Solilokui

Duka dan Doa Kita untuk Kru Nanggala 402

Jales veva, jaya mahe. Di laut, kita jaya. Kita sadar, semboyan TNI Angkatan Laut itu seolah perlahan hilang ditelan ombak, seiring kian entengnya laut kita dimasuki dan dijarah sekehendak para perompak.

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

JERNIH—Kabar duka ini telah menyebar sejak siang (21 April’21) tadi:  kapal selam TNI Angkatan Laut, KRI Nanggala-402, diduga mengalami masalah di palung Laut Bali pada kedalaman 700 meter. Dugaan tersebut mencuat setelah kapal selam buatan Jerman tahun 1979 itu dilaporkan hilang kontak pada Rabu ini, mulai sekitar pukul 03.00 waktu setempat.

Dada kita sesak, manakala hilangnya KRI Nanggala-402 itu dikonfirmasi langsung Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Panglima TNI menyebut kapal itu hilang tak lama setelah mengantongi izin menyelam.

“Baru (dapat lagi) izin menyelam, setelah diberi clearance langsung hilang kontak,” ujar Panglima Hadi, sebagaimana ditulis banyak media massa.

Kita semua, seluruh warga negara yang kita cintai ini, tentu berdoa untuk keselamatan 53 anggota kru yang berada dalam kapal itu. Semoga doa di tengah kekhusuan puasa kita akan diijabah Allah sehingga mereka semua bisa selamat. Aamiin.

Ingin saya menulis, tetapi ternyata tak cukup mampu di tengah dada yang sempit, dan kepala yang dipepaki duka. Selalu melintas ingatan, bahwa saat ini setidaknya perasaan 53 keluarga tengah terombang-ambing dalam cemas dan takut. Saya hanya mampu mengangkat ulang sebuah tulisan lama. Pernah sebuah tulisan cukup panjang, yang kini hilang. Yang tersisa hanya status Facebook pendek. Tentang Nanggala, meski bukan yang kini tengah meminta doa kita semua.    

Jales veva, jaya mahe. Di laut, kita jaya. Kita sadar, semboyan TNI Angkatan Laut itu seolah perlahan hilang ditelan ombak, seiring kian entengnya laut kita dimasuki dan dijarah sekehendak para perompak.

Cerita kepahlawanan bangsa bahari seperti Hang Tuah, atau kejayaan armada laut Sriwijaya, Makassar, Bugis, Ternate dan Tidore, hanya pengantar tidur dan sepertinya kini memang kian dekat ke alam mimpi. Padahal pada tahun 1960-an saja, kita masih disegani di lautan dengan tak kurang dari 104 kapal perang.

Di era itu, Indonesia bahkan sempat meminjamkan kapal selam kelas Whiskey kepada Pakistan, yang saat itu tengah bertikai dengan India. Kini, dua kapal selam kita dari era lama, Cakra dan Nanggala lebih sering mondok di dok. Kedua kapal uzur itu masih harus berkarya, mungkin disesuaikan dengan semboyan keduanya,’Tabah Sampai Akhir’.

Wajarlah, bila negara kepulauan dengan luas lautan 5,8 juta km persegi ini menjadi target jarahan bangsa lian. Kekayaannya, barangkali tak hanya ikan, dirampok sekehendak mereka.

Bangsa apatah kita namanya? Sementara ciri bangsa, kata Ernest Renan, adalah manakala masih ada sebuah sukma bersama yang dicerminkan oleh perasaan ikut memiliki suatu peninggalan yang kaya, tempat bersama-sama meneruskan sebuah warisan agung di satu sisi, dan hasrat untuk hidup bersama menempuh masa depan di sisi lain. Bangsa, adalah resultan banyak cinta. Seharusnya. Sayang sekali, tampaknya itu yang kian alpa dalam kehidupan berbangsa kita….[ ]

Back to top button