Abah Alwi pada usia 74 tahun waktu itu memang lebih memilih berjalan kaki dari rumah beliau di Condet, ke Republika di kawasan Buncit. Lebih dari sekitar tujuh kilometer!
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Pagi ini ulu hati saya serasa ditonjok kerasnya Oi-zhuki Chudan, manakala tak sengaja membaca posting senior saya di Majalah TEMPO, Idrus Shahab. “Telah berpulang ke Rahmatullah, Alwi Shahab, sejarawan Betawi, wartawan harian Republika. Meninggal Kamis, 17 Sept 2020 pukul 03.00.”
Yang membuat nafas saya sesak, barangkali sebenarnya lebih karena menyesali kebodohan dan kemalasan yang saya pelihara. Sudah jelas saya tahu bahwa Abah Alwi—kami menyebut almarhum begitu, telah sedemikian sepuh. Lalu mengapa kami menutup mata untuk bersegera datang dan bersilaturahmi kepada beliau di saat masih ‘ada’?
Bagi saya, Abah Alwi punya tempat tersendiri di banyak lokus kehidupan. Almarhum pasti hadir di lokus ‘kehidupan kerja’ saya. Beliaulah redaktur yang mengedit tulisan pertama saya di awal-awal pertama kali saya bergabung dengan Republika, 1996 lalu.
Saat menjadi calon reporter (carep) itu, pos peliputan pertama saya adalah kawasan Jakarta Utara. Dan 1996 adalah tahun-tahun saat banyak wilayah Jakarta Utara di’bebaskan’.
“Puluhan Rumah Warga Dibongkar Paksa”, adalah judul yang saya beri untuk artikel pertama saya di Republika yang menceritakan pembongkaran dan pembebasan lahan di kawasan Pademangan itu. Saya memakai lead kutipan. Bukan karena tahu ada macam-macam lead—rasanya waktu itu kelas menulis Mas Farid Gaban belum lagi dibuka untuk kami calon karyawan baru. Hanya—sebagai carep yang masih ‘ijo’, saya sangat terkesan oleh pemandangan di depan saya saat itu: teriakan marah, tangis, perlawanan dan jeritan warga.
“Kalian penipu semua! Katanya boleh bongkar sendiri, belum apa-apa rumah kami kalian hancurkan!” lengking seorang ibu di tengah bisingnya derum alat berat “yang lazim disebut beko”. Bagian dalam tanda kutip dan dibuat bold- italic adalah tambahan dari Abah Alwi, yang saat itu redaktur kota dan mentor langsung saya.
Saya ingat, tulisan-tulisan yang lebih kemudian pun nyaris tak banyak beliau ubah. Barangkali karena dua hal. Mungkin karena tulisan saya sudah beliau anggap press-klaar alias sudah laik muat. Kedua, yang ini lebih saya percayai, Abah Alwi percaya dan menghormati keragaman cara dalam menulis. Ia tak ingin “mengambil-alih” tulisan saya, dengan membuatnya sebagaimana gayanya bertutur dalam tulisan.
Namun sebagai mentor, almarhum begitu bertanggung jawab. Manakala halaman yang disiapkan untuk desk kota sudah rampung—biasanya usai maghrib, Abah akan mengajak saya ngobrol, menyilakan saya bertanya dan berpendapat. Saya biasanya banyak bertanya mengapa satu tulisan dipilih dan yang lain tidak, dalam keterbatasan ruang media cetak kala itu. Abah Alwi dengan sabar menerangkannya.
Sayang, saya tak lama di Republika. Hanya sekitar tiga bulan, karena ada undangan dari Murdock University saat itu, yang tak ingin saya tolak. Sementara sebagai carep, sudah seharusnya saya mengikuti proses penerimaan calon karyawan baru yang tentu sudah jadi paket yang utuh dan padu.
