Persona

Rangga Gempol III, Pangeran Temperamental, Musuh VOC dan Mataram dari Sumedang

Menurut Dr F.de Haan, dalam “Priangan Jilid I” , berbeda dengan Rangga Gempol II yang dibunuh Mataram dan berperangai lemah, Rangga Gempol III memiliki watak keras dan jiwa merdeka. Ia memiliki kebencian luar biasa kepada Kompeni. Itu yang membuat Rangga Gempol III menolak perintah Susuhunan Amangkurat II untuk ikut mengerahkan pasukan guna memerangi Trunojoyo. Seolah mendapatkan semangat Dipati Ukur di masa kekuasaan Sultan Agung, ia malah memilih untuk melawan Mataram.

JERNIH—Sejak meninggalnya Sultan Agung pada 1645, sejak itu pula bisa dikatakan Kerajaan Mataram mengalami kemerosotan. Para penggantinya tak ada yang secakap Sultan Agung. Yang mereka warisi hanyalah kekejaman, yang mungkin memang saat itu diperlukan Sultan Agung untuk menyatukan tanah Jawa.

Penggantinya, Pangeran Aryo Prabu Adi Mataram atau lebih dikenal sebagai Sultan Amangkurat I kian membuat Mataram tenggelam dalam intrik. Apalagi, Amangkurat I yang lemah malah dimanfaatkan Kompeni Belanda untuk makin menanamkan cakar mereka di Jawa. Caranya, Kompeni menawarkan diri untuk memerangi berbagai perlawanan yang timbul di berbagai daerah, terutama dari Pangeran Trunojoyo, dengan upah yang mencekik leher Mataram.  

Amangkurat I terkenal pendendam dan penuh curiga. Pada masa pemerintahannyalah, Mataram mengumpulkan para ulama dan keluarganya di alun-alun kerajaan. Ia curiga, para ulama tidak mendukungnya. Setelah keluar perintah langsung dari Amangkurat I, sekitar 5.000-6.000 ulama dan keluarga mereka dibantai di alun-alun. Banyak cerita menegaskan, pembantaian yang membuat alun-alun Mataram merah terguyur darah itu hanya berlangsung 30 menit saja.

Barangkali doa para ulama yang dizalimi itu pula yang membuat Amangkurat I mati dalam kondisi hina. Setelah Trunojoyo berhasil menyerang keraton Mataram, Amangkurat I mencoba melarikan diri, kabur dalam kondisi sakit-sakitan. Di daerah Tegal, manakala sakitnya kian parah, ia meminta putranya, Adipati Anom—kelak dikenal sebagai Amangkurat II, mencarikan kelapa muda untuk diminum.

Saat itulah, konon sebagaimana cerita dari banyak sumber sejarah, Adipati Anom meracun ayahnya sendiri. Sang anak masih ingat dan dendam, bagaimana ia dipaksa sang ayah untuk menikamkan keris ke dada kekasihnya sendiri, Rara Oyi, yang tak lain simpanan sang ayah yang saat itu menjadi raja.

Di masa kekuasaan Amangkurat II—yang dengan bantuan Kompeni kemudian mengalahkan Trunojoyo—daerah Priangan diserahkan Mataram kepada Kompeni. Penyerahan Priangan ke Kompeni serta berbagai sebab—antara lain karena para bupati Priangan yang datang tiap tahun kadang dipekerjaan untuk mencabuti rumput di taman atau alun-alun— membuat Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan, dari Sumedang, marah. Menurut Dr F.de Haan, dalam “Priangan Jilid I” , berbeda dengan Rangga Gempol II yang dibunuh Mataram dan berperangai lemah, Rangga Gempol III memiliki watak keras dan jiwa merdeka. Ia memiliki kebencian luar biasa kepada Kompeni. Itu yang membuat Rangga Gempol III menolak perintah Susuhunan Amangkurat II untuk ikut mengerahkan pasukan guna memerangi Trunojoyo. Seolah mendapatkan semangat Dipati Ukur di masa kekuasaan Sultan Agung, ia malah memilih untuk melawan Mataram.

