Tentang Zelenskyy, setidaknya kita tak boleh meremehkan pilihan 73,22 persen rakyat Ukraina yang memilihnya. Itu kongruen dengan tidak bolehnya rakyat negara tetangga meremehkan pilihan kita kepada Gus Dur di masa lalu—yang seringkali dinisbatkan kurang bisa melihat. Atau sikap kita yang memilih Presiden Jokowi hingga dua kali. “Kita sedang membangun negara tanpa oligarki… Sebuah negara untuk 40 juta warga, bukan untuk seratus personal di halaman Forbes. Sebuah negara yang membantu bisnis, dan bisnis besar tidak hidup dengan mengorbankan anggaran negara,” kata Zelenskyy dalam pidatonya baru-baru ini.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Sejak penyerangan illegal Rusia terhadap Ukraina 24 Februari lalu, jagad maya Indonesia diramaikan para pengelu-elu (bahasa kekinian: komunitas hore-hore) Presiden Rusia, Vladimir Putin di satu sisi, dan perisak (pem-bully) Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy di sisi lain.
Putin diidentikkan sebagai persona gagah, tegas, berani, dan –terutama—penyayang kaum Muslim di negaranya. Sementara Zelenskyy hanyalah seorang komedian dengan sikap tak jelas, serta terutama, ia seorang Yahudi. Para pengelu Putin itu lupa (atau melupakan?) bagaimana Putin sejak masih kepala FSB—badan pengganti KGB–‘mengolah’ negara mayoritas Muslim, Cechnya, yang merdeka setelah kejatuhan Sovyet, hingga kini hanya menjadi negara ‘bawahan’ Rusia, dengan boneka yang ditaruhnya di kursi presiden negeri itu, Ramzan Kadyrov. Para pengelu juga lupa betapa politik dalam negeri Rusia begitu marak dengan aneka penyiksaan dan pembunuhan politik selama Putin berkuasa dengan mengakali dan mengubah Konstitusi. Kegagahan Putin dan politik ‘PR’-nya dengan merangkul Muslim, bagi kalangan ini cukup untuk memaafkan segala hal yang degil, bahkan kekejian dan kesalahannya yang terang benderang terhadap kemanusiaan, yakni menyerang negara merdeka dan berdaulat: Ukraina.
Sementara, bayangan komedi sebagai hanya dagelan ala Srimulat yang terbiasa ditonton, menjadikan Presiden Zelenskyy dipandang sebagai paria. Sementara jelas, tak ada informasi apa pun yang mereka pirsa tentangnya, kecuali bahwa ia seorang dari ras Yahudi. Apa salahnya menjadi seorang Yahudi, sebagaimana apa salahnya penulis dilahirkan sebagai orang Sunda, atau Anda memiliki marga sebagai seorang Batak?
Barangkali, dari sisi kita memang disesalkan, kalau saja benar, bahwa Zelenskyy pun pernah mendukung Israel. Tetapi, dengan melihat berbagai latar belakangnya, memang peluang dia untuk mendukung Israel itu tentu akan lebih besar dibanding mendukung Palestina. Bukankah justru pada sisi itu menjadi tanggung jawab kita untuk memberi dia informasi dan kesadaran betapa kejinya Zionisme? Pernahkah ‘kita’ mencoba mengajaknya bicara soal itu? Kalau memakai terma para da’i, Zelenskyy itu justru lahan dakwah yang potensial.
Mungkinkah, dan bolehkah? Kalau Santo Fransiskus dari Assisi sampai menyeberangi Sungai Nil pada 1219, ketika Perang Salib V berlangsung, untuk menemui Sultan Malik al-Kamil di kampnya di tepi seberang, seraya menawarkan perdamaian dan meminta Sang Sultan memeluk Kristen, dakwah kepada Zelenskyy sangat dimungkinkan dengan berbagai pranata diplomatik modern saat ini.
Tentang Zelenskyy, setidaknya kita tak boleh meremehkan pilihan rakyat Ukraina. Itu kongruen dengan tidak bolehnya rakyat negara tetangga meremehkan pilihan kita kepada Gus Dur di masa lalu—yang seringkali dinisbatkan kurang bisa melihat. Atau pilihan kita yang memilih Presiden Jokowi hingga dua kali.
Hebatnya, Zelenskyy itu terpilih dengan suara mutlak. Central Election Commission Ukraina mencatat, pada putaran kedua Zelenskyy memenangkan 73,22 persen suara. Adakah presiden kita pernah terpilih dengan suara sebulat itu kecuali almarhum Pak Harto?
Dan rakyat Ukraina bukanlah ‘kip zonder kop’, ayam tanpa kepala alias tak punya otak. Zelenskyy naik ke tahta presidensi Ukraina dengan kampanye memerangi korupsi dan menghancurkan oligarki, dan ia melakukannya dengan konsisten, bahkan dengan nekat.
Sekitar dua pekan lalu, Daria Kaleniuk, salah seorang pendiri dan direktur eksekutif Anti-Corruption Action Center Ukraina melarikan diri dari Kyiv dan muncul pada konferensi pers 1 Maret di Warsawa. Ia mengatakan,meskipun reformasi anti-korupsi Ukraina belum membawa oligarkinya ke pengadilan, kampanye transparansi akar rumput yang dimulai setengah dekade sebelumnya telah membuat Ukraina lebih transparan dan lebih sehat dari korupsi dan pengaruh oligarki.
