Mungkinkah Seorang Mukmin Berbohong?
Abu Bakar pun berkata “Di hadapanku terbentang seluruh kehidupan Tuan di masa lalu. Oleh karena itu, bagaimana aku bisa mengatakan bahwa seorang hamba Allah yang senantiasa berkata benar tiba-tiba menjadi orang yang berdusta kepada Tuhan?”
JERNIH—Dalam hadits dikisahkan, Abdullah bin Jarâd bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Nabi Allah, apakah seorang mukmin itu mungkin berzina?”
Beliau menjawab: “Itu mungkin saja terjadi.” Abdullah bin Jarâd bertanya lagi: “Apakah seorang mukmin itu mungkin mencuri?”
Beliau menjawab: “Itu mungkin saja terjadi.” Abdullah bin Jarâd bertanya lagi: “Apakah seorang mukmin itu mungkin berdusta?” Beliau menjawab: “Tidak!”
Kemudian Rasulullah saw melanjutkan dengan membaca ayat ini: “Sesungguhnya yang mengadakan kebohongan ialah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka adalah orang yang pendusta.” (QS An-Nahl [16]: 105).” [HR Al-Kharaithiy dalam kitab Masawi’ Al-Akhlâq no. 127]
Mengapa demikian? Sebab seorang mukmin bisa saja khilaf berzina karena lalai terlena oleh gejolak syahwatnya yang menyala-nyala membara. Seorang mukmin bisa saja mencuri karena terdesak oleh kebutuhan hidupnya, perut yang lapar dan juga perut anggota keluarganya, sehingga dia berpikir pendek saja. Akan tetapi tak ada yang berdusta karena tak sadar atau tak sengaja.
Umat Muslim tentu sudah mengetahui bahwa kejujuran sudah menjadi sifat Rasulullah sejak muda, sejak sebelum diangkat menjadi Nabi, sehingga beliau digelari Al-Amin. Hal ini bisa terlihat dalam peristiwa pemugaran Kakbah, ketika terjadi perselisihan antarsuku ikhwal siapa yang paling berhak memindahkan Hajar Aswad. Sampai akhirnya diputuskan bahwa siapa yang datang paling pertama kesokan harinya maka dialah orang yang memindahkan Hajar Aswad. Ternyata yang datang pertama kali itu adalah pemuda Muhammad.
Maka orang-orang pun berkata: “Hâ dzal amîn” (ini adalah orang yang jujur).
Dalam keputusannya, Muhammad mengambil sehelai kain dan meminta para pemuka tiap suku memegang tepi kain dan mengangkat Hajar Aswad secara bersama-sama, dan cerita selanjutnya sudah banyak diketahui oleh kalangan Muslim.
Begitu juga tatkala wahyu pertama turun, Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya di Gua Hira kepada Khadijah yang kemudian berkata: “Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakan Tuan. Tuan menyambung tali ikatan silaturahmi dan senantiasa berkata jujur serta berperilaku dan berbudi pekerti baik.”
Demikian pula kesaksian sahabat Nabi SAW sejak masa kecil hingga dewasa, yakni Abu Bakar RA. Tatkala mendengar pengakuan Muhammad saw sebagai nabi, Abu Bakar tidak meminta penjelasan panjang lebar, dan hanya bertanya apakah benar Nabi telah mendaku diri sebagai nabi?
Ketika Rasulullah hendak memberikan penjelasan, Abu Bakar berkata “Berilah jawaban kepadaku ‘ya’ atau ‘tidak.’”
Maka Rasulullah SAW pun menjawab “Ya”, dan Abu Bakar pun berkata “Di hadapanku terbentang seluruh kehidupan Tuan di masa lalu. Oleh karena itu, bagaimana aku bisa mengatakan bahwa seorang hamba Allah yang senantiasa berkata benar tiba-tiba menjadi orang yang berdusta kepada Tuhan?”
Kejujuran Rasulullah SAW diakui juga oleh musuh-musuhnya. Ini mencuat pada saat para pemuka Quraisy berkumpul untuk membuat stigma buruk kepada Rasulullah SAW. Salah seorang di antara mereka berkata bagaimana kalau Muhammad dicap sebagai tukang tenung atau sebagai pendusta.
Maka Nadhar bin Haris berdiri lalu berkata,“Hai kaum Quraisy, kalian telah terperangkap dalam suatu masalah yang tidak ada suatu cara pun yang bisa kalian tempuh untuk menghadapinya. Di antara kalian, Muhammad adalah seorang pemuda yang paling dicintai, pemuda yang paling benar dalam ucapan. Di antara kalian, dia merupakan orang yang paling jujur. Kini kalian telah melihat tanda-tanda umur di keningnya dan amanah yang dibawanya, lalu kalian mengatakan bahwa itu adalah sihir?”
“Di dalam dirinya tidak ada sedikit pun bau-bau sihir. Kami sendiri telah melihat tukang tenung. Kalian mengatakan bahwa dia adalah seorang yang berbicara dengan jin (kahin), kami sendiri telah melihat orang yang berbicara dengan jin, dan dia sama sekali bukanlah orang macam itu.”
“Kalian mengatakan bahwa dia adalah seorang penyair, tapi dia sama sekali bukanlah seorang penyair. Kalian mengatakan bahwa dia adalah orang gila, tetapi di dalam dirinya sama sekali tidak ada tanda-tanda orang gila. Hai kaum Quraisy, renungkanlah, bahwa kalian tengah berhadapan dengan suatu masalah yang besar.”
Bahkan Ali bin Abi Thalib pun pernah meriwayatkan bahwa Abu Jahal berkata kepada Nabi SAW, “Kami tidak mengatakan Engkau berdusta. Namun, kami menganggap dusta ajaran yang engkau bawa.”
Demikian, masih banyak lagi cerita tentang kejujuran Rasulullah SAW yang tersimpan dalam khazanah umat Islam. Namun intinya bahwa sebagai umatnya kita memang harus menjaga diri agar tidak pernah berkata dusta, sebab tak pernah ada orang yang berdusta karena tak sengaja atau tak disadarinya. Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita untuk senantiasa berkata jujur. Amin Ya Rabb Al-Alamin. [ ]