“Berapa banyak jamaah tahun ini?” kata malaikat satu, yang senantiasa mengawali perbincangan dengan pertanyaan klise tersebut. “Dua juta orang lebih. Tetapi 200-an ribu jamaah dari negeri bernama Indunisi tak satu pun diterima,” jawab malaikat yang lain, yang juga selalu sabar menjadi penjawab pertanyaan itu. “Mereka hanya membayar setengah biaya, kadang kurang. Sisanya dibayar satu badan pengelola dengan cara yang tak sepenuhnya adil buat jamaah lain, mereka yang menanti dalam antrean panjang pemberangkatan, bahkan sampai penantian itu diputuskan kematian…”
Oleh : Darmawan Sepriyossa*
JERNIH— Di sekitar abad ke-8 Masehi, dua malaikat yang tengah menyaksikan prosesi ibadah haji tahun itu berbincang satu sama lain.
“Berapa banyak jamaah yang datang tahun ini?”tanya malaikat yang satu.
“Enam ratus ribu orang,” jawab malaikat lainnya. “Tapi, tak satu pun haji mereka diterima, kecuali seorang tukang sepatu bernama Muwaffaq yang batal menunaikan haji, tertinggal di rumahnya di Damaskus. Bahkan berkat dia, semua ibadah jamaah yang berhaji akhirnya diterima Allah Sang Maha Kuasa.”
Kisah yang melibatkan tokoh sufi Ibnu Mubarok itu termasuk cerita sufi yang sangat popular kita dengar. Kita tak pernah mendapatkan informasi jelas, mengapa ibadah ratusan ribu jamaah haji itu tertolak sebelum perbuatan mulia Muwaffaq si tukang sepatu itu.
Anggaplah, dalam lima tahun atau bahkan sekitar satu dekade ini, pada setiap tahun di bulan haji, kedua malaikat itu selalu terlibat obrolan yang sama.
“Berapa banyak jamaah tahun ini?” kata malaikat satu, yang senantiasa mengawali perbincangan dengan pertanyaan klise tersebut.
“Dua juta orang lebih. Tetapi 200-an ribu jamaah dari negeri bernama Indunisi tak satu pun diterima,” jawab malaikat yang lain, yang juga selalu sabar menjadi penjawab pertanyaan itu. “Mereka hanya membayar setengah biaya, kadang kurang. Sisanya dibayar satu badan pengelola dengan cara yang tak sepenuhnya adil buat jamaah lain, mereka yang menanti dalam antrean panjang pemberangkatan, bahkan sampai penantian itu diputuskan kematian…”
***
Sudah menjadi rahasia umum bahwa telah sekian lama Ongkos Naik Haji (ONH) setiap jamaah Indonesia mendapatkan bantuan. Istilah gampangnya ‘disubsidi’, meski terma tersebut jelas kurang tepat. Mengapa dibantu, tentu karena kurang, sementara bila ONH itu dinaikkan begitu saja, kemungkinan besar riaknya bisa jadi ke segala bidang dan tak terkontrol. Persoalannya, mahalnya biaya ini juga sering disebut berhubungan dengan keengganan pemerintah Arab Saudi membuka bandara selain Jeddah dan Riyadh untuk kedatangan jamaah haji—yang membuat penumpukan menjadi niscaya–, selain permainan klasik para syeikh, yang nota bene kalangan swasta Saudi, memainkan biaya akomodasi di sana.
Misalnya, Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) pada tahun 2019 sejatinya menghabiskan sekitar Rp 72 juta per jamaah. Sementara jamaah haji tahun itu hanya perlu membayar Rp 35,2 juta. Ada selisih sekitar Rp 37 juta antara yang dibayar dan rata-rata biaya riil setiap jamaah haji. Itu bukan hanya untuk musim haji 2019, tahun sebelum dan sesudahnya pun bantuan seperti itu diberikan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Pengakuan Dewan Pengawas BPKH bahkan menyebut jumlah bantuan per jamaah yang lebih besar lagi. Anggota Dewas BPKH, KH Marsudi Syuhud, mengatakan, selama sekitar empat tahun terakhir BPKH menutupi kekurangan dana haji sekitar Rp 42,9 juta per jamaah. Kata Marsudi, kekurangan dana tiap jamaah yang ditutupi BPKH itu berasal “dari keuntungan yang didapat dari dana setoran jemaah haji” yang dikelola badan tersebut.
