Pembantaian Shabra dan Shatila, dan Akhir Hidup Elie Hobeika Serta Ariel Sharon
Kondisi Sharon yang koma laiknya mayat hidup itu tak membuat Malaikat Maut jatuh iba. Ia masih harus berada di alam tipis antara hidup dan kematian hingga 11 Januari 2014, pada saat “Penjagal dari Beirut” itu melepas nyawa. Alhasil, sekitar delapan tahun Sharon berada dalam kondisi koma, sebelum akhirnya titik.
JERNIH—Pembantaian para pengungsi Palestina di kamp Sabra dan Shatila terjadi pada September 1982, di Beirut, Lebanon, yang saat itu diduduki Israel. Pembantaian ini dilakukan para milisi Kristen Maronit Lebanon, dengan dorongan Menteri Pertahanan Israel saat itu, Ariel Sharon.
Pasukan-pasukan Maronit yang menjagal para pengungsi Palestina yang saat itu sudah dilucuti senjatanya dipimpin langsung Elie Hobeika. Ratusan pengungsi Palestina tewas dijagal, darah membanjiri kamp Shabra dan Shatila, membuatnya berbau anyir hingga berbulan-bulan kemudian.
Sejak 1975 hingga 1990, Lebanon terlibat dalam perang saudara antara kelompok-kelompok yang bersaingan, dan didukung oleh sejumlah negara tetangga. Orang-orang Kristen Maronit, yang dipimpin oleh partai dan milisi Falangis, mula-mula bersekutu dengan Suriah. Falangis kemudian bersekutu dengan Israel, yang mendukung mereka dengan senjata dan latihan untuk memerangi faksi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang berada di Lebanon sebagai pengungsi.
Selain itu, sejak 1978 Israel telah melatih, mempersenjatai, memasok dan menyediakan seragam bagi Tentara Kristen Lebanon Selatan, yang dipimpin oleh Saad Haddad.
Pertempuran dan pembantaian antara kelompok-kelompok ini mengakibatkan korban hingga ribuan orang. Beberapa pembantaian yang terjadi selama periode ini termasuk Pembantaian Karantina (Januari 1976) oleh pihak Falangis terhadap para pengungsi Palestina, pembantaian Damour (Januari 1976) oleh PLO terhadap orang-orang Maronit dan Pembantaian Tel el-Zaatar (Agustus 1976) oleh Falangis terhadap pengungsi-pengungsi Palestina.
Sabra adalah nama dari sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949. Selama bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga istilah “kamp Sabra dan Shatila” menjadi biasa. Penduduknya membengkak oleh karena pengungsi-pengungsi Palestina dan Syi’ah dari selatan yang melarinkan diri dari perang.
PLO telah menggunakan Lebanon selatan sebagai pangkalan untuk penyerangan-penyerangan mereka atas Israel, dan Israel pun rajin mengebomi posisi-posisi PLO di Lebanon selatan. Upaya-upaya pembunuhan atas Duta besar Israel, Shlomo Argov di London pada 4 Juni menjadi sebuah alasan peperangan (meskipun pada akhirnya ternyata ini dilakukan oleh sebuah kelompok yang memusuhi PLO, Abu Nidal) dan mengubah saling permusuhan ini menjadi perang besar-besaran.
Pada 6 Juni 1982, Israel menyerang Lebanon dengan 60.000 pasukan dalam suatu tindakan yang dikutuk oleh Dewan Keamanan PBB. Dua bulan kemudian, di bawah suatu kesepakatan gencatan senjata yang disponsori AS yang ditandatangani pada akhir Agustus, PLO setuju untuk menyerahkan Lebanon kepada pengawasan internasional, dan Israel setuju untuk tidak menyerang lebih jauh ke Beirut, dan menjamin keamanan warga sipil Palestina yang tertinggal di kamp-kamp pengungsi.
