HRW: Filipina Harus Tangkap Pembantai 32 Wartawan
Manila — Human Right Watch (HRW) mendesak pemerintah Filipina menangkan 80 tersangka Pembantaian Maguindanao yang menewaskan 32 wartawan dan pekerja media, serta 16 politisi lokal dan pengacara.
“Keluarga korban dan para saksi pembantaian itu berisiko terbunuh jika tersangka masih bebas,” kata Phil Robertson, wakil direktur HRW Asia.
“Pihak berwenang Filipina harus menangkap 80 tersangka yang masih bebas,” lanjutnya.
Pengadilan Quezon City dijadwalkan menjatuhkan vonis kepada 107 tersangka yang mendekam di penjara. Namun jumlah keseluruhan tersangka adalah 197 orang.
Rincinya, 14 anggota klan Ampatuan dan 50 personel berseragam. Mereka yang masih bebas termasuk beberapa anggota Keluarga Ampatuan — klan terbesar dalam masyarakat Mindanao.
Pembantaian Maguindanao terjadi 23 November 2009. Konvoi mobil yang membawa Keluarga Mangudadatu, yang saat itu akan mendaftarkan Esmail Mangudadatu ke Komisi Pemilihan Umum lokal untuk maju sebagai calon gubernur, dihujani tembakan di siang bolong.
Seluruh mobil berisi mayat korban berusaha dikubur di lubang-lubang yang dibuat di pinggir jalan. Operasi pembantaian itu tak berjalan sempurna, dan terungkap.
Pers Filipina menyebutnya sebagai pembantaian wartawan terburuk dalam sejarah. Ada pula yang menyebut peristiwa ini sebagai pembunuhan politik terkeji.
Zaldi Ampatuan dan Datu Andal Unsay Ampatuan adalah tersangka utama. Keduanya adalah penguasa absolut Propinsi Maguindanao yang miskin.
Datu Sajid Islam Ampatuan dibiarkan bebas dengan jaminan. Ia memperlihatkan kekuatan klan, dengan terpilih sebagai walikota Shariff Saydona Mustapha, Mei lalu.
Patriak Ampatuan Andal Sr meninggal di penjara tahun 2015.
Pengadilan terhadap seluruh tersangka pembantai berlangsung sepuluh tahun. Selama masa itu, isu suap dan pembebasan bersyarat menghantui ruang pengadilan.
Pembunuhan tidak berhenti sampai di situ. Sejumlah saksi kunci dalam kasus itu terbunuh. Klan Ampatuan bergerilya mengancam mereka yang berniat memberi kesaksian.