Manakala 10 tahun kemudian saya kembali bergabung dengan Republika–setelah sebelumnya sempat bekerja di sebuah lembaga pemerintah, menjadi wartawan Panji Masyarakat, Majalah TEMPO dan Harian Suara Karya, pertemuan saya kembali dengan Abah Alwi tentu agak lain. Ada kehangatan dan kemesraan yang khas sebagai mitra kerja, meski rasa hormat dalam hubungan senior-junior tetap saya jaga. Saya mulai berani berkelakar, bertanya hal-hal pribadi dan seterusnya. Dari banyak sekali percakapan dengan beliau, saya menyimpulkan almarhum seorang ‘lady-killer’ yang sangat berperasaan, pada masanya.
Saya pernah ditunjukkan sebuah foto Abah di masa muda. “Wah, gagah, Bah. Aktor sekarang yang klapar-kelper sih lewatlah,” kata saya. Abah hanya tersenyum. Anehnya, senyum itu justru menunjukkan bahwa watak Abah sebenarnya seorang pemalu.
Foto itu memang wajar membuat orang berpikir Abah dulu punya banyak pacar. “Kagak, Wan,” kata Abah serus. “Sebelum menikah, Abah hanya dua tiga kali pacaran.”
Yang pasti, Abah Alwi tentu lebih pemalu dibanding sang adik, sutradara film Ali Shahab, yang lebih dulu berpulang. “Ali itu teman-temannya para artis, cakep-cakep,” kata Abah. “Dia dulu sempat dekat dengan Suzanna. Sering main ke rumah, tapi mungkin memang tidak berjodoh.”
Pada 2010, Abah mendekati saya dan bertanya dengan berbisik. “Dengar-dengar, kau sekarang duda, ya, Wan?”tanya Abah. Saya sempat terkejut dengan pertanyaan itu, sebelum mengiyakan. Banyak senior saya di kantor, tentu, dan hanya Abah Alwi yang menanyakan hal itu, menurut saya itu “sesuatu”.
“Kau jangan terpuruk, Wan,” kata Abah, sebelum kemudian menasihati saya dengan banyak hal, terutama memelihara hubungan baik dengan anak-anak, bahkan ibu mereka. “Ini waktu yang baik untukmu buat mengambil pelajaran dari hidup,” katanya.
Tetapi yang paling saya ingat adalah kepedulian Abah soal makan. Saya tak tahu apakah Abah Alwi pernah menduda atau tidak. Yang jelas, manakala saya sendirian itu, Abah seolah kuatir saya otomatis susah makan, atau tepatnya lupa makan. Sebagai wartawan media cetak harian, kami para redaksi akan berkumpul di kantor sekitar pukul 13-an. Ada yang ikut rapat harian redaksi, ada yang tidak. Biasanya, seluruh redaktur—kecuali masih ada pekerjaan di lapangan, sudah akan berada di kantor sedikit di atas pukul 14. Nah, di waktu-waktu itulah, di awal-awal waktu kerja sebelum mengisi halaman, Abah Alwi akan menghampiri saya, membawa bungkusan makanan. Paling sering biasanya roti Maryam, khas Arab, buatan Condet.
“Kau makan dululah, Wan! Bisa pakai kare, tapi Abah lebih suka pakai madu. Nih, madunya!” Karena ruang redaksi di lantai empat itu dihuni banyak teman lain, Abah jarang hanya membawakan oleh-olehnya hanya untuk seseorang. Ia akan membawa makanan buat banyak orang.
Di tahun 2010, Abah bercerita, dipaksa putranya dibelikan mobil plus sopirnya untuk ke kantor. “Saya nggak bisa menolak, Wan,” katanya. Saya melihat ada ada kesedihan khas, yang bagi banyak orang mungkin ganjil. Abah Alwi pada usia 74 tahun waktu itu memang lebih memilih berjalan kaki dari rumah beliau di Condet, ke Republika di kawasan Buncit. Lebih dari sekitar tujuh kilometer! Gaya yang sama dengan keponakannya yang lebih muda, senior saya Idrus Shahab.
