Hari Ini Pada 1562 : Perang Katolik-Protestan Meletus di Prancis
JAKARTA—Keresahan di antara umat Katolik dan kaum Protestan Prancis yang telah menggumpal selama puluhan tahun, meledak pada perang yang dimulai di Dreux, sebuah desa kecil di persimpangan menuju Normandia utara. Inilah saat kedua kekuatan yang telah lama menyimpan dendam tersebut memuaskan nafsu saling bunuh di antara mereka.
Konflik agama di Prancis dimulai saat ‘agama’ Protestan mulai menyebar seiring menguatnya dukungan kepada kaum Calvinis. Sebagaimana Marthin Luther di Jerman, John Calvin adalah seorang teolog yang berpikiran untuk melakukan reformasi terhadap berbagai aturan dan praktik Katolik.
Apalagi saat itu kaum Protestan seiring dengan trend Renaissance yang mengusung humanisme. Ditemukannya mesin cetak—lebih sederhana dibanding mesin cetak Guttenberg, oleh Aldus Manutius dari Venesia pada 1495, kian memperkuat kecenderungan orang untuk menggali sendiri agama mereka. Satu hal yang selama itu dipegang kuat para pemuka Katolik karena memberi mereka banyak previlese. Buku-buku sastra terjemahan Yunani dan Latin, dengan bentuk kecil, kompak dan cujup massal, membuat public bisa menggali ilmu semau mereka.
Sementara, di kalangan gereja dan teolog sendiri tengah berkembang pemikiran baru bahwa penafsiran Alkitab harus didasarkan pada pemahaman yang akurat tentang bahasa dan tata bahasa yang digunakan dalam penulisan tulisan suci Yunani (Perjanjian Baru) dan juga kitab-kitab Ibrani (Perjanjian Lama). Tak hanya hanya mengandalkan Vulgata, terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin, seperti pada periode abad Pertengahan.
Semua diperparah karena merajalelanya kelakuan koruptif yang dilakukan oknum-oknum gereja. Ini makin menguatkan harapan massa akan adanya reformasi di gereja Prancis. Sebuah buku yang terkenal saat itu, ‘Heptameron’ yang ditulis seseorang bernama Marguerite, semakin membuncahkan kekecewaan massa akan gereja. Buku itu dengan detil menggambarkan amoralitas di kalangan para pemuka gereja. Segera kemudian karya-karya terjemahan lain seperti terjemahan Farel tentang ‘Doa Bapak Kami’, ‘Doa Yang Benar dan Sempurna’, serta buku-buku lain dengan ide-ide Lutheran-Calvinian, menyerbu masyarakat.
Kedua pihak lama-lama memperkuat diri dengan membentuk kekuatan bersenjata. Pada 19 Desember 1562 keduanya bertemu di Dreux. Umat Katolik dipimpin Anne de Montmorency, sementara Louis I, Prince of Condé memimpin kalangan Calcinis yang lazim disebut kaum Huguenot. Dua jam lebih kedua pihak saling berhadapan sebelum teriakan saling serang terdengar dari kedua pihak. Masing-masing sadar, di kedua sisi ada teman, ipar, bahkan saudara sekandung. La Noue dalam ‘Discours’ mengatakan, itulah pertama kalinya dua kekuatan militer Prancis saling berhadapan setelah lebih dari seabad. Namun akhirnya tak urung perang meletus.
Di ujung hari, dari sekitar 30 ribu laki-laki yang saling berhadapan itu, sepertiganya terbunuh atau luka berat. Ambroise Paré, seorang ahli bedah yang dikirim dari Paris, menggambarkan suasana saat ia datang ke medan laga. “…seluruh tanah lapang itu kini sepenuhnya tertutup mayat, bergelimpangan dimana-mana…”
Namun terlalu banyak mayat membuat upaya pengurusan sulit. Apalagi saat itu menjelang musim dingin. Banyak prajurit yang luka-luka dibiarkan begitu saja, mati dalam syok dan dingin yang menggigit. Seorang polisi, Jean de Mergey dalam buku yang kemudian ditulisnya tentang pertempuran itu ‘Mémoire’, menulis,”…itu malam terdingin yang pernah saya rasakan…”
Semua itu berlangsung terus selama kurang lebih delapan tahun. Itu sebabnya perang agama tersebut dikenal sebagai Perang Delapan Tahun dalam sejarah Prancis.
Banyak sejarahwan menandai akhir peperangan itu dengan terbitnya Dekrit Nantes pada 1598.Diperkirakan tiga juta orang tewas karena kekerasan, kelaparan dalam evakuasi atau penyakit. Tahun itu Henry dari Navarre, pewaris takhta Prancis yang Protestan, pindah agama ke Katolik. Ia kemudian dimahkotai sebagai Henry IV dari Prancis. Dialah yang mengeluarkan Edict of Nantes, yang memberikan hak dan kebebasan substansial bagi kaum Huguenot meskipun ini tidak mengakhiri permusuhan kaum Katolik terhadap mereka.
Namun sejarahwan lain menilai, Perdamaian Alès yang terjadi pada 1629, yang sebenarnya mengakhiri perang. Pasalnya, pada 1572 masih terjadi pembantaian orang Protestan oleh katolik, yang memakan korban lebih dari 30 ribu orang. Hari itu hingga kini diperingati sebagai St. Bartholomew’s Day of massacre. [ ]