Jernih.co — Dunia seni terus berkembang sesuai dengan jaman. Begitu pun seni pertunjukan. Seni lahir sebagai sebagai bentuk respon terhadap situasi faktual pada masanya. Baik respon dalam bentuk mencatat peritiwa, atau respon mendobrak realita tersebut. Semua bergantung pada kreatifitas seniman.
Jepang, tahun 1959, mengembangkan seni pertunjukan Butoh, yang digolongkan menjadi pertunjukan teater. Pertunjukan tersebut lahir melalui kolaborasi dua seniman Jepang, Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata.
Butoh lahir atas protes terlalu berkembangnya ballet di Jepang pada saat itu. Ballet adalah satu jenis tarian yang menunjukan keindahan dari tubuh yang ringan dan seimbang. Seolah-olah akan terbang dan mencapai surga di langit.
Butoh adalah antithesis dari keindahan semacam itu. Kata Butoh sendiri diartikan ‘injak bumi’ atau ‘fisik yang membumi’. Butoh merupakan ekspresi alami rakyat biasa ketika Jepang pernah hancur lebur di bom sekutu pada tahun 1945. Dan rakyat banyak yang menderita.
Sehingga tema yang ditampilkan Butoh adalah sesuatu yang tabu, gelap, dan tubuh-tubuh mati. Ekspresi dalam butoh lahir dari jiwa, perasaan atau pikiran tertentu yang mempengaruhi gerak tubuh. Bukan koreografi tubuh.
Meski Tastumi Hijikata membuat metode bagi para aktor, dengan nama Butoh Fu (irama Butoh). Tapi Butoh tidak memiliki pakem dalam bentuk koreografi. Mimesis yang diajarkan Hijikata adalah Latihan syaraf yang berat. Tubuh harus mengalami rasa lapar dan Lelah untuk mencapai bentuk yang dimaksud sebagai metode Latihan.
Maka, Butoh yang kini telah berkembang diberbagai belahan dunia, memiliki ragam bentuk yang berbeda. Karena Butoh merupakan ekspresi jiwa melalui tubuh, bukan bentuk pakem koreografi. Meski terdapat beberapa corak yang hampir mirip, seperti menggunakan pulasan wajah dan tubuh dengan warna putih, abu, atau emas.
Butoh sendiri tidak mau dimasukan ke dalam genre tari, meski beberapa pengamat seni dari barat memasukan Butoh sebagai tari eksperimental.
Butoh dapat ditampilkan dimana saja. Di tempat-tempat ekstrem dan tak terduga. Meski tanpa penonton. Seperti di dalam gua, di puncak Gedung, tangga-tangga kuil, dan lainnya. Biasanya pertunjukan Butoh tersebut didokumentasikan menjadi video.
Di Indonesia, Butoh pun sudah masuk ke pelosok-pelosok. Salah satu actor teater yang memperkenalkan Butoh di Indonesia adalah Tonny Broer yang melejit saat memerankan tokoh Kaspar yang disutradarai Rachman Sobur bersama Teater Payung Hitam.
Namun, nampaknya para aktor teater Indonesia menjadi latah dengan diperkenalkannya Butoh. Banyak diantara mereka yang kemudian membuat nomor pertunjukan yang diberi judul Butoh.
Meski di Jepang sendiri, banyak seniman muda yang mendaur ulang bentuk Butoh yang pernah dipentaskan oleh Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata. Hal tersebut lebih mengarah pada jenis tari kontemporer. Karena seperti yang dikatakan Kazuo Ohno, “Bentuk datang dengan sendirinya, hanya sejauh ada konten spiritual untuk memulai.”
Begitu pun dengan beberapa seniman muda Indonesia, yang dengan mudah mengatakan untuk membuat bentuk Butoh. Kemudian bentuk-bentuk tersebut (meniru bentuk Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata) disisipkan pada tarian atau bentuk seni tradisi atau kreasi yang sudah ada. Hal tersebut sudah melenceng dari makna Butoh itu sendiri.
Menurut Agus R. Sarjono, dalam sebuah seminar, pengambilan atau pencaplokan bentuk karya seni dari luar negeri, tanpa memahami atau tanpa mengambil makna dan nilai spiritualnya, hanya menjadikan bentuk tersebut sebagai ragam hias yang artifisial.
