POTPOURRI

Sajak-sajak Idrus F Shahab

Sajak-sajak Idrus sangat menyentuh perasaan saya. Saya yakin, perasaan itu akan menular manakala Anda pun membacanya. Saya tak hendak sok mengulasnya, karena tak ingin mengurangi nikmat yang diberikan untaian kalimat yang terangkai mewakili cinta yang Idrus  rasa.

JERNIH—Sebermula, saya mengenal Idrus F Shahab lebih sebagai seorang pejalan. Dalam arti tak hanya konotatif sebagai seorang penghayat tasawuf alias seorang salik, melainkan dalam arti harfiah. Idrus seorang pejalan kaki yang kuat dan konsisten. Ajaklah ia makan siang keluar kantor. Kalau jarak tempuhnya di bawah lima kilometer, ia pasti akan memilih berjalan kaki.

Idrus, dalam soal berjalan kaki, memang sebagaimana almarhum sang paman, almarhum Alwi Shahab. Bahkan manakala usia Pak Alwi saat itu sudah melampaui 77 tahun, beliau kerap berkeras datang ke kantor Harian Republika di Jalan Buncit dengan berjalan kaki. Padahal, anak-anaknya yang sudah ‘pada jadi orang’ tak hanya membelikannya sebuah Kijang Innova, melainkan lengkap dengan mempekerjakan seorang sopir.

Tetapi meski saya sudah mengenal Idrus secara pribadi sejak 1997, manakala sama-sama menjadi kuli menulis di Majalah Panji Masyarakat, ditambah beberapa tahun kembali berkantor bersama di Majalah TEMPO, baru setahun berselang saya menemukan bahwa Idrus pun seorang penyair.  Benar, saya tahu dirinya menyukai seni. Tetapi sebelum itu saya hanya ‘ngeuh’ ia seorang pemain gitar yang andal. Manakala kantor mulai sepi seiring pulangnya para karyawan bagian administrasi, dan saya mulai berteriak fals menyanyikan satu-dua lagu, seringkali Idrus datang dengan gitar kantor dan mengiringi.

Beberapa sajak Idrus di bawah ini sangat menyentuh perasaan saya. Saya yakin, perasaan itu akan menular manakala Anda pun membacanya. Saya tak hendak sok mengulasnya, karena tak ingin mengurangi nikmat yang diberikan untaian kalimat yang terangkai mewakili cinta yang Idrus  rasa. [dsy]

BUAT KAWAN  YANG  GUGUR

Di stasiun yang tak lagi disinggahi kereta ini

Kamilah bangku-bangku kosong

yang menyimpan kenangan dan bayangan

Ketika kematian dan kehidupan semakin tak berjarak 

Tolong daraskan talkin, yasin dan doa yang sayup 

Kami pergi dalam sepi

tanpa bendera kuning dan iring-iringan sanak-saudara

Kepergian kami memang tak bisa menghentikan

pertikaian kalian yang semakin tak masuk akal: 

silih berganti

menyamakan kesia-siaan dengan kepahlawanan

menyamakan kepahlawanan dengan pengkhianatan

Kami telah bekerja tanpa suara,

sekarang kami pergi tanpa suara

Tolong daraskan doa, al fatihah dan surah yasin

perlahan saja ….

REQUIEM

Perahu sudah kukayuh jauh

namun engkau telah menjelma nyanyi 

mengejar ke negeri-negeri asing

di mana

camar-camar telah terbang seperti arwah

dan requiem timbul-tenggelam bagai gelombang

di antara keduanya, matriks yang kompleks

alto, bas, tenor, bariton, sopran, dan meso-sopran,

berkejaran,

masing-masing mengikuti partiturnya sendiri,

namun semua memainkan musik yang sama:  

penunjuk jalan ke tanah pemakaman. Labaik ya Rab ..

