Ritual Wor : Upacara Magis Suku Biak-Numfor, Vikingnya Tanah Papua.
Di Teluk Cendrawasih, sebelah utara Papua, terdapat suku pelaut yang namanya telah mashur sejak zaman Belanda. Orang Belanda jaman kolonial menyebut Suku Biak yang mendiami Pulau Biak dan Numfor sebagai Papoesche Zeerovers, yang berarti ‘Para Bajak Laut Papua’.
Berbekal kemampuan navigasi yang tinggi, Suku Biak disebut-sebut sebagai Viking-nya Papua. Beberapa sumber menyebut bahwa pada tahun 1400-an terjadi kemarau panjang di Biak.
Hal itu menyebabkan penduduk di sana pergi ke luar kawasan mereka demi bertahan hidup dengan cara berdagang dan merompak kapal-kapal di sekitar Teluk Cendrawasih.
Pada era kolonial, lantaran letaknya yang strategis, pulau yang diyakini bernama asli Warmambo ini dijadikan pusat penerbangan internasional oleh Belanda. Di masa Perang Dunia (PD) II mereka mendirikan bandar udara yang kini dikenal dengan Bandar Udara (Bandara) Internasional Frans Kaisiepo.
Bandara ini pun menjadi pusat penerangan pada misi pembebasan Irian Barat atau dikenal dengan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) tahun 1961—1962.
Kini Pulau Biak dan Numfor, bersama empat puluh dua pulau kecil lainnya, dinamakan Kabupaten Biak-Numfor. Terdiri dari sembilan belas distrik, kabupaten seluas 2.602 km2 yang pernah menyandang nama Schouten Eilanden di era kolonial ini, kini masuk wilayah administratif Provinsi Papua.
Selain sejarahnya yang panjang, sebagai entitas budaya, Suku Biak juga memiliki berbagai ragam ekspresi budaya. Salah satunya adalah seni pertunjukan tradisional berupa tarian dan nyanyian yang merupakan bagian tak terpisahkan dari upacara sakral nan magis dalam tradisi mereka.
Jakob Sumardjo dalam buku Estetika Paradoks, menyebut bahwa terdapat enam puluh enam jenis upacara yang sering dilakukan masyarakat Biak-Numfor di masa lampau. Orang-orang Biak menyebut tarian dan nyayian dalam upacara mereka sebagai wor.
Secara garis besar, ada empat jenis upacara/seni pertunjukan dalam siklus hidup (Rites of Passage) masyarakat Biak, yakni upacara kelahiran, upacara inisiasi, upacara perkawinan, dan upacara kematian.
Upacara Kelahiran
Ketika seorang wanita Biak hamil, ia akan diasingkan dalam pondokan kecil dan tak boleh dilihat orang. Wanita itu diberi makan lewat sebuah lubang kecil di dinding.
Ketika ia berhasil melahirkan dengan selamat, upacara akan dilakukan. Pria dan wanita dewasa akan menari diiringi tifa dan melantunkan syair-syair lagu. Mereka akan membentuk dua lingkaran dengan kaum hawa di lingkaran dalam dan kaum adam di lingkaran luar.
Dalam tradisi Biar, seperti di Jawa dan Sunda, ada pula fase bayi ‘cukur rambut’ atau ‘injak bumi’. Saat itu, tari-tarian bisa berlangsung tiga hari tiga malam. Penari dapat beristirahat bila merasa lelah untuk kemudian menari lagi.
Upacara yang dinilai magis ini biasanya hanya dilakukan untuk kelahiran anak pertama.
Upacara Inisiasi
Inisiasi adalah fase seorang anak menginjak masa dewasa. Di Biak, hal ini ditandai dengan melukai bagian tertentu pada alat kelamin pria. Hal ini mirip khitanan dalam tradisi Islam. Orang Biak menamakannya K’bor.
Selama sembilan hari, anak lelaki yang disunat itu dimasukan ke dalam ‘kandang’ bernama komboi yang digantung pada tiang para-para dan ditutupi tikar. Ia tak boleh dilihat oleh kaum wanita dan anak-anak.
Darah dari luka khitan itu kadang dicampur dengan makanan dan dimakan oleh wanita kerabat di anak.
Selama dikurung, para wanita dan pria menari dengan pola dua lingkaran serupa dengan wor kelahiran. Wor inisiasi terbagi menjadi dua bagian: bagian pertama diiringi syair dan tabuhan tifa, sementara bagian kedua hanya diiringi senandung syair oleh para penarinya.
Upacara Perkawinan
Wor ini dilakukan dengan tujuan untuk menyucikan dan memberi kekuatan pada pasangan pengantin. Dengan pola lantai yang sama melingkar, tarian ini dibawakan dalam tiga babak.
Babak pertama, tarian hanya diiringi syair. Babak kedua, tarian diiringi tabuhan satu buah tiga. Sementara pada babak ketiga, tarian diiringi dengan banyak tifa.
Dalam tarian ini kaum pria yang berada di lingkaran luar akan membawa tongkat berlubang yang diisi sirih-pinang. Tongkat tersebut akan ditusuk-tusukan ke penari wanita sebagai simbol aktivitas seks. Hal ini merupakan semacam doa agar pengantin segera diberi keturunan.
Upacara Kematian
Masyarakat adat Biak mengenal serangkaian upacara kematian yang terdiri dari sebelas macam upacara. Salah satunya adalah upacara mengenang jasa-jasa si mati.
Upacara menghormati jasa-jasa ini dilangsungkan dengan cara makan bersama dan bernyanyi yang syairnya berisi ratapan pada si mati. Pada upacara ini, tidak boleh ada yang memainkan alat musik dan tiap perahu yang lewat di muka rumah duka harus menurunkan layarnya. Sementara, janda yang ditinggal mati harus dipangkas pendek rambutnya.
Seluruh rangkaian upacara kematian sampai berakhir pada upacara pengusiran roh si mati dari ‘alam fana’ ke ‘alam baka’ bisa berlangsung enam hari, enam bulan, bahkan enam tahun, tergantung pada status sosial si mati.
Meski dilakukan secara masal, namun, keempat jenis upacara tersebut merupakan ‘hajat priadi’ yang hanya digelar atas permintaan keluarga atau kerabat. [ ]