Fakta itulah, justru, yang membuat beberapa pihak berkeras bahwa jamaah haji Indonesia tidak pernah mendapatkan subsidi. Fakta bahwa kekurangan biaya haji tidak ditutup pemerintah secara langsung, melainkan oleh BPKH—yang sebenarnya juga lembaga publik–membuat talangan itu menurut mereka tidak bisa disebut subsidi. Sekalipun menurut sifatnya diakui bantuan itu sejalan dengan tujuan subsidi, yakni meringankan beban masyarakat dan untuk sesuatu yang masih bisa dianggap sebagai kepentingan umum. Perdebatan itu belum lagi melibatkan kalangan yang berkeras memegang common sense mereka bahwa subsidi idealnya diberikan pada sesuatu yang berkenaan dengan urusan produktif, bukan konsumsi. Lupa, bahwa subsidi minyak goreng, misalnya, jelas-jelas urusan konsumsi meski kemudian membawa dampak langsung pada pabrik minyak goreng.
Bagi mereka, subsidi selazimnya datang dari atau tercatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara bantuan untuk haji tidak berasal dari APBN, melainkan dari hasil usaha BPKH. Barangkali karena dalam perdebatan yang sehat orang tak menghendaki ‘zero sum game’, kalangan ‘pemerintah’ dan BPKH pun kemudian menggunakan nama dana manfaat untuk bantuan tersebut. Tanpa harus berdebat, kita akan gampang bersepakat bahwa terma tersebut jelas menyiratkan kentalnya eufimisme.
Tetapi tentu saja, saya tak hendak berhenti pada perdebatan seputar sebutan subsidi atau bukan. Saya bukan juga kalangan yang mengharamkan bantuan buat para jamaah haji. Dalam pemikiran sederhana saya, kalau ada pihak yang bisa membantu meringankan beban jamaah haji, mengapa tidak? Apalagi bila bantuan itu diberikan negara yang memang harus punya arti bagi kehidupan warganya. Bagi negara, bantuan tersebut tak sekadar ‘cum’, melainkan kewajiban negara pada umat Islam yang menjadi warganya, sebagaimana kemudian diatur dalam Undang-undang no 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh.
Sebaliknya, dari sisi jamaah haji pun pemberian bantuan tersebut tidak bisa dengan gampang dianggap tanpa persoalan. Laiknya manusia normal, jamaah haji tentu menginginkan kemudahan dan harga ONH yang terjangkau, untuk tidak mengatakan murah. Namun karena hal ini menyangkut urusan ibadah yang kental dengan keyakinan pribadi dan subjektivitas, ketenangan serta harapan bahwa ibadah mereka sah tanpa beban kesangsian–lebih jauh lagi mabrur (diterima Allah)–, tampaknya lebih prioritas dibanding sekadar besaran biaya.
Kalau pun selama ini—barangkali–tidak ada warga yang gigih mempertanyakan dari mana asal dana manfaat yang dipakai untuk menutupi kekurangan BPIH setiap jamaah per tahun, bukan berarti tidak ada masalah di masyarakat tentang hal itu. Setidaknya, seiring makin lazimnya penggunaan media sosial (socmed) di masyarakat, pertanyaan-pertanyaan yang di masa lalu tidak mengemuka, perlahan mulai menyeruak. Misalnya, sudah ada kok yang ingin mengetahui lebih detil diputar ‘ke’ dan ‘di’ mana saja dana haji yang konon jumlahnya perputarannya lebih dari sekitar Rp 156 triliun itu.
Apalagi kemudian sempat muncul kabar yang membuat publik mereka-reka kemungkinan adanya penggunaan skema Ponzi dalam urusan BPIH ini. Mulai muncul kekhawatiran selisih yang disebut diambil dari ‘dana manfaat’ itu sebenarnya dibayarkan dari dana setoran jemaah yang belum berangkat, mereka yang waktu tunggunya mencapai puluhan tahun kemudian. “Apabila ini yang terjadi, apa bedanya dengan tragedi First Travel? Inikah money game dalam penyelenggaraan ibadah haji?” tulis motivatorJamil Azzaini dalam sebuah kolom di satu situs berita.