Pada 23 Agustus 1982, Bachir Gemayel, yang sangat populer di antara kaum Maronit, terpilih menjadi Presiden Lebanon oleh Dewan Nasional. Israel telah mengandalkan Gemayel dan pasukan-pasukannya sebagai suatu kekuatan tandingan terhadap PLO.
Pada 1 September, evakuasi para pejuang PLO dari Beirut selesai. Dua hari kemudian, Israel mengerahkan angkatan bersenjatanya di sekitar kamp-kamp pengungsi. Hal ini jelas merupakan pelanggaran atas kesepakatan gencatan senjata, tetapi Israel tidak diminta mengundurkan diri oleh tentara-tentara pengawas internasional yang mengawasi penarikan mundur PLO dan menjamin keamanan para pengungsi Palestina yang tertinggal pada 11 September, setelah penarikan yang lebih awal dari pasukan-pasukan AS. Persis seperti manakala pasukan Belanda berbendera Pasukan Keamanan PBB, secara pengecut membiarkan orang-orang Bosnia dikepung milisi Serbia di Srebrenica, pada 1995.
Hari berikutnya Ariel Sharon, menteri pertahanan Israel pada waktu itu, mengklaim bahwa 2.000 pejuang PLO masih berada di Beirut. Klaim ini dibantah pihak Palestina. Perdana Menteri Israel Menachem Begin membawa Gemayel ke Nahariya dan dengan keras mendesaknya untuk menandatangani perjanjian damai dengan Israel.
Menurut sejumlah sumber, ia pun menuntut diterimanya kehadiran militer di Lebanon selatan di bawah pengawasan Mayor Saad Haddad (seorang pendukung Israel), dan tindakan dari Gemayel untuk memindahkan para pejuang Palestina yang menurut Israel masih bersembunyi di kamp-kamp pengungsi, termasuk Sabra dan Shatila.
Namun, kaum Falangis, yang sebelumnya bersatu sebagai sekutu Israel yang dapat diandalkan, kini terpecah karena berkembangnya aliansi dengan Suriah, yang menentang Israel. Gemayel kini harus mengimbangi kepentingan-kepentingan dari banyak fraksi yang bersaing di Lebanon. Selain itu, menurut sejumlah laporan saksi mata, ia secara pribadi merasa tersinggung atas apa yang dilihatnya sebagai sikap yang sok dari Begin atas dirinya. Ia menolak tuntutan-tuntutan Israel untuk menandatangani perjanjian itu atau pun memberikan kuasa untuk dilakukannya operasi militer di kamp-kamp pengungsi.
Pada 14 September 1982, Gemayel dibunuh dalam sebuah ledakan hebat yang menghancurkan markas besarnya. Para pemimpin Palestina dan Muslim menyangkal bahwa mereka bertanggung jawab. Namun Ariel Sharon mempersalahkan orang-orang Palesina, sehingga membangkitkan kemarahan kaum Falangis terhadap mereka.
Hari berikutnya, 15 September, tentara Israel menduduki kembali Beirut Barat, membunuh 88 orang dan melukai 254 orang. Tindakan Israel ini melanggar perjanjiannya dengan AS untuk tidak menduduki Beirut Barat. AS pun telah memberikan jaminan tertulis bahwa AS akan menjamin perlindungan warga Muslim di Beirut Barat. Pendudukan Israel juga melanggar perjanjian perdamaiannya dengan tentara-tentara Muslim di Beirut dan dengan Suriah.
Tentara Israel kemudian melucuti senjata para milisi yang tidak pro Israel maupun warga sipil di Beirut Barat, semampu mereka, sementara membiarkan para milisi Falangis Kristen di Beirut Timur tetap bersenjata lengkap.
Pembantaian
Ariel Sharon kemudian mengundang satuan-satuan milisi Falangis Lebanon untuk memasuki kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila untuk membersihkannya dari para teroris. Di bawah rencana Israel, tentara-tentara Israel akan mengontrol daerah sekeliling kamp-kamp pengungsian itu dan memberikan dukungan logistik sementara milisi Falangis memasuki kamp-kamp itu, mencari para pejuang PLO dan menyerahkannya kepada pasukan-pasukan Israel.