KAWAN LAMA

Sesekali,

dengarkan sunyi ini

begitu banyak yang dikatakannya

Tentang

kesabaran pantai

menanti bahtera yang tersesat,   

tentang

lolong anjing di kota-kota

yang ditinggalkan penduduk, 

tentang

pintu-pintu nurani

yang menunggu ketukan pemiliknya

Sesekali,

kunjungi kawan lamamu ini: sunyi

BIRU

Biru air di kedalaman

biru langit di kejauhan

biru hati di sudut jalan

Di balik cermin ini

bayangan seorang lelaki yang

hidup dalam seonggok pasir

Layaknya undur – undur,

ia menghitung mundur hari pemakaman

Kelahiran dan kematian

dua sejoli yang senafas – seperjalanan

seperti titik hujan di atas kolam

seperti kali keruh berlabuh di laut lepas

Wahai,

biru air di kedalaman

biru langit di kejauhan

biru hati di sudut jalan

Hati ini telah lama kemarau

malam ini,

aku menunggu biru gerimismu ya Rab..

SI MALIN

Anak muda yang

tubuhnya hancur ketika deras hujan

menjatuhkan sejuta mata panah itu

kini mulai beku. 

Malin…Malin, kau kah itu?

rumahmu bukan rumahmu lagi

perahumu bukan perahumu lagi

angin pantai,

lentera-lentera yang gemetar 

dinding bambu

desa nelayan di bibir pantai

Kau pergi ketika azan subuh dan

camar membangunkan matahari pagi

Maafkan kami yang khianat

sekarang tinggalkan kami,

desamu bukan desamu lagi

Tapi anak muda yang

tubuhnya hancur ketika deras hujan

menjatuhkan sejuta mata panah itu

kini mulai beku.

SUNYI

Inilah lagu yang lebih sunyi daripada sepi

Sang Tamu muncul tanpa mengetuk

meniup lilin terakhir di pekat malam

“Jadikan ini rahasia kita berdua,” bisiknya.

Lalu, di antara kami mengalun satu melodi

Lebih sunyi daripada sepi

DI KONYA * 

Kubah hijau

konser burung gereja

Pagi masih segelap duka di Konya

Para penyapu jalan,

dengan beban sejarah di punggungnya

musik pertama yang menyapa fajar

Lihatlah …

Siapa berjingkat di antara tulip dan batu nisan?

sempat kutangkap bisiknya

perlahan dari pucuk cypress

“Aku kematianmu, mari…….”

tapi aku tak jua hendak menyerah,

“Apakah itu ditujukan kepadaku?” 

*Sebuah kota di Turki bagian selatan, di mana jenazah sufi besar Maulana Jalaludin Rumi (1207 – 1273) dimakamkan.

MERDEKA 

Dukaku duka orang merdeka

Aku bersyukur,

sebuah gerobak melindungiku

dari basah hujan

dari gigitan nyamuk dan angin malam

Gerobakku menyusuri

kampung-kampung di tengah kota

dengan ratusan anak kecil

berlarian, main layangan, main gundu,

sambil menjaga adiknya yang menangis, 

Gerobakku bergerak,

bagaikan kereta kencana   

sang merah-putih di sudut kanan

nama pacarku di kampung di sisi kiri 

sambil kunyanyikan

“Bagimu Negeri, jiwaraga kami.”

Entah mengapa, tak bisa kulupakan 

lagu itu

(Jakarta, 17 Agustus 2021)

LULLABY  

Malam Jumat

sunyi tak terusik

titik gerimis

di atas kolam

Jiwa-jiwa perih

perlahan naik ke langit

BUKAN PERANGKU

Pagi belum lagi singgah ke rumah kecil itu

ketika jiwa yang berwarna abu-abu

pelan-pelan meninggalkan jasadnya

Hidup seperti rangkaian gerbong kereta tua

meninggalkan kota kelahirannya

“100 mil…..100 mil….500 mil…..

500 mil…500 mil,” kata Peter, Paul and Mary 

Ah, demi rambutku yang panjang,

demi perjalanan hidupku yang panjang

Aku selalu menyaksikan 

lakon si mortal hendak menjadi dewa

kekuasaan selalu mengejar keabadian 

Wahai Ibu Pertiwi, wahai Indonesia

Biarkan aku turun di stasiun kecil ini

Karena ini bukan perangku…….bukan lagi perangku   [ ]

Back to top button