Jantung: Pembawa Maut
Di situlah persoalannya. Karena adrenalin membuncah, kita paksa jantung kita melayani hasrat menaklukkan bukit. Dan sialnya, saat itu kita tidak sadar bahwa si jantung sudah hampir mencapai batas kekuatan. Adrenalin yang melimpah membuat kita tidak ingat itu.
Oleh : Agus Kurniawan
JERNIH– Christian Eriksen, pebola top Denmark, tiba-tiba jatuh sendiri di ajang pentas Euro kemarin, disaksikan jutaan penonton. Pemain berumur 29 tahun ini terkena serangan jantung di tengah lapangan.
Selama beberapa menit seisi lapangan — disiarkan langsung di tivi — tampak tegang dan panik. Syukurlah, Eriksen akhirnya bisa diselamatkan dan dirawat di rumah sakit — konon di lapangan sempat mati suri.
Di dunia pergowesan, saya setidaknya sudah mendengar puluhan kasus pesepeda meninggal (bukan karena kecelakaan). Dugaan penyebabnya gagal jantung. Berita semacam ini akan terekspos cepat di grup-grup sepeda. Bahkan sahabat baik saya menyaksikan langsung seorang pesepeda meninggal tepat di sampingnya. Dia sempat ikut menolong waktu itu.
Yang meninggal bukan hanya yang awam tentang dunia medis. Dokter meninggal terkena serangan jantung saat bersepeda pun ada.
Bukan hanya di sepeda. Yang seperti ini juga kita dengar pada olahraga lari, futsal, atau bulutangkis. Mungkin juga pada olahraga lain yang saya tidak tahu.
Jelas bukan salah olahraganya. Bukan salah bersepeda, lari, futsal, atau bulu tangkis. Kebanyakan kasus fatal terjadi karena pesertanya tidak sadar kondisi badan sendiri. Atau terlalu semangat dan memaksakan diri. Bisa juga tidak tahu bahwa dia punya penyakit jantung bawaan.
Saya bukan dokter dan tidak tahu medis. Jadi, saya sharing saja sedikit pengalaman pribadi saat bersepeda, khususnya di tanjakan-tanjakan ngehe, yang berpotensi menyebabkan gagal jantung.
Saya juga bukan pesepeda tangguh. Sebaliknya, saya pemboseh boyot, alias letoy. Kalau gobar selalu ketinggalan jauh. Modal saya hanya semangat. Pokoknya harus ikutan finish.
Menurut rekam jejak medis, saya tidak punya riwayat penyakit jantung — entah kalau dites lebih detail. Ini modal awal yang baik. Seringnya orang yang berkasus fatal saat bersepeda memang sudah punya riwayat penyakit jantung bawaan, entah disadari atau tidak — bisa diketahui melalui serangkaian cek medis.
Saat nanjak — seperti tadi di daerah perbukitan Soreang, kita sering lupa diri. Setiap tanjakan seolah harus ditaklukkan. Dan menanjak tentu membuat detak jantung menjadi sangat cepat. Digeber, seperti posisi gigi satu pada mobil.
Di situlah persoalannya. Karena adrenalin membuncah, kita paksa jantung kita melayani hasrat menaklukkan bukit. Dan sialnya, saat itu kita tidak sadar bahwa si jantung sudah hampir mencapai batas kekuatan. Adrenalin yang melimpah membuat kita tidak ingat itu.
Tapi kalau kita kebetulan berhenti karena nggak kuat nanjak lagi, lalu istirahat, akan terasa dentuman jantung yang menggetarkan tulang dada. Ini harfiah, bukan kiasan. Degupan jantung yang super kencang tidak terasa saat mengayuh karena kita dipenuhi rasa hepi. Tapi sebenarnya jantung kita sudah sangat diforsir. Perasaan hepi di sini bisa menipu.
Dulu saya memakai alat semacam jam untuk mendeteksi detak jantung saat bersepeda atau lari. Tapi alatnya sudah lama rusak dan saya bosan memakainya — tindakan yang sedikit gegabah sih. Sebagai gantinya, saya mengandalkan insting. Jika di tanjakan sudah terlalu ngos-ngosan, saya berhenti. Saya memasang alarm diri agar tidak memforsir jantung. Resikonya, memang jadi boyot. Keteter.
Tapi alarm diri atau insting itu sifatnya subyektif. Jika pas hepi, bisa nggak terdeteksi. Bagusnya memang memakai alat ukur pendeteksi detak jantung. Alat tidak mungkin bohong atau terhanyut oleh perasaan. Alat kan pada dasarnya bodoh, tidak punya ego yang justru bisa mematikan itu.
Yang menyebabkan gagal jantung tentu bukan hanya saat menanjak. Bersepeda datar tapi dengan kondisi tubuh bermasalah juga beresiko.
Saya—kita–bukan atlet seperti Erikson. Kita berolahraga semata-mata biar sehat dan gembira — boleh juga disebut bertualang. Kesadaran terhadap kondisi diri akan menghindarkan kita dari resiko fatal yang tidak kita inginkan. [ ]
(goeska@gmail.com)