Namun pada akhirnya tidak seorang pun yang diserahkan kepada pasukan-pasukan Israel. Tak ada pertempuran ataupun senjata yang ditemukan di kamp-kamp itu. Dokumen-dokumen yang diajukan kepada tuntutan atas kejahatan-kejahatan perang di Belgia terhadap Ariel Sharon konon memperlihatkan bahwa klaim mengenai kehadiran para pejuang PLO di kamp-kamp itu hanyalah sebuah cerita rekaan yang disiapkan Israel.
Militer Israel telah sepenuhnya mengepung dan menyegel kamp-kamp itu dan mendirikan pos-pos pengintaian di atap gedung-gedung tinggi di sekitarnya pada 15 September. Hari berikutnya Israel mengumumkan bahwa mereka telah mengendalikan semua posisi penting di Beirut. Militer Israel bertemu sepanjang hari dengan pucuk pimpinan Falangis untuk mengatur rincian operasi. Selama dua malam berikutnya, sejak senja hingga larut malam, militer Israel menembakkan cahaya-cahaya suar di atas kamp-kamp itu.
Pada malam 16 September, 1982, para milisi Falangis di bawah komando Elie Hobeika, memasuki kamp-kamp itu. Selama 36 hingga 48 jam berikutnya, para milisi Falangis membantai para penghuni kamp pengungsian itu, sementara militer Israel menjaga pintu-pintu keluar dan terus-menerus menembakkan suar di malam hari.
Sebuah satuan yang terdiri atas 150 milisi Falangis (termasuk sejumlah pasukan SLA, menurut Saad Haddad, seperti yang dikutip oleh Robert Fisk, dan juga sumber-sumber lainnya) dikumpulkan pada pukul 4 sore. Para milisi ini dipersenjatai dengan senapan, pisau, dan kapak dan memasuki kamp-kamp itu pada pk. 18.00.
Seorang perwira Falangis melaporkan 300 pembunuhan, termasuk korban sipil, kepada pos komando Israel pada pk. 20.00, dan lebih jauh melaporkan bahwa pembunuhan-pembunuhan ini berlanjut sepanjang malam. Sebagian dari laporan-laporan ini diteruskan kepada pemerintah Israel di Yerusalem, dan dibaca oleh sejumlah pejabat senior Israel.
Pada satu kesempatan, seorang anggota milisi mengirimkan lewat berita pertanyaan kepada komandannya Hobeika tentang apa yang harus dilakukannya dengan kaum perempuan dan anak-anak di kamp pengungsian itu, dan terdengar oleh seorang perwira Israel yang mendengar jawaban Hobeika bahwa “Ini adalah kali terakhir anda mengajukan pertanyaan seperti itu kepada saya, anda tahu benar apa yang harus dilakukan.” Para tentara Falangis kedengaran tertawa di belakang.
Pada hari Jumat, 18 September, sementara kamp-kamp itu masih disegel, beberapa pengamat independen berhasil masuk. Di antara mereka adalah seorang wartawan Norwegia, diplomat Norwegia, Ane-Karine Arvesen, yang mengamati kaum Falangis pada operasi-operasi pembersihan mereka, yang menyingkirkan mayat-mayat dari rumah-rumah yang dihancurkan di kamp Shatila.” [Harbo, 1982]
Pasukan-pasukan Falangis tidak meninggalkan kamp-kamp itu pada pk. 5.00 pagi hari Sabtu, seperti yang diperintahkan. Mereka memaksa mereka yang masih tersisa untuk berbaris keluar dari kamp, dan secara acak membunuhi mereka, sementara yang lainnya dikirim ke stadion untuk diinterogasi. Hal ini berlangsung sehari penuh. Milisi akhirnya meninggalkan kamp pada pk. 8.00 pagi pada 18 September.