Sekadar mengingatkan, skema Ponzi adalah kemampuan untuk mengatur arus cash (cash flow) tanpa didukung underlying asset dan manajemen risiko yang baik. Selama masih ada dana baru (fresh money) yang masuk, maka piramida Ponzi ini akan tegak berdiri dan pemilik dana menikmati keuntungan. Dana segar dari nasabah baru inilah yang dipakai untuk membayar nasabah lama. Kondisi ini akan terus terjadi. Pendek kata, semakin banyak nasabah baru yang masuk, semakin kuatlah piramida itu. Sebaliknya, ketika nasabah baru tersendat, fondasi piramida pun goyah menuju tumbang.
Dalam sejarah,modus investasi palsu ini ‘ditemukan’ Charles Ponzi dari Italia, yang menjadi terkenal pada tahun 1920 karena menipu klien-kliennya sebesar 20 miliar dolar AS. Tetapi penjahat skema Ponzi terbesar justru berada di zaman kita. Dialah Bernie Madoff, yang pertengahan tahun ini meninggal setelah menyelewengkan harta klien-kliennya sebesar 65 miliar dolar AS. Madoff, yang terbongkar pada 2008 lalu, meninggal di penjara saat menjalani hukuman 150 tahun. Oh ya, kalau Jamil Azzaini khawatir, itu wajar. Di Indonesia, kita pernah dikejutkan pasangan pemilik First Travel, Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan, yang penipuan berkedok bisnis umroh mereka merugikan konsumen tak kurang dari Rp 500 miliar alias setengah triliun rupiah!
Menguatnya kerisauan publik soal BPIH ini pun bukan tanpa sebab. Dalam acara “Diseminasi Pengawasan Keuangan Haji” di Bandung, Oktober 2020 lalu, Ketua Dewan Pengawas BPKH, Yuslam Fauzi mengingatkan soal kian besarnya jarak antara biaya riil haji dengan setoran calon jamaah yang lebih kecil tersebut.
“Kalau ini berlaku terus, hati-hati, pada 2026 itu keuntungan yang ada tidak cukup untuk menutup ‘subsidi’ tersebut karena jarak semakin lebar,” kata Yuslam. Alarm yang dibunyikan Dewas BPKH itulah yang belakangan membuat Wakil Presiden Makruf Amin ikut bersuara, meminta agar dana bantuan BPIH tersebut kian diperkecil, untuk pada saatnya dihilangkan sama sekali.
Di kalangan pegiat perjalanan haji pun tampaknya sinyalemen soal skema Ponzi tersebut meruap kuat. Paling tidak berdasarkan pernyataan Ketua Forum Satu, Baluki Ahmad, saat ditanya harian Republika soal wacana pengurangan bantuan dana haji. Baluki mengatakan, hal itu akan merugikan jamaah yang berangkat belakangan, padahal uang mereka telah terpakai oleh jamaah yang berangkat pada tahun berjalan. Secara eksplisit—paling tidak berdasarkan tulisan Republika—Baluki mengatakan selama ini ‘subsidi’ yang diberikan itu merupakan uang jamaah lain yang belum diberangkatkan. Secara tegas ia juga mengatakan bahwa sistem haji reguler saat ini merupakan aturan yang sesungguhnya tidak menjadikan keadilan, tetapi terus saja berjalan.
Kalau pun sistem keuangan haji yang kini dikelola BPKH itu bebas dari skema Ponzi, dengan keharusan untuk menalangi dana sekian banyak, beban BPKH sebenarnya tergolong ‘gila’. Beban segila itu akan menekan dan memaksa BPKH untuk menghasilkan keuntungan sebanyak mungkin, seiring tuntutan untuk menghasilkan keuntungan investasi yang luar biasa besar.
Dengan beban dan tekanan sehebat itu, meski Dewas BPKH menegaskan optimisme seiring perolehan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama tiga tahun berturut-turut, plus sekian banyak sertifikasi yang menguatkan kredibilitas mereka, BPKH sangat rawan terpeleset. Paling tidak, tekanan untuk menghasilkan keuntungan besar itu akan meminggirkan kehati-hatian pada syar’i atau tidaknya sebuah investasi yang akan mereka gulirkan.
Dari sisi itu saja, Malaikat Pencatat akan mempertanyakan kualitas haji jamaah haji Indonesia yang berujung pada peluang mabrur tidaknya ibadah mereka. Itu hal yang jauh lebih utama banding setengah atau bahkan seluruh besaran dana ONH. [dsy]
*Pernah berhaji pada 1996, kini dalam antrean panjang untuk berhaji