Covid-19 Kuatkan Sentimen Anti-Myanmar di Thailand
Sebagian unggahan berusaha menyentuh sentimen nasionalisme dengan mengisahkan ulang penghancuran ibu kota kerajaan Siam, Ayutthaya, oleh pasukan Burma pada abad ke18.
JERNIH–“Di mana pun kamu melihat orang Myanmar, tembak mati mereka,” tulis seorang warganet asal Thailand di YouTube, ketika kasus infeksi virus corona di kalangan buruh migran Myanmar dikabarkan naik drastis.
Klaster pertama dideteksi sepekan lalu di sebuah pasar ikan di kawasan Samut Khon, 35km dari Bangkok. Sejak itu 1.300 orang terinfeksi virus corona dan ribuan lainnya ditempatkan di karantina untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.
Akibatnya ranah online Thailand dipenuhi ujaran kebencian terhadap migran Myanmar yang berujung diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. “Kami merasa sangat sedih bahwa kami, buruh Myanmar, sekarang dikambinghitamkan,” kata Nay Lin Thu, tenaga kerja berusia 35 tahun dari Myanmar.
“Kami diteriaki, “Semua ini terjadi karena kamu, Myanmar”. Biasanya kami tidak merespon, tapi sebagian dari kami tidak mampu menahan amarah mereka.”
Menurut catatan resmi, Thailand saat ini mempekerjakan 1,6 juta buruh Myanmar. Sepertiganya bekerja sebagai tenaga kerja domestik. Namun pegiat hak buruh meyakini jumlah tenaga kerja Myanmar lebih besar menyusul derasnya arus migrasi ilegal.
“Mereka dituduh menyebarkan Covid-19,” kata Sompong Srakaew, pegiat Jaringan Perlindungan Buruh yang aktif mengadvokasi hak pekerja asing.
Retorika xenofobia
Bergesernya sentimen terhadap buruh Myanmar memicu gelombang diskriminasi, kata Sompong. Menurut laporan yang diterimanya, warga Myanmar diusir dari bus, dilarang memasuki kantor publik atau ditolak menggunakan jasa ojek.
Menurut organisasi HAM, retorika anti-Myanmar di Thailand serupa dengan gelombang xenofobia di berbagai negara yang menuduh pendatang asing menyebarkan virus.
Beberapa hari lalu PM Prayuth Chan-ocha menyalahkan TKA ilegal memicu lonjakan kasus penularan. Thailand sejauh ini tergolong berhasil meredam penyebaran virus corona. Satuan Tugas Covid-19 Thailand sendiri mengimbau warga bersimpati pada buruh migran.
Thailand termasuk negara-negara ekonomi rendah dan menengah yang berhak mendapat bantuan vaksin melalui skema Covax-AMC, yang digalang Badan Kesehatan Dunia (WHO). Covax adalah vaksin yang dikembangkan Badan Kesehatan Dunia.
Lembaga pemantau media sosial, Social Media Monitoring for Peace (SMMP), kepada Reuters mengklaim pihaknya menemukan ratusan komentar mengandung ujaran kebencian di YouTube, Facebook dan Twitter Thailand.
“Komentar ini mencakup bahasa rasialis, ditargetkan untuk memicu diskriminasi dan mempromosikan nasionaisme,”kata Saijai Liangspunsakul, salah seorang peneliti di SMMP. “Kami khawatir diskriminasi online ini akan diterjemahkan ke dalam bentuk diskriminasi atau bahkan tindak kekerasan di kehidupan nyata.”
Sebagian unggahan berusaha menyentuh sentimen nasionalisme dengan mengisahkan ulang penghancuran ibu kota kerajaan Siam, Ayutthaya, oleh pasukan Burma pada abad ke18. “Hari ini mereka adalah keluarga kita. Baik orang Thailand atau Myanmar sama-sama beragama Buddha,” kata Taweesin Wisanuyothin dari Satgas Covid-19 saat memberikan imbauan di televisi nasional.
Facebook pernah dihujani kritik akibat membiarkan platformnya dibanjiri ujaran kebencian terhadap minoritas Rohingnya di Myanmar, 2017 silam. Sejak itu raksasa media sosial asal AS tersebut berjanji memerangi praktik hasutan di kalangan pengguna.
“Kami tahu bahwa ujaran kebencian terhadap komunitas yang lemah bisa sangat berbahaya,” kata seorang juru bicara Facebook kepada Reuters. Perusahaan mengklaim teknologi yang mereka kembangkan sejauh ini berhasil mendeteksi 95 persen ujaran kebencian.
Tapi ketika Twitter juga berjanji menindaklanjuti laporan dari Thailand, YouTube sejauh ini belum memberikan respon atas keluhan pegiat HAM.
Myanmar hingga kini mencatat 120.000 kasus penularan corona, dengan 2.500 pasien meninggal dunia. Sebaliknya laju infeksi di Thailand baru mencapai 5.800 kasus, dengan 60 angka kematian.
Kemunculan klaster virus corona di kantung-kantung buruh migran Myanmar di Thailand serupa dengan kasus di Singapura dan Malaysia. “Kondisi kehidupan buruh Myanmar sangat sulit untuk pembatasan jarak, dengan tiga atau empat orang menghuni satu kamar,” kata Sein Htay dari Jaringan Hak Buruh Migran Myanmar di Yangon.
Klaim itu serupa dengan laporan pemerintah Myanmar yang mendeteksi kasus infeksi corona pada warganya yang pulang dari Thailand. [Reuters/AP/DW]