Wartawan-wartawan asing pertama yang diizinkan masuk ke kamp pada pk. 9.00 pagi menemukan ratusan jenazah yang berserakan di seluruh kamp itu, banyak di antaranya yang terpotong-potong. Berita resmi pertama tentang pembantaian ini disiarkan sekitar tengah hari.
Angka yang diberikan Israel, berdasarkan intelijen Angkatan Pertahanan Israel (IDF), menyebutkan 700-800 mayat. Menurut pandangan Komisi Kahan, “ini mungkin sekali angka yang paling dekat dengan realitas.” Menurut BBC, “sekurang-kurangnya 800” orang Palestina meninggal.
Bayan Nuwayhed al-Hout dalam bukunya “Sabra and Shatila: September 1982” (Pluto, 2004) menyebutkan jumlah minimum 1.300 nama korban berdasarkan perbandingan terinci dari 17 daftar korban dan bukti-bukti pendukung lainnya dan memperkirakan jumlah yang bahkan lebih tinggi lagi.
Robert Fisk, salah seorang wartawan pertama yang mengunjungi tempat kejadian, mengutip (tanpa membenarkan) para perwira Falangis yang mengatakan bahwa “2.000 ‘teroris’–perempuan maupun laki-laki – telah terbunuh di Chatila.” Bulan Sabit Merah Palestina menyebutkan angka lebih dari 2.000 orang (Schiff and Ya’ari 1984).
Dunia marah
Pembantaian ini membangkitkan kemarahan di seluruh dunia. Pada 16 Desember 1982, Sidang Umum PBB mengutuk pembantaian ini dan menyatakannya sebagai suatu tindakan genosida. Namun tidak ada tindakan, baik nasional maupun internasional, yang dilakukan terhadap komandan Falangis, Elie Hobeika, maupun Menhan Israel yang membiarkan hal itu terjadi, Ariel Sharon.
Dalam pernyataan-pernyataan awalnya, pemerintah Israel mula-mla menyatakan bahwa para kritikus yang menganggap bahwa Pasukan Bela Diri Israel (IDF) bertanggungjawab atas kejadian-kejadian di Sabra dan Shatila telah melakukan “tuduhan berdarah terhadap negara Yahudi dan pemerintahnya”. Namun, sementara berita tentang pembantaian itu menyebar ke seluruh dunia, kontroversi itu makin berkembang dan pada 25 September, 300.000 orang Israel berdemonstrasi di Tel Aviv menuntut jawaban.
Pada 28 September, pemerintah Israel memutuskan untuk membentuk sebuah Komisi Penyelidik, yang dipimpin oleh bekas Hakim Agung Kahan. Laporan itu mencakup bukti-bukti dari para personel pasukan Israel, maupun para tokoh politik dan perwira Falangis. Dalam laporan itu, yang diterbitkan pada musim semi 1983, Komisi Kahan menyatakan bahwa tidak terbukti bahwa satuan-satuan Israel ikut serta langsung dalam pembantaian itu dan bahwa semua itu adalah “tanggung jawab langsung kaum Falangis.”
Namun, Komisi itu mencatat pula bahwa personel militer Israel sadar bahwa pembantaian itu berlangsung tanpa mengambil langkah-langkah serius untuk menghentikannya, dan bahwa laporan-laporan mengenai pembantaian yang berlangsung itu disampaikan kepada para perwira senior Israel dan bahkan kepada seorang menteri di kabinet Israel. Karena itu, Komisi menyimpulkan bahwa Israel ikut “bertanggung jawab secara tidak langsung”.
Di antara mereka yang dianggap “bertanggung jawab secara tidak langsung”, komisi itu menyimpulkan bahwa Ariel Sharon bertanggung jawab “secara pribadi”, dan mengusulkan agar ia dipecat dari kedudukannya sebagai menteri pertahanan.
