
Menkes BGS lebih fokus pada penanganan dampak obesitasnya. Ini bisa dilihat juga dari alokasi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) nya. Dengan jargon ‘transformasi kesehatan’, Menkes BGS ingin mengubah paradigma kesehatan, dari ‘health care’ menjadi ‘health industri’. (Pengidap) Obesitas tidak dipandang sebagai orang yang sakit saja, tapi sebagai peluang konsumen kesehatan masa depan.
Oleh : Rizky Adriansyah*
JERNIH– “Ukuran jeans 34 – 33 lebih cepat menghadap Allah”. Begitu salah satu pernyataan kontroversial Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin (Menkes BGS) yang viral di masyarakat pada 14 Mei 2025. Menkes BGS berkelit, kalau bilang Body Mass Index (BMI) agar di bawah 24, itu susah ngomongnya. Intinya Menkes BGS mau menyampaikan bahaya obesitas bagi orang dewasa.
Walaupun tidak mencapai target, Menkes BGS mengharapkan agar setiap orang mengukur lingkar pinggangnya melalui program Cek Kesehatan Gratis (CKG). Namun, apa sebenarnya yang menjadi fokus Menkes BGS dalam kebijakannya menangani obesitas di masyarakat? Apakah obesitas sebagai masalah kesehatan yang harus dicegah atau kesempatan untuk membuka bisnis industri kesehatan?
Ini yang harus disadari setiap orang berdasarkan data dan fakta. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi obesitas pada orang dewasa di Indonesia adalah 21,8 persen. Pada 2023, angkanya meningkat menjadi 28,7 persen. Lalu, dengan adanya program CKG ini, hampir pasti angkanya meningkat karena semakin banyak orang yang terdeteksi. Prevalensi obesitas pada orang dewasa di Indonesia diprediksi sudah lebih dari 30 persen.
Peningkatan prevalensi obesitas sudah tentu banyak dipengaruhi oleh gaya hidup (life style), seperti pola makan yang tinggi lemak dan gula, kurang aktivitas fisik, kurang berolahraga, dan faktor genetik. Sedangkan dampak obesitas adalah meningkatnya risiko penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, dan diabetes melitus. Bahkan literatur terkini juga menyatakan jika obesitas dapat memicu beberapa jenis kanker.
“Saya harus mengurangi berat badan, sekarang berat saya 74 kg”, kata Menkes BGS, yang artinya dia termasuk overweight. Kita tahu Menkes BGS adalah orang yang sangat rajin berolahraga, menjaga makanan, mungkin pola aktivitas istirahatnya yang tidak teratur. Maklum, Menkes adalah pejabat super sibuk. Jika tidak benar-benar menjaga aktivitasnya, Menkes BGS akan masuk ke dalam kelompok masyarakat obesitas. Melalui video tersebut, Menkes BGS ingin mengajak setiap orang agar semakin banyak melakukan CKG.
Program CKG ini ‘seolah-olah’ merupakan dari program kesehatan yang bersifat promotif dan preventif. Namun seperti yang telah saya sampaikan, tanpa program CKG pun sudah diprediksi kejadian obesitas akan meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan tidak adanya program kesehatan yang bersifat preventif dan promotif lainnya yang ‘benar-benar’ bertujuan mencegah obesitas.
Tahun 2007, prevalensi obesitas di Indonesia hanya 8 persen. Aku masih ingat waktu itu, kita punya program dengan visi Indonesia Sehat 2010. Inisiator nya saat itu adalah Menkes periode 1998 – 1999, Prof. Faried Anfasa Moeloek. Sangat jelas, program-program kesehatan saat itu selalu bersama-sama lintas sektor dan lebih memprioritaskan promotif dan preventif. Ada program perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Ini bisa dilihat dari alokasi anggaran negaranya.
Bagaimana dengan era Menkes BGS sekarang? Hal yang disembunyikan adalah Menkes BGS lebih fokus pada penanganan dampak obesitasnya. Ini bisa dilihat juga dari alokasi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) nya. Dengan jargon ‘transformasi kesehatan’, Menkes BGS ingin mengubah paradigma kesehatan, dari ‘health care’ menjadi ‘health industri’. Obesitas tidak dipandang sebagai orang yang sakit saja, tapi sebagai peluang konsumen kesehatan masa depan.
Menkes BGS lebih fokus pada semakin meningkatnya dampak obesitas, dia merencanakan program layanan kesehatan Kanker, Jantung, Stroke, Uronefrologi (KJSU). Obesitas akan memicu penyakit jantung koroner, stroke, dan hipertensi. Anggaran negara yang sangat besar dikucurkan untuk membeli berbagai alat kesehatan canggih. Misalnya pembelian alat Cath-lab, targetnya harus ada di setiap rumah sakit umum daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Semakin banyak kasus obesitas, maka semakin banyak orang mengalami penyakit jantung koroner dan penyakit stroke, maka utilitas Cath-lab juga akan meningkat.
Aku bukan ingin mengatakan pembelian alat Cath-lab ini tidak bagus atau sia-sia. Alat Cath-lab sangat baik untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan jantung dan penanganan stroke. Yang menjadi persoalan, penyediaan alat-alat kesehatan canggih tidak berdasarkan analisis kebutuhan, keterjangkauan masyarakat dan sistem rujukan, serta sumber daya manusia di rumah sakit.
Selain canggih, alat Cath-lab termasuk kategori mahal. Untuk harga satu unit Cath-lab, biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp 18 miliar. Itu belum termasuk anggaran infrastrukturnya yang berkisar Rp 2 miliar. Untuk memenuhi Cath-lab di sekitar 500 rumah sakit di berbagai daerah, total anggaran diperkirakan mencapai Rp10 triliun. Suatu angka yang sangat fantastis untuk satu program layanan kesehatan saja. Belum termasuk program-program kesehatan lainnya yang berfokus pada ‘health industry’.
Tentunya, Menkes BGS tidak mau pembelian alat-alat kesehatan supercanggih itu menjadi ‘percuma’. Utilitasnya harus lebih meningkat lagi. Jika perlu, alat-alat kesehatan itu difungsikan selama 24 jam di rumah sakit. Para dokter spesialis jantung dan dokter spesialis saraf dijanjikan dengan jasa remunerasi yang besar. Bak mengejar setoran ‘supir angkot’, semua kasus dikerjakan siang malam tanpa melihat jam kerja, pun bukanlah kasus emergensi.
Kembali kepada soal penanganan obesitas. Berapa anggaran negara untuk program pencegahan tersebut? Berdasarkan APBN tahun 2025, alokasi anggaran kesehatan promotif dan preventif hanya Rp 3,4 triliun. Itu pun anggarannya lebih dominan untuk program CKG ketimbang program-program preventif lainnya. Kebijakan kesehatan yang sudah salah kaprah dan sangat paradoks dengan tujuan pembangunan kesehatan itu sendiri. Ah, sudahlah, terserah Menkes BGS….[ ]
* Praktisi kesehatan