Menurut naskah itu, pada 1615, Gerrit Rijnst mendarat di Jayakarta dan memberikan hadiah kepada ’Pangeran dari Jayakarta’. Tidak lama kemudian J.P. Coen juga mendarat di Jayakarta. Dia memberikan banyak hadiah kepada pangeran. Sebagai imbalannya, Coen meminta tanah yang luas di seberang Sungai Ciliwung. Inilah cikal bakal terbentuknya Batavia.
JERNIH– Keadaan masyarakat Tionghoa sebelum terbentuknya Batavia diketahui dari naskah “Kai Ba Lidai shji” atau bermakna ‘Kronologi (shji) generasi-generasi berturut-turut (lidai) yang membangun (kai) Batavia (ba)’.
Naskah ini disusun dalam bahasa Tionghoa klasik (dialek Hokkian) pada akhir abad ke-18. Sekurang-kurangnya ditulis sebelum 1820-an, namun penulisnya tidak diketahui.
Kemungkinan besar, cerita yang disajikan berlangsung antara tahun 1610 dan 1793, merupakan catatan para sekretaris kapiten Cina. Salinan dalam bahasa Tionghoa (dari Sukabumi, 1869) diterbitkan pada 1924 dan 1953. Sayang, salinan naskah asli hilang saat berlangsung pendudukan Jepang. Namun, naskah itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda hampir 100 tahun sebelumnya oleh H.W. Medhurst (1840).
Naskah berbahasa Belanda itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Adolf Heuken, sebagai bagian dari buku “Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta”, Jilid III (Yayasan Cipta Loka Caraka, 2001). “Kai Ba Lidai shji” menceritakan kejadian-kejadian umum dan administratif, disusun sesuai masa pemerintahan gubernur-gubernur jenderal dan kapiten-kapiten Cina.
Menurut naskah itu, pada 1615, Gerrit Rijnst mendarat di Jayakarta dan memberikan hadiah kepada ’Pangeran dari Jayakarta’. Tidak lama kemudian J.P. Coen juga mendarat di Jayakarta. Dia memberikan banyak hadiah kepada pangeran. Sebagai imbalannya, Coen meminta tanah yang luas di seberang Sungai Ciliwung. Inilah cikal bakal terbentuknya Batavia.
Pada masa itu, orang-orang berambut merah, yaitu Inggris, Prancis, Denmark, dan Swedia menjadi tahu bahwa Batavia merupakan aset penting. Mereka ingin menjadikannya markas besar. Begitu mendengar bahwa orang Belanda mengangkat Coen menjadi gubernur, orang-orang Inggris mengutus beberapa kapal untuk mengusir Coen. Namun, karena kesiapsiagaan armada Coen, rencana mereka kandas.
Pada 1619 ada perintah dari Belanda agar pasukan di Jayakarta merebut tanah di sekitarnya. Pasukan Coen berhasil mengalahkan pasukan pribumi. Segera Coen memindahkan kediamannya ke Jayakarta dan memerintahkan pendirian suatu kota yang dikelilingi parit dan tembok. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang Eropa merasa aman. [ ]
Ditulis Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya, wartawan ‘Mutiara’ pada masanya, dalam blog pribadi beliau