Jika Wacana Hukuman Mati Berlanjut, AI Indonesia: Jaksa Agung Langgar Deklarasi HAM Universal
- Penelitian di banyak negara membuktikan hukuman mati tidak efektif memberantas korupsi.
- Di negara-negara dengan tingkat korupsi rendah, tidak ada hukuman mati untuk koruptor.
- Jadi, solusi terbaik pemberantasan korupsi adalah kepastian hukum.
JERNIH — Amnesti Internasional (AI) Indonesia secara tegas menentang hukuman mati untuk segala kasus, termasuk untuk korupsi, karena bertentangan dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Universal.
“Terlepas siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tak bersalah, metode eksekusi yang digunakan, hukuman mati adalah pelanggaran hak hidup,” kata Usman Hamid, direktur eksekutif AI Indonesia, saat ditanya wartawan soal wacana hukuman mati koruptor yang digagas Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Menurut Usman Hamid, berdasarkan penelitian yang efektif mengurangi tindak kriminal adalah kepastian hukum, bukan tingkat beratnya hukuman. Hukuman mati, lanjutnya, tidak terbukti menimbulkan efek jera.
Usman juga menyebut negara-negara yang tingkat korupsinya paling rendah berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi TII seperti Selandia Baru, Denmark, dan Finlandia, tidak menerapkan hukuman mati untuk koruptor.
Negara-negara yang menerapkan hukuman mati untuk koruptor, lanjutnya, seperti Tiongkok, Korea Utara, dan Iraq malah memiliki tingkat korupsi yang jauh lebih tinggi. Bahkan ada yang jauh lebih tinggi dari Indonesia.
“Karena itu, jika ingin menimbulkan efek jera dan memberantas korupsi, seharusnya Jaksa Agung dan aparat penegak hukum lainnya fokus memastikan semua pelaku korupsi dibawa ke pengadilan, bukan bermain retorika soal hukuman mati,” ujarnya.
Ia juga berpendapat ada keanehan jika pemerintah yang membiarkan KPK dilemahkan dengan pemberhentian 57 pegawai yang terbukti berprestasi dan berintegritas, malah mendukung pertimbangan hukuman mati yang diwacanakan Kejaksaan Agung. Karena menurutnya, hukuman mati terbukti tidak efektif sebagai solusi pemberantasan korupsi.
“Daripada sibuk dengan wacana hukuman mati, Kejaksaan Agung seharusnya fokus kepada banyak PR besar yang belum mereka selesaikan, misalnya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Tragedi Semanggi dan Trisakti,” lanjutnya.
Pengamat hukum Jamin Ginting mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia tidak akan pernah dapat melakukan hukuman mati terhadap koruptor, meskipun dalam Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan.
Ia beralasan, dalam penanganan kasus korupsi, Jaksa Agung seharusnya lebih mengutamakan pengembalian kerugian. “Penyelesaian kasus korupsi seharusnya fokus pada pengembalian aset, bukan penjatuhan hukuman,” ujar Jamin Ginting kepada wartawan.
Ia juga menyinggung penyitaan aset yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus Asabri dan Jiwasraya yang dinilai banyak salah sita aset sehingga tidak melindungi pihak ketiga yang beritikad baik.
“Penyitaan aset pidana bukan bertujuan untuk dikuasai atau dirampas, kecuali itu aset milik negara,” katanya.
Jamin juga mengkritisi masih maraknya kasus korupsi kakap yang justru masih mangkrak dan berpotensi conflict of interest. Padahal, lanjutnya, dengan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang cukup di Kejaksaan Agung, tidak perlu ada banyak kasus mangkrak.