Padahal, Indonesia memiliki banyak bentuk seni pertunjukan, salah satunya jeprut. Meski ada pihak yang menyamakan jeprut dengan performing art, namun ada pula kelompok yang menyatakan bahwa jeprut merupakan satu bentuk seni pertunjukan tersendiri.
Apa itu Jeprut ?
Secara etimologi, jeprut berasal dari bahasa sunda yang berarti pegat atau putus secara tiba-tiba dan juga bisa berarti gila. Penamaan dalam bahasa sunda tersebut karena Jeprut memang bermula dari Bandung yang gejalanya mulai muncul seiring gerakan reformasi 1998 dan berkembang sejak awal 2000.
Pada kenyataannya, karya-karya seniman yang dikategorikan jeprut, memang ‘terputus’ dari penciptaan yang biasa, dan ia tampak aneh, abnormal, berada di luar kelaziman atau ‘gila’.
Banyak orang yang menganggap jeprut bukan sebagai karya seni, tapi tak lebih sebagai hasil perilaku dari orang-orang yang melakukan kompensasi karena ketidakmampuan membuat karya seni yang konvensional.
Dikutip dari jurnal Antropologi Indonesia yang berjudul ‘Jeprut: Perlawanan Terhadap Hegemoni Kekuasaan’ oleh Ipit. S. Dimyati, jeprut merupakan anomali dari kebudayaan dominan pada masa orde baru.
Dengan tujuan menolak, melawan, mengkritik tata nilai atau norma yang dikonstruksi oleh elite penguasa bagi kepentingan menjaga status quo.
Pertunjukan jeprut terbagi menjadi dua berdasarkan proses, yaitu memiliki konsep pertunjukan yang telah dirancang oleh seniman sebelum pertunjukan, dan improvisasi yaitu pertunjukan yang tiba-tiba saja terjadi.
Pertunjukan dapat melibatkan penonton secara penuh sebagai bagian dari pertunjukan, dapat juga hanya sebagian penonton, dan tidak melibatkan penonton sama sekali.
Jeprut memiliki bentuk yang sangat luas. Mulai dari menggoreng ikan asin di atas panggung,makan siang dengan setelan jas berdasi ditengah arus sungai, atau bahkan menari dengan bentuk tubuh yang tak lazim di tengah penonton. Bentuk seperti ini disebut juga dengan perengkel jahe.
Bentuk perengkel jahe ini yang terkadang disamakan dengan Butoh, padahal memiliki makna yang berbeda.
Jeprut juga dapat ditampilkan dimana saja. Mulai di atas panggung konvensional, hingga ruang publik dan privat. Konsep ini sama dengan Butoh. Namun Butoh lebih autis, seni tersebut tidak berinteraksi dengan penonton. Berbeda dengan Jeprut yang sangat cair.
Beberapa seniman Jawa Barat yang termasuk pertama kali mengenalkan jeprut dimulai dari Wawan Setiawan Husin, pelopor jeprut yang bersolo karir mengenalkan jeprut ‘sufisme’ sehingga kerap dianggap ‘gila’ namun sarat makna bila ‘ditafakuran’.
Di teater, nama Iman Soleh tak bisa dilepaskan dengan gagasan “Jeprut Jaya” yang diusungnya dari kampus Sekolah Tingi Seni Indonesia (STSI) kini menjadi Institut Seni Budaya Indonesia Bandung (ISBI). Herakan Jeprut Jaya di STSI pernah menjadi trend tersendiri ketika mulai dijadikan sarana untuk ‘protes’.
Demikian pula di seni rupa, Tisna Sanjaya dan Isa Perkasa rajin mengemas jeprut dan mengembangkannya dalam bentuk perfoming art, yang kemudian kadang diistilahkan sebagai seni rupa pertunjukan untuk mengkritik kondisi sosial dan politik dengan cara yang ‘teu ilahar’ namun selalu mencuri perhatian luas.
Begitulah Butoh dan Jeprut. Apapun bentuk seninya, seorang aktor harus memiliki kecakapan tubuh dan inteletual yang ditempa dengan disiplin latihan. Sehingga tidak serta merta seseorang yang melakukan perengkel jahe ditengah jalan disebut seniman Butoh atau Jeprut.