POTPOURRI

Kepala BRG Indonesia Optimis Tahun ini Tidak Terjadi Kebakaran Hutan

JAKARTA– Kepala Badan Restorasi Lahan Gambut Indonesia (BRG) Nazir Foead mengatakan bahwa dia sangat optimis tahun ini tidak akan ada kebakaran lahan gambut di bawah pengawasannya.

Dilaporkan CNA, Nazir mennyampaikan bahwa lembaga tersebut telah meningkatkan metode untuk mencegah kebakaran agar tidak terjadi kali ini.

Menurutnya BRG telah menyiapkan sekitar 150 sensor di lahan gambut non-konsesi yang dapat mengukur tingkat air dan kelembaban setiap jam.

Hal tersebut menunjukkan seberapa rentan lahan gambut terhadap kebakaran. Sensor tersebut juga akan memberikan indikasi jika seseorang sengaja mengeringkan lahan gambut dengan tujuan membakar untuk membersihkan lahan.

BRG akan mengirimkan informasi tersebut ke otoritas terkait, termasuk penegak hukum.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memperkirakan musim kemarau yang lebih basah tahun ini sehingga akan menurunkan kemungkinan kebakaran hutan dan lahan.

Meskipun demikian, lembaga pemerintah lainnya telah memperingatkan BRG untuk tetap waspada, terutama di tengah COVID-19.

Pandemi telah membawa kesulitan ekonomi sebagai akibat dari pembatasan sosial yang diberlakukan untuk mengekang persebarann Covid 19 dan sekarang jutaan orang di Indonesia kehilangan pekerjaan.

“Mereka memperingatkan kita. Mereka mengatakan bahwa para kapitalis (pialang) yang ingin menggunakan kesempatan ini untuk membersihkan lahan menggunakan api, karena dianggap ongkosnya lebih murah dengan cara membakar lahan,”kata Nazir.

Pihak berwenang telah lama mengatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan adalah buatan manusia untuk membersihkan lahan, yang kemudian diperburuk oleh cuaca kering.

“Jadi mereka (pihak berwenang) memperingatkan kita : Bersikaplah bijaksana, bersiaplah, Anda perlu memiliki kecerdasan yang lebih kuat, patroli yang lebih kuat … Para kapitalis jahat di luar sana berusaha untuk mendapatkan keuntungan dalam situasi ini.” Ujar Nazir

Setelah Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan yang besar pada tahun 2015 sehingga mengakibatkan kematian, kerugian ekonomi dan kabut lintas batas negara, Presiden Joko Widodo kemudian mendirikan BRG pada Januari 2016 untuk mencegah insiden serupa.

Ketika lembaga tersebut pertama kali dibentuk, Nazir mengatakan timnya menghabiskan tahun pertama untuk merencanakan bagaimana memulihkan lahan gambut yang meliputi pembasahan kembali, penanaman kembali, dan revitalisasi mata pencaharian ekonomi di tujuh provinsi yang menjadi kawasan lahan gambut.

Lahan gambut adalah akumulasi dari beberapa lapisan bahan organik seperti lumut dan tanaman. Jadi, ketika terbakar, api akan lebih sulit dipadamkan daripada api di tanah , karena api akan terus membara di bawah permukaan.

Di provinsi Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua, BRG terus mendidik masyarakat tentang pentingnya restorasi lahan gambut.

Ada sekitar 2,6 juta ha lahan gambut di tujuh provinsi, sekitar 1,7 juta ha di antaranya berada di lahan konsesi yang menjadi tanggung jawab perusahaan. Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak dalam minyak kelapa sawit, pulp dan kertas serta kayu.

Kementerian lingkungan dan kehutanan bertanggung jawab untuk mengawasi lahan gambut di lahan konsesi, sementara BRG bertanggung jawab atas sekitar 900.000 ha lahan gambut di lahan non-konsesi yang merupakan tanah masyarakat

Nazir mengatakan bahwa 89 persen lahan gambut di lahan non-konsesi telah dipulihkan pada akhir 2019. Target yang ditetapkan oleh pemerintah adalah mencapai 100 persen pada akhir tahun ini.

Dala catatan Nazir, petani lokal telah mengambil kepemilikan atas lahan gambut dan bahkan menanam nanas, sayuran, dan kopi di lahan tersebut.

Menurutnya kebakaran hutan dan lahan tidak hanya tergantung pada tingkat kelembaban lahan gambut. Penegakan hukum yang keras juga penting untuk memastikan orang tidak akan membakar dengan sengaja lagi.

Restorasi lahan gambut merupakan upaya jangka panjang, karena lahan tidak dapat direhabilitasi dalam waktu singkat. Karena lahan gambut telah dikeringkan sejak 1999, misalnya, perlu 10 atau bahkan 20 tahun untuk dipulihkan.

“Berdasarkan kasus di luar negeri, bahkan ada kasus yang memakan waktu hingga 30 tahun. Bahkan yang belum dipulihkan sepenuhnya,”kata Nazir.

Kepala BRG, yang dulu bekerja untuk World Wildlife Fund juga mengatakan bahwa pihaknya sedang mencoba metode baru pemetaan lahan gambut, yang menggabungkan coring dengan citra satelit tiga dimensi.

Dengan metodologi yang ditingkatkan, badan tersebut akan memiliki akses ke data kategorisasi tanah. Kemudian dapat mengambil sampel sesuai dengan setiap kategori, yang merupakan cara pemetaan yang lebih cepat dan lebih murah.

Mempertimbangkan teknologi dan metode baru yang sekarang dimiliki BRG, dan didukung oleh masyarakat sipil, serta kebijakan pemerintah, Nazir berharap Indonesia dapat menjadi juara dalam restorasi lahan gambut.

“Kami memiliki banyak hal untuk dibagikan kepada dunia, sebagian besar negara tropis yang memiliki lahan gambut besar. Atau mungkin program rehabilitasi di bioma apa pun, tidak hanya lahan gambut tetapi juga habitat lahan basah, kami dapat berbagi banyak.” paparnya. [*]

Back to top button