Nah, sejak adanya mobil itu, Abah jarang lagi membawa makanan ke kantor. Gantinya, beliau sering mengajak saya makan. “Kau pilih, mau makan di mana!” kata beliau, selalu. Biasanya, saya dengan tak tahu diri akan memilih sebuah resto Padang besar di bilangan Kemang, yang selalu melayani pengunjung dengan menyajikan seluruh masakan.
Yang lebih tak tahu diri, rasanya usai makan pun tak pernah saya pura-pura siap membayar semua yang kami makan. Semua Abah yang bayar, padahal yang beliau makan sedikit sekali. Jadi memang itu hari-hari yang ironis: seorang junior yang lebih muda, diajak makan dan ditawari untuk memilih resto, dibayari, dan diantar pulang-pergi!
“Aku selalu suka melihatmu makan, Wan,” kata Abah, entah berapa kali karena terlalu sering. “Kau selalu lahap, di mana pun, kapan pun, dan apa pun yang kau makan.” Saya biasanya hanya merespons dengan nyengir.
Abah Alwi adalah wartawan yang sangat langka. Ia menjalani profesinya sekitar 60 tahunan. Republika menulis, karier Abah dimulai pada 1960 sebagai wartawan kantor berita Arabian Press Board di Jakarta. Sejak Agustus 1963 Abah bekerja di kantor berita Antara. Selama sembilan tahun (1969-1978), Abah yang lahir di Kwitang, pun menjadi wartawan istana.
Abah bergabung dengan Republika pada 1993, justru seteah beliau pensiun dari Antara. Sikapnya yang terbuka, fisiknya yang prima karena hobinya berjalan kaki, membuat Abah Alwi gampang beradaptasi dengan lingkungan baru yang saat itu dihuni banyak para wartawan muda, angkatan Farid Gaban, Dian R Basuki, Zaim Uchrowi, Daru Priyambodo, Hersubeno Arief, Akhmadi Thaha, dan sebagainya. Tampaknya, sejak bergagung dengan Republika, hingga ‘pensiun’ beberapa waktu lalu, Abah Alwi setia menulis di desk Kota.
Saat saya berada di Buncit, ada dua wartawan senior saya yang sama-sama konsen akan sejarah Jakarta. Abah Alwi, tentu, dengan semua tulisan yang manakala dibukukan oleh Republika selalu mencetak bestseller, serta senior saya di bawah Abah dalam usia, Teguh Setiawan. Tak jarang, bacaan membuat keduanya kerap bersilang paham.
Abah kuat dalam pengalaman, dan nyaris apa yang ia ceritakan pasti pernah ia jejaki. Sementara Mas Teguh kuat dalam referensi, terutama catatan-catatan lama yang ada di negeri bekas penjajah, Belanda. Biasanya, pantry lantai empat menjadi ajang mereka berdebat. Tak ada moderator, tentu, jadi kadang saya mendaulat diri agar perdebatan menjadi diskusi yang berguna bagi kami. Beberapa kali obrolan ditemani kopi itu berakhir dengan kesepakatan. Seringkali berakhir hanya karena pekerjaan masih menunggu diselesaikan, atau terhenti karena adzan. Tetapi apa pun, obrolan di pantry itu, menurut saya, banyak mencerdaskan para awak Republika saat itu.
Saya ingat, dan catatan itu terekam kuat dalam Facebook, pernah merayu Abah Alwi Shahab agar mau diajak (dan tentu saja membayari) kami berkaraoke, di sebuah tempat karaoke baru, di sebuah mal yang pada 2010-2011 itu tiba-tiba hadir di depan kantor. Catatan facebook saya menunjukkan hari itu 28 Februari 2011.
Seingat saya Abah Alwi tak mengabulkan keinginan kami. “Saya suka lihat kamu makan, Wan, bukan kamu nyanyi,” kata Abah terkekeh.
Selamat jalan, Abah, pada satu penghentian di perjalananmu, kami pasti menyusul, menyusur tapak langkahmu…[dsy]