia melompati pagar setinggi tiga meter. Selamat. Tapi kemampuannya hanya sekali itu saja. Ketika ia esok mencoba melompati pagar kemarin, selalu gagal. Itulah “maunah”.

Menurut Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah (abad 13 M), dalam kitab “Al Furqan Baina Aluliyaur Rahman wa Auliyausy Syaithan”,kriteria Wali Allah, dimulai dari iman dan takwa kepada Allah SWT. Mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) dengan melaksanakan  ibadah dan melaksanakan amal soleh sesuai ketentuan syariah. Pada proses selanjutnya, orang yang demikian itu, akan mencapai martabat “kekasih Allah” yang mendapat anugerah berita gembira bagi kehidupannya di dunia dan akhirat, sesuai firmanNya  Q,s.Yunus  : 62-64).

Sedangkan orang-orang yang  tak pernah melakukan perbuatan baik, bahkan lebih banyak melakukan kemaksiatan, tapi berpenampilan begini-begitu (berpakaian aneh-aneh, berperilaku aneh-aneh) agar diakui orang sebagai sosok “Wali Allah”itu hanya penipuan belaka. Keahliannya yang berbau “ghaib” dan “ajaib”, bukanlah “karamah”. Mungkin  sekedar sulap atau sihir yang dapat dipelajari melalui rumus-rumus dan latihan tertentu.

Atau merupakan “istjrad” (panyungkun, lanjuran) dari Allah SWT karena kekafiran dan kefasikan yang amat sangat. Dalam S.Kahfi ayat 29 disebutkan :    “Nilai hak itu dari Allah. Siapa yang mau beriman, berimanlah seiman-imanya. Siapa yang mau kufur, kufurlah sekufur-kufurlah”.

Menurut para mufassir, ayat tersebut mengandung makna, anugrah Allah berupa “karamah” diberikan kepada orang-orang yang benar—benar beriman seiman-imannya. Sedangkan orang kufur yang sekufur-kufurnya akan mendapat “istrijrad”. Segala hasrat kejahatannya diluluskan.Tapi pada suatu saat akan mendapa hukuman setimpal secara tiba-tiba (Q.s. Al An’am : 44).

Adapun  orang setengah iman setengah kufur, masuk kategorikan kufur dengan segala risiko hukumannya. [  ]

Back to top button