Dalam demokrasi yang mestinya dirayakan dengan kebebasan berfikir dan kemampuan artikulasi, yang kutemukan justru kuburan massal bagi pemikiran dan narasi kritis.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Bahkan belum tuntas kutuliskan satu alinea, matahari sudah di titik zenit.
Kata-kata tak mudah lagi mengalir dari hulu sungai syarafku. Pembuluh darah kata tersumbat di sekujur tubuh.
Banyak yang tak sanggup lagi kupikirkan, karena kian banyak hal berjalan di luar nalar. Pikiran yang menggenang lama-lama membeku, sulit mencair jadi tetesan kata.
Jadilah aku berjalan dalam kematian. Karena menulis aku ada, kehilangan kemampuan menulis adalah kematian sebelum mati. Sungguh miris.
Dalam demokrasi yang mestinya dirayakan dengan kebebasan berfikir dan kemampuan artikulasi, yang kutemukan justru kuburan massal bagi pemikiran dan narasi kritis. [ ]