Ketika Gelombang Jilbab Mencapai Dunia Olahraga
Dengan pangsa pasar sedikitnya senilai 402 miliar dolar AS pada tahun 2024, menurut laporan State of the Global Islamic Economy terbaru dari Thomson Reuters dan DinarStandard, wajar bila Hana Tajima dengan Uniqlo pun berkolaborasi dalam Hijab Sport
JERNIH– Saat Anda harus berenang 3,8 km, bersepeda 180 km dan lari maraton sejauh 42 kilometer lebih, yang semuanya dilakukan berturut-turut—tentu Anda harus berpakaian seringan mungkin.
Banyak atlet elit mengenakan setelan triathlon dan sedikit lainnya mengenakannya dalam perlombaan keras seperti Ironman Triathlon. Namun bagi Nur Syahariah Jusoh, yang akrab disapa Nursya, keyakinannya akan Islam yang menjadi agamanya, mengharuskannya memakai hijab. Itulah yang dilakukannya saat mengikuti balapan tahun lalu, yang berlangsung selama 14 jam di tengah cuaca panas terik di Langkawi, Malaysia.
Tak masalah bagi ibu berusia 43 tahun itu, yang tak hanya melewati garis finis, tapi juga dinobatkan sebagai peserta wanita tercepat Malaysia di lomba tersebut. Keberhasilannya, setidaknya sebagian, dikarenakan munculnya generasi baru pakaian jilbab olahraga yang membuat kegiatan seperti triathlon jauh lebih nyaman daripada pakaian versi tradisional.
Saat Nursya pertama kali berlari pada tahun 2013, selain dari pakaian lari yang biasa ia kenakan hanya kerudung untuk menutupi rambutnya. Dia tidak menutup leher dan dadanya, karena takut kepanasan. Baru pada tahun 2018, dengan pilihan yang lebih baik, dia beralih ke jilbab penuh yang menutupi kepala, leher, dan dadanya.
“Dengan pemilihan bahan yang sesuai, saya mulai merasa nyaman dan terus meningkatkan performa saya dalam olahraga, khususnya triathlon. Saya memenangkan beberapa acara triathlon sambil mengenakan hijab,”katanya.
Nursya menyadari kekuatan pakaian yang tepat pada orang yang tepat. “Saya pikir saya telah menginspirasi Muslim lain karena setelah saya menyelesaikan Ironman Triathlon Manusia Besi. Saya menerima banyak pesan dari wanita yang mengenakan jilbab yang mengatakan bahwa saya menginspirasi mereka,” katanya.
Hijab Sport pertama kali diluncurkan pada 2001 setelah keputusan pengadilan Belanda dalam kasus seorang gadis Muslim Belanda yang dikeluarkan dari kelas olahraga pada 1999 karena jilbabnya yang dianggap tidak aman. Solusi pengadilan– bahwa gadis itu harus mengenakan leher polo dengan topi renang, karena mereka akan menutupi area yang sama–tidak populer di kalangan Muslim.
Hijab Sport berkembang pesat sejak saat itu. Saat ini, mereka menggabungkan teknologi yang membuatnya lapang, lembut, ringan, berkeringat, dan kuat tidak terlepas. Dari segi tampilan, pakaian-pakaian keluaran terakhir itu terlihat rapi.
Desain terbaru dari Glowco, merek Singapura yang mengkhususkan diri pada pakaian olahraga sederhana, bahkan menandai berkelanjutan genre pakaian olahraga ini. Hijab Sport bermerk Glowco Exclusive-nya yang terakhir, terutama terbuat dari poliester daur ulang, “yang memberikan kinerja teknis yang identic, sekaligus menyisakan jejak lingkungan yang lebih kecil,” kata Nawal Alhaddad, pendiri perusahaan tersebut.
“Kain rajutan ganda juga membuatnya lebih kencang, sekaligus menawarkan kesegaran, perlindungan noda dan masa pakai produk yang lebih lama,” dia menambahkan. “Terakhir, untuk menghilangkan kelembaban, finishing hidrofilik menjaga tubuh tetap dingin dan kering, memindahkan kelembapan dari kulit ke permukaan kain.”
Semakin menonjolnya jilbab yang menampilkan teknologi material mutakhir mencerminkan bagaimana bisnis memanfaatkan apa yang dipatok sebagai pasar pakaian sederhana senilai 402 miliar dolar AS pada tahun 2024, menurut laporan State of the Global Islamic Economy terbaru dari Thomson Reuters dan DinarStandard.
Ini juga terasa seperti mengejek pebisnis eceran barang olahraga, Decathlon, yang tahun lalu menarik hijab sport untuk pelari wanita di Prancis setelah merebaknya Islamofobia di negara itu.
Di Asia Tenggara, pakaian olahraga sederhana mencetak lebih banyak poin keren di kalangan wanita Muslim. Glowco didirikan pada tahun 2018, ketika Nawal pertama kali mengenakan hijab. Sebagai seorang instruktur kebugaran, saat itu dia melihat bagaimana kliennya yang mengenakan jilbab tradisional, mengalami kesulitan dengan pakaian yang mereka saat berlaga, yang tak hanya memperlihatkan beberapa area tubuh sensitive mereka, namun membuat mereka merasakan panas, tidak nyaman dan bersimbah keringat.
“Ada celah di pasar untuk pakaian olahraga sederhana, dan saya pikir tidak ada cara yang lebih baik untuk memecahkan masalah selain mencari solusinya,” kata Nawal. “Kami ingin menjadi jawabannya— tanpa mengorbankan etika kesopanan yang mereka anut.”
Sekarang, pasar online di Asia Tenggara untuk jilbab yang nyaman dan keren telah melampaui dunia pakaian olahraga. Ingin tampilan influencer Instagram yang halus? Lihat saja “Duck”, sebuah merek pakaian hijab Malaysia, yang terkenal dengan rangkaian “Sutra Satin Matte” bebas kerut. Lebih suka tampilan minimalis Jepang? Ada kolaborasi Hana Tajima dengan Uniqlo, yang menggunakan kain Airism, salah satu inovasi kain terdepan Uniqlo.
Siti Nurhaidah, seorang eksekutif perusahaan di Singapura, mengatakan dia tidak mengalami kesulitan melawan panas dan kelembapan berkat semakin banyaknya pilihan jilbab dari pengecer online seperti Lazada dan Tokopedia, dan dengan kemajuan teknologi material saat ini.
“Kami benar-benar memiliki lautan pilihan. Pilihan-pilihan itu sekarang keluar tidak hanya dengan desain yang berbeda, tapi juga material yang berlainan, ”katanya.
“Ada jilbab katun, satin, sutra, sifon, georgette, viscose—silakan daftar ini diteruskan. Mereka ringan dan membuat jilbab sangat nyaman dipakai. Kami memiliki banyak pilihan ketika harus memilih jilbab untuk berbagai tingkat kenyamanan dan kesempatan.” [Lee Lian Kong/South China Morning Post]