Israel, kumpulan para munafik
Meskipun Komisi Kahan menyimpulkan bahwa Sharon tidak boleh mengemban jabatan publik lagi, sifat minafik Yahudi membuatnya tetap bisa berpolitik, dan di kemudian hari ia menjadi perdana menteri Israel.
Bagi para tokoh kritis, laporan komisi itu menunjukkan kenyataan bahwa bagi Israel komisi itu hanya merupakan upaya untuk membersihkan nama Israel. Misalnya, Noam Chomsky mengatakan: “Laporan Komisi Kahan ini adalah upaya pembersihan nama yang memalukan; lihat Fateful Triangle, chapter 6, and Shimon Lehrer, Ha’ikar Hehaser (“The Missing Crucial-Point”; Amit, Jerusalem, 1983).
Dalam analisis kritis yang cermat terhadap kejadian-kejadian sekitar pembantaian itu dan laporan Komisi Kahan, Lehrer memperlihatkan bahwa kesimpulan-kesimpulannya tidak dapat dipertahankan dan berpendapat bahwa, di bawah hukum Israel, Menteri Pertahanan dan Kepala Staf mestinya diganjar hukuman penjara selama 20 tahun atas pembunuhan terencana. Sementara dikritik tajam di Israel, di AS, laporan Komisi Kahan itu digambarkan, tanpa analisis, sebagai laporan yang paling mengesankan dan bahkan hampir menakjubkan.”
Sebagian komentator, seperti Noam Chomsky dan Robert Fisk, menyatakan bahwa Israel mestinya dapat mencegah pembantaian itu. Lebih jauh, mereka meragukan bahwa di kamp-kamp itu memang ada anggota PLO, karena (1) Komisi Kahan mengklaim bahwa pasukan Israel hanya mengirim 150 orang Falangis untuk memerangi anggota PLO yang konon jumlahnya 2.000 orang. Ini tentu suatu keputusan militer yang tidak realistik dan buruk. (2) kaum Falangis hanya menderita dua korban, sebuah hasil yang tidak mungkin terjadi dalam sebuah pertempuran yang berlangsung selama 36 jam antara 150 orang militan melawan 2.000 pasukan PLO yang berpengalaman.
Di lain sisi, Israel yang telah memberikan komitmen tertulis bahwa ia akan melindungi kaum sipil Palestina (sebagai tanggung jawabnya sebagai kekuatan pendudukan di bawah hukum internasional), tidak melakukan apa-apa untuk melindungi warga sipil ketika ia sadar bahwa pembantaian sedang berlangsung.
Pada 4 Februari 1983, majalah terkemuka Jerman, “Der Spiegel” memuat sebuah wawancara dengan salah seorang Falangis yang ikut serta dalam pembantaian itu. Menurut orang ini, pasukan Israel mengebomi kamp itu sebelum untuk masuknya orang-orang Falangis.
Pada 1987, “Time” menerbitkan sebuah laporan yang menyiratkan bahwa Sharon bertanggung jawab secara langsung atas pembantaian-pembantaian itu. Sharon menuntut Time dengan tuduhan pencemaran di pengadilan Amerika dan Israel. Time memenangi tuntutan itu di pengadilan AS karena Sharon tidak dapat membuktikan bahwa Time telah “bertindak dengan maksud jahat,” sebagaimana yang diharuskan di bawah undang-undang pencemaran AS.
Akhir hidup Elie Hobeika dan Sharon
Setelah terpilihnya Sharon pada tahun 2001 sebagai Perdana Menteri Israel, kaum keluarga para korban pembantaian ini mengajukan tuntutan di Belgia dan menuduh bahwa ia secara pribadi bertanggung jawab atas pembantaian-pembantaian itu. Undang-undang yang digunakan adalah yang pertama kali digunakan terhadap mereka yang terlibat dalam Genosida Rwanda. Mahkamah Agung Belgia memutuskan pada 12 Februari 2003 bahwa Sharon (dan mereka yang terlibat lainnya, seperti Jenderal Yaron dari israel) dapat dikenai tuntutan di bawah tuduhan ini. Israel mengklaim bahwa tuntutan ini dilakukan dengan alasan-alasan politis.
