‘Dakwah Bil Sambel’ Embah Wali Cibiuk
Cucu buyut Embah Wali memanggil Baduwi. Menyerahkan bungkusan berisi Sambel Cibiuk, “Cobalah isi bungkusan ini, teplokkan ke pantat unta!”kata cucu buyut Embah Wali sambil memegang kendali erat-erat.
Oleh : H.Usép Romli HM
Syekh Jafar Siddik, yang termasyhur dengan sebutan Embah Wali Cibiuk, hidup di penghujung abad 18. Sezaman dengan Syekh Abdul Muhyi (Embah Wali Pamijahan).
Bahkan konon keduanya bersahabat. Sering bersama-sama salat Jumat ke Masjidil Haram Mekkah, menggunakan aji “Saepi Angin”. Menunggang angin. Kadang-kadang berjalan menembus terowongan dari Gua Pamijahan, yang konon tembus ke Tanah Suci.
Sebagaimana para ulama terdahulu, dalam berdakwah Syekh Jafar Siddik yang bertugas di kawasan utara Garut, lebih mengutamakan kerja (contoh nyata) daripada bicara (teori) belaka. Sebagaimana dikatakan pepatah Arab “af’alul hal, afshahu min lisanil qawl”. Berbuat sesuatu lebih bagus daripada hanya mengatakan sesuatu.
Nah, salah satu bukti kerja dakwah bil hal Embah Wali, antara lain “Sambel Cibiuk”. Melalui “dakwah bil sambel”, Embah Wali memberi contoh kepada masyarakat mengenai cara melestarikan lingkungan dan kerja sosial yang bermanfaat sepanjang masa.
Menurut ceritera rakyat (folklore), yang dikumpulkan oleh Panitia Tahun Buku Internasonal 1972 Indonesia, di wilayah Priangan (Garut, Tasikmalaya, Ciamis,Sumedang), “Sambel Cibiuk”, yang lahir dari kreativitas Embah Wali Jafar Siddik, semula digunakan agar orang-orang yang didakwahi, tertarik mempelajari ajaran Islam. Embah Wali memerintahkan putrinya, Nyi Mas Fatimah, menghidangkan suguhan kepada setiap tamu yang datang, sebagai tanda menghormati dan memuliakan tamu sebagaimana dicontohkan Kangjeng Nabi Muhammad Saw, yang menyatakan, “Man kana yu’minu billahi wal yaumil akhir, falyukrim dloifahu”. Siapa saja manusia yang beriman kepada Alloh dan Hari Akhir, harus memuliakan tamunya (hadits sahih riwayat Imam Bukhori).
Maka Embah Wali menunjukkan cara menjalankan Sunnah Rosulullah dengan cara memuliakan tamu melalui praktek menyuguhi tamu-tamunya makan-minum. Sebelum memulai makan, para tamu diajak berdo’a : “Allohumma bariklana fi ma rozaktana wa qina adzaban naar”. Ya Alloh, semoga rejeki kami semua ini diberkahi, dan kami semua dilindungi dari siksa api neraka (hadits sahih riwayat Imam Bukhori).
Sesudah makan, bersama-sama mengucapkan puji syukur kepada Alloh SWT, yang sudah memnberikan nikmat : “Alhamdulillahilladzi ath’amana wa saqona wa ja’alna Muslimin”. Segala puji milik Alloh,yang telah memberi kami semua, makanan dan minuman, serta memasukkan kami semua menjadi Muslim.(hadits sahih Bukhori).
Selain itu, diterapkan pula cara memelihara kelestarian lingkungan. Lokasi tempat Embah Wali menyebarkan dakwah Islam, adalah sebuah rumah panggung, beratap “julang ngapak” khas rumah asli Tatar Sunda. Di bagian depan, terdapat “tepas”, yaitu balai-balai terbuka dan cukup luas untuk menampung duduk 5-10 orang. Di sampingnya, berdiri sebuah “tajug”, masjid kecil. Di depannya , ada kolam agak luas. Dialuri air dari mata air, menggunakan batang-batang bambu, pancuran air. Selain untuk mengisi kolam, berfungsi pula sebagai tempat wudu.
Sepanjang pinggir kolam, penuh tanaman untuk kebutuhan dapur sehari-hari, seperti cabe rawit, bawang daun, bawang merah, bawang putih, kencur, surawung, jahe, tomat kemir, dan sebagainya.
Halaman belakang, terdiri dari sawah dua tiga petak. Di seberangnya, tanah berbentuk bukit kecil, dijadikan hutan. Bagian puncak diisi kayu-kayu keras semacam beringin, bungur, kihuru, yang menjadi sumber mata-air. Di bagian tengah dan bawah, berderet aneka macam pohon kayu usia pendek, seperti albasia, juar, bintinu, mahoni, dan lain-lain, serta pohon buah-buahan : mangga, rambutan, durian, pepaya. Juga pohon kawung yang air niranya dapat disadap untuk dijadikan gula merah.