Di masa Sultan Agung, wilayah Mataram telah dikondisikan sebagai pusat transmigrasi dan pertanian untuk logistik Mataram. Penerusnya, Amangkurat I melanjutkan kebijakan tersebut dan menempatkan penduduk dari Galuh dan Banyumas, di bawah pimpinan Kiai Singaperbangsa dan Kiai Wirasaba. Mereka dipusatkan tinggal di daerah Waringinpitu (tepi Citarum). Singaperbangsa tinggal di Udug-udug, sementara Wirasaba tinggal di daerah Adiarsa.

Karena merasa memiliki hal atas daerah Karawang, Rangga Gempol III melancarkan serangan ke sana untuk merebutnya. Singaperbangsa dan Wirasaba terdesak, hingga harus minta bantuan Kompeni ke Batavia. Akhirnya Singaperbangsa terbunuh, konon karena aksi Rangga Gempol III. Baru pada 1678, Kompeni berhasil membangun benteng di Tanjungpura, yang sangat meminimalisasi serangan Rangga Gempol III.

Rangga Gempol III kemudian bersekutu dengan penguasa Batulayang, Gajah Palembang, yang merupakan keturunan Dipati Ukur, untuk menyingkirkan para bupati Priangan yang pro-Mataram, seperti bupati Ciasem dan Pamanukan. Bupati lain yang kurang menyukai Rangga Gempol III akhirnya meminta perlindungan Kerajaan Banten. Di antara mereka termasuk bupati Bandung, bupati Parakanmuncang dan Sukapura, yang di zaman Sultan Agung termasuk para menak Sunda yang mengkhianati Dipati Ukur. Alasan Bupati Bandung, Wiraangun-angun, pergi ke Banten, kemungkinan merasa terancam oleh Gajah Palembang, yang diperkirakan akan berusaha merebut Bandung yang dulu dikuasai nenek-moyangnya, Dipati Ukur.

Pada 1678 itu Banten melancarkan serangan ke Sumedang, yang bisa dipertahankan Rangga Gempol III dengan baik. Ia malah berhasil menjadi penguasa seantero Priangan.  Rangga Gempol III bahkan berhasil memukul balik, melakukan serangan, antara lain dengan membumihanguskan Pamanukan.

Memanfaatkan situasi pertentangan para penguasa lokal, pada Agustus 1678 Kompeni mengirim Letnan Joachem Michels ke Sumedang untuk mengucapkan selamat atas keberhasilan menetralisasi serangan Banten, sekaligus membawa persenjataan sebagai hadiah.

Pada kesempatan itu, entah bagaimana alur pikirnya, Rangga Gempol III menuntut pengangkatannya sebagai raja. Michels menolaknya karena merasa tak berwenang. Penolakan itu membuat para utusan Kompeni ditahan di Sumedang. Itu yang membuat manakala Banten kembali menyerang Sumedang, Kompeni sama sekali tak memberikan bantuan apa pun.

Banten melakukan serangan langsung dengan kekuatan yang lebih besar. Sebelumnya mereka menghancurkan Ciasem. Bertepatan dengan hari raya Idul Fithri, pada 15 November 1678—ada yang menulis 18 November–, dengan dukungan Bupati Bandung Wiraangun-angun, pasukan Banten di bawah pimpinan Cilik Widara dan Cakrayuda—menantu Wiraangun-angun—dari Bali, menyerbu Sumedang.

Serangan yang dilakukan saat shalat Id itu tak berhasil ditahan. Sumedang pun banjir darah. Banyak korban berasal dari mereka yang berlindung di Masjid Tegalkalong. Sejak itu, bagi keturunan bupati Sumedang, tabu untuk bersembahyang Id di masjid pada hari Lebaran yang berlangsung ada hari Jumat.  [dsy]

Sumber : antara lain, “Pesona Sejarah Bandung”, M Ryzki Wiryawan.

Back to top button