Sebuah kasus lain diajukan di Belgia yang menyatakan bahwa Presiden George H. W. Bush dan Menteri Luar Negeri Colin Powell bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan perang dalam Perang Irak pertama. AS mempertanyakan yurisdiksi pengadilan Belgia untuk mengadili kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan di tempat lain, dan meminta sekutu-sekutu Eropanya untuk menekan Belgia serta mengancam untuk memindahkan markas besar NATO dari Belgia.
Selain itu sejumlah kasus lainnya terhadap para pemimpin dunia, seperti Fidel Castro, Augusto Pinochet, dan Yasser Arafat, juga diajukan di pengadilan Belgia, hingga menimbulkan sejumlah masalah diplomatik. Akhirnya Belgia mengamendemen hukumnya dan menyatakan bahwa pengaduan-pengaduan hak asasi manusia hanya bisa diajukan apabila korban atau tertuduhnya adalah warga Belgia atau sudah lama menjadi penduduk negara itu pada waktu kejahatan yang dituduhkan itu terjadi. Parlemen Belgia juga menjamin kekebalan diplomatik bagi para pemimpin dunia dan pejabat pemerintahan lainnya yang berkunjung ke negara itu.
Elie Hobeika, komandan Falangis pada waktu pembantaian itu tidak pernah diadili. Ia bahkan memegang jawaban menteri di pemerintahan Lebanon pada tahun 1990-an. Yang menarik, ia mati dibunuh dengan sebuah bom mobil di Beirut pada 24 Januari 2002, sementara ia bersiap-siap untuk memberikan kesaksian dalam sebuah peradilan Sharon. Tubuh Hobeika hangus mengarang dalam mobilnya yang terbakar itu.
Ariel Sharon sendiri tetap aktif berpolitik. Ia bahkan terpilih sebagai perdana menteri Israel dari 7 Maret 2001 hingga 14 April 2006.
Pada 18 Desember 2005 Sharon mengalami stroke ringan dan segera dibawa ke rumah sakit. Ia dirawat selama dua hari dan dijadwalkan akan menjalani operasi jantung pada 5 Januari 2006. Namun sehari sebelum operasi, pada 4 Januari 2006 ia kembali masuk ke rumah sakit karena kembali mengalami stroke. Kali ini parah. Apalagi bersamaan dengan serangan stroke itu, Sharon mengalami pendarahan otak. Sharon menjalani operasi selama tujuh jam untuk menghentikan pendarahan itu dan membuang darah yang mengumpul di otaknya.
Ia dirawat di unit perawatan intensif karena mengalami koma dan seolah menjadi mayat hidup dengan serangkaian pipa dan selang penjaga kehidupan. Tugas-tugasnya sebagai perdana menteri kemudian dialihkan kepada Wakil Perdana Menteri Ehud Olmert.
Pada 11 Februari 2006, kondisi Ariel Sharon memburuk, dan badannya yang sudah berkali-kali dirobek pisau bedah, kembali harus menjalani pembedahan darurat setelah sistem pencernaannya rusak parah.
Tetapi kondisi Sharon yang koma laiknya mayat hidup itu tak membuat malaikat maut jatuh iba. Ia masih harus berada di alam tipis antara hidup dan kematian hingga 11 Januari 2014, pada saat para perawat melihatnya kelojotan melepas nyawa. Alhasil, sekitar delapan tahun Sharon berada dalam kondisi koma, sebelum akhirnya titik. “Penjagal dari Beirut” itu pun bergabung dengan para pengungsi Palestina yang menunggunya di alam baka. [Wikipedia dan lain-lain]