Kepada para santri dan semua orang yang datang ke situ, Embah Wali selalu mengingatkan, agar betul-betul menjaga dan memelihara lingkungan. Jangan sampai dibiarkan rusak. Apalagi sengaja dirusak. Karena, lingkungan alam yang baik, akan mendatangkan air yang baik. Yaitu air yang suci dan mensucikan, baik keadaannya, maupun jumlahnya, yang memenuhi syarat-syarat bersuci (thoharoh), yang merupakan rangakaian terpenting dari ibadah. Terutama salat yang menjadi “tiang agama” (ash-sholatu imaduddin). Sedangkan untuk salat, harus wudlu dulu. Tak ada salat tanpa wudu. Alloh SWT tidak akan menerima salat seseorang yang tidak wudlu. La yaqbalullohu sholatan bi ghoiri thuhurin (hadits sahih riwayat Imam Muslim).
Lagi pula Alloh SWT membenci orang yang berbuat kerusakan di muka bumi. Innalloha la yuhibbul mufsidin (Q.s. al Qoshosh : 77). Terutama merusak alam lingkungan yang dapat mengundang bencana berkepanjangan.
Berdasarkan kepada cerita rakyat di atas, proses kelahiran “Sambel Cibiuk”, ternyata penuh dengan unsur pendidikan dan pengetahuan ekologi, serta kemandirian hidup sederhana. Sebab segala macam bumbu yang terdapat “Sambel Cibiuk”, baik sambalnya, maupun kelengkepan kawan nasi lainnya, tidak usah jauh-jauh mencari, cukup dari apa yang ada di sekitar rumah saja. Kecuali terasi, dan garam. Yang lain-lain, mulai dari cabe rawit, bawang merah, bawang putih, asam, surawung, tomat, gula merah, jeruk purut, telah tersedia.
Ikan tinggal “nyirib” atau “nyusug” di kolam depan tajug. Di”cobek” atau di”pais”. Begitu pula aneka jenis “lalab rumbah” : kangkung, térong, saladah, jotang, jongé, pohpohan, banyak terdapat di pinggir kolam atau pematang sawah. Aneka jenis pucuk-pucukan dan dedaunan padanan sambal, seperti daun singkong, jambu médé, putat, reundeu, ada di hutan kecil belakang rumah.
Pokoknya “Sambel Cibiuk” merupakan makanan paripurna, yang menumbuhkan pengetahuan keagamaan, kenikmatan lahir batin dan keasrian lingkungan.
Hingga akhir tahun 1990-an, “Sambel Cibiuk” masih berupa kuliner sederhana, di lingkungan rumah tangga pedesaan. Terutama di desa-desa Kecamatan Cibiuk (sekitar 3 km sebelah selatan Kecamatan Limbangan, dari jalur jalan raya Bandung-Malangbong-Tasiklmalaya).
Bumbu sambal sudah tak asing sejak dulu. Nama dan bahannya macam-macam. Ada sambal terasi (berbahan pokok terasi), sambal oncom (berbahan pokok oncom), sambal “galendo” (berbahan pokok galendo, ampas minyak kelapa), sambal “goang” (hanya sekedar cabe rawit, digerus kasar tanpa cmpuran apa-apa), dan banyak lagi. Sesuai tuntutan selera, koleksi jenis sambal terus bertambah. Ada sambal goréng, sambel goréng témpé, sambal “bajag”, dan lain-lain.
Nama “Sambel Cibiuk”, mungkin untuk membedakan dengan sambal-sambal lainnya. Walaupun menggunakan bahan bumbu tak jauh berbeda dari sambal terasi biasa, yaitu terasi plus cabai rawit hijau, namun ada campuran bumbu lain yang selalu harus ada. Yaitu “surawung“ (kemangi), bawang putih, kencur, tomat hijau (kemir), asam, jeruk purut.
Di luar itu, terdapat tambahan lain: riwayat atau sejarah lahirnya sambal tersebut yang berkaitan dengan kegiatan da’wah Islam abad 19, sebagaimaan dipaparkan di atas .
Unta mogok
Kemasyhuran Sambel Cibiuk, sampai juga di negeri Arab, berkat salah seorang cucu buyut Embah Wali yang sedang berhaji. Konon, dalam perjalanan ziarah ke Madinah, cucu buyut EmbahWali mengunggang unta. Dibimbing oleh pemiliknya, seorang Arab Baduwi.
Di tengah perjalanan, unta tiba-tiba mogok. Ngadat. Dicambuk, ditarik, tetap tak mau maju. Cucu buyut Embah Wali memanggil Baduwi. Menyerahkan bungkusan berisi Sambel Cibiuk, “Cobalah isi bungkusan ini, teplokkan ke pantat unta !”kata cucu buyut Embah Wali sambil memegang kendali erat-erat.
Betul saja. Begitu sambal diteplokkan, unta melonjak. Lalu lari secepat kilat. Baduwi terkejut sejenak. Mau mengejar unta begitu saja, tidak mungkin. Untung di telapak tangannya masih ada sisa Sambel Cibiuk. Tanpa ragu, ia menyingkabkan gamisnya. Mengoleskan sambal ke pantatnya. Maka iapun terlonjak. Laricepat meyusul untanya yang kabur nun jauh di tengah bentangan padang pasir.
Makam Embah Wali sekeluarga, terletak di sebuah bukit di lembah Gn.Haruman. Banyak dikunjungi peziarah dari mana-mana. Terutama pada bulan Maulud dan Rajab. Ziarah ke Embah Wali Cibiuk, biasanya satu paket dengan ziarah ke Embah Wali Pamijahan di Tasikmalaya. [ ]