Crispy

Ormas Keagamaan, Garda Terdepan Cegah Radikal Terorisme

Organisasi Masyarakat (ormas) keagamaan menjadi garda terdepan dalam pencegahan penyebaran radikal terorisme, dengan memberikan vaksinanasi ideologi kepada umat, dengan menggaungkan nasionalisme pendekatan agama yang baik dan benar, serta menjunjung tinggi toleransi, serta ideologi Pancasila.

JAKARTA – Organisasi Masyarakat (ormas) keagamaan menjadi garda terdepan dalam pencegahan penyebaran radikal terorisme, dengan memberikan vaksinanasi ideologi kepada umat, dengan menggaungkan nasionalisme pendekatan agama yang baik dan benar, serta menjunjung tinggi toleransi, serta ideologi Pancasila.

Pasalnya, ideologi terorisme sebagai gerakan politik, kerap memanipulasi dan mendistorsi agama untuk mengganti ideologi negara dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus nasional.

Demikian diungkapkan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol R. Ahmad Nurwakhid, sebagaimana dalam rilis BNPT di Jakarta, Senin (14/2).

Nurwakhid menjelaskan, terorisme merupakan gerakan politik kekuasaan dengan memanipulasi dan mempolitisasi agama, bertujuan mengganti ideologi negara dengan ideologi transnasional. Selain itu, tidak ada kaitannya aksi radikal terorisme dengan agama apapun, karena bertentangan.

“Wataknya adalah intoleran terhadap perbedaan dan keberagaman, serta eksklusif terhadap perubahan,” ujarnya.

“Sikap eksklusif dan intoleran adalah watak dasar dari radikalisme, yang menjiwai semua aksi terorisme dan semuanya diawali oleh paham takfiri,” lanjutnya.

Bukti dari efektivitas peran ormas keagamaan dan tokoh agama dalam melakukan pencegahan atau kontra radikalisasi terutama di dunia maya, terlihat dari data indeks potensi radikalisme tahun 2019 yang berada di angka 38 persen.

Begitu terjadi pandemi Covid-9 awal tahun 2020, dalam survei yang dillakukan BNPT bulan Oktober-November 2020, indeks potensi radikalisme itu turun dari 38 menjadi 12,2 persen.

“Artinya apa? Salah satu faktor penurunan diakibatkan masifnya tokoh agama dan tokoh masyarakat moderat yang selama ini tidak aktif berdakwah di media sosial, menjadi aktif ikut berdakwah di berbagai platform media sosial,” kata dia.

Dalam survei Setara Institute, lanjut Nurwakhid, selama ini konten keagamaan intoleran dan radikal di media sosial atau dunia maya berada di kisaran lebih dari 67 persen, tapi sejak tahun 2021 jumlah itu terus menurun setelah diimbangi konten keagamaan moderat yang dilakukan oleh para ulama, kiai, guru, dan anak muda yang selama ini tidak aktif di media sosial.

Tindakan, watak dan aksi terorisme yang terjadi selama ini, tentunya sangat bertentangan dengan nilai agama dan nilai kearifan lokal bangsa yang sangat multikultural.

Tak lupa, Nurwakhid juga mengingatkan untuk terus meningkatkan upaya dan kewaspadaannya. Karena meskipun kelompok seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Islamiyah (JI), dan Jamaah Ansyorut Daulah (JAD) sudah dibubarkan dan menunjukkan tren penurunan pasca ditetapkannya Undang-Undang No.5 Tahun 2018, namun ideologinya masih tersisa dan mengintai siapapun yang lengah.

Penting kedepannya, untuk dibuat payung hukum atau peraturan yang melarang eksistensi setiap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Meskipun Pancasila sudah teruji dengan 15 kali pemberontakan yang gagal seperti PKI, DI/TII, PRRI-Permesta, RMS, dan lainya.

Nurwakhid mengajak seluruh seluruh staheholder untuk terlibat aktif memutus celah dikotomi antara bernegara dan agama, melalui kesiapsiagaan ideologi yang ditanamkan oleh para ulama, tokoh masyarakat, ormas, maupun pemerintah daerah.

“Khusus kepada semua anggota Mathla’ul Anwar sebagai ormas terbesar ke tiga di Indonesia untuk bersama melakukan perlawanan mencegah penyebaran radikal terorisme dan untuk menata umat merekat bangsa,” ujarnya saat menjadi narasumber pada acara Rakernas I Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, di Serang, Banten, Sabtu (12/2).

“Matha’ul Anwar bisa aktif terlibat melalui vaksinasi ideologi dengan menanamkan nasionalisme dengan pendekatan agama kepada umat, sehingga celah dikotomi antara bernegara dan agama hilang,” lanjut dia.

Back to top button