“Inilah yang ditakuti oleh rezim otokratis Presiden Rusia Vladimir Putin,” kata Kaleniuk. “Jika gerakan anti-korupsi dan anti-oligarki bisa berhasil di Ukraina, itu juga sangat mungin berhasil di Rusia, negara dengan bahasa dan budaya yang nyaris sama,”tulis Kaleniuk bersama rekannya, Olena Halushka, dalam sebuah artikel di Foreign Policy yang terbit pertengahan Desember 2021, berjudul “Why Ukraine’s Fight Against Corruption Scares Russia”.
Setelah Revolution of Dignity memaksa presiden kleptokratis Viktor Yanukovych yang pro-Rusia melarikan diri dari Ukraina pada Februari 2014, gerakan anti-korupsi Ukraina melihat celah dan mendorong gerakan lebih keras.
Mereka menciptakan “arsitektur anti-korupsi” baru dengan mendigitalkan sebanyak mungkin informasi yang dikendalikan negara dan membukanya untuk publik. Basis data online dari real estat, kendaraan, tanah, dan daftar perusahaan, bersama dengan informasi pengadaan negara, mengurangi pemborosan dan mengurangi peluang korupsi.
Inisiatif lain, gerakan mengharuskan pegawai negeri untuk menyerahkan deklarasi aset elektronik setiap tahun, melaporkan pendapatan dan aset mereka dan anggota keluarga mereka. Sejak 2016, sekitar satu juta pegawai negeri telah mengajukan deklarasi tahunan, memberi wartawan dan penyelidik lain alat yang ampuh untuk mengungkap pejabat korup.
Para reformis di pemerintahan, kelompok sipil, dan mitra internasional juga menciptakan database publik nasional pertama Ukraina tentang orang-orang yang terpapar politik, kerabat mereka, dan rekan dekat. Per Desember 2021, basis data PEP (Politically Exposed Person) telah berkembang menjadi 48.000 individu dan lebih dari 30.000 badan hukum terafiliasi. “Lembaga keuangan Ukraina dan internasional, serta lembaga penegak hukum, menggunakan informasi ini untuk tindakan uji tuntas dan untuk menyelidiki transaksi mencurigakan,” kata Kaleniuk dan Halushka dalam artikel mereka.
Oh ya, mengapa sebuah negara yang berjuang untuk membersihkan korupsi memilih aktor dan komedian berusia 41 tahun sebagai pemimpin? Seperti dilaporkan Wall Street Journal, “Acara TV-nya “Servant of the People” menangkap suasana negara ketika program itu pertama kali ditayangkan pada tahun 2015. . . . Zelenskyy berperan sebagai guru sekolah rendah hati yang terus terang mengoceh di video tentang korupsi sehari-hari yang harus dihadapi banyak orang Ukraina. Klip itu menjadi viral, meluncurkan karir politik yang akhirnya mendorongnya ke istana kepresidenan.”
Setelah terpilih, tidak sebagaimana politisi pencitraan lainnya, Zelenskyy ngotot mensukseskan gerakan anti-korupsi dan anti-oligarki yang ia kampanyekan. Bila sebelumnya, pada 1990-an, pengadilan sering menjalankan perintah politik dan penyelidik atau hakim dengan bebas menerima suap, di zaman Zelenskyy para hakim bergidik. Mereka takut dicopot sebagaimana dialami dua hakim Mahkamah Konstitusi Ukraina Maret tahun lalu. Keputusan pemerintah yang ditandatangani Zelenskyy mengatakan, kedua hakim itu “mengancam kemerdekaan dan keamanan nasional Ukraina, yang melanggar konstitusi, hak asasi manusia dan hak-hak sipil, dan kebebasan,dan mengancam reformasi anti-korupsi Ukraina serta kepercayaan di Ukraina.”
Mei tahun lalu, Jaksa Agung Iryna Venediktova mendakwa anggota parlemen Ukraina yang diduga pro-Rusia, Viktor Medvedchuk, dengan “pengkhianatan tingkat tinggi karena memberikan informasi ke Rusia dan berusaha mencuri sumber daya nasional di Krimea”, yang dianeksasi Rusia pada tahun 2014. Medvedchuk adalah salah satu orang paling berkuasa di Ukraina, dan dia sering dicap sebagai oligarki oleh media Ukraina.
Gerakan anti-korupsi dan anti-oligarki ini berlanjut kian sistematis. Tahun lalu Zelenskyy mengajukan RUU baru ke parlemen yang menargetkan oligarki. RUU itu membidik oligarki Ukraina yang membangun ‘pengaruh politik, ekonomi, dan media’ dengan semena-mena. Dengan RUU itu Zelensky ingin membuat daftar resmi oligarki negara dan, antara lain, melarang mereka menyumbang, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada partai politik.
Namun ia tidak berhenti di situ. “Kita sedang membangun negara tanpa oligarki… Sebuah negara untuk 40 juta warga, bukan untuk seratus personal di halaman Forbes. Sebuah negara di mana negara sangat membantu bisnis dan bisnis besar tidak hidup dengan mengorbankan anggaran negara,” kata Zelenskyy dalam pidatonya baru-baru ini.
Jika RUU lolos, setiap orang yang memenuhi tiga dari empat kriteria berikut akan ada dalam daftar pemerintah:
• Keterlibatan dalam kegiatan politik
• Kepemilikan aset melebihi 2,2 miliar hryvnia (81 juta dolar AS)
• Pengaruh media yang cukup besar
• Menjadi penerima manfaat dari monopoli
Semua itu dilakukan Zalenskyy karena oligarki Ukraina telah membangun kerajaan bisnis yang luas dan jaringan kekuasaan sejak jatuhnya Uni Soviet dan kemerdekaan Ukraina. Mereka telah dituduh mengendalikan sebagian besar ekonomi negara dan memiliki pengaruh besar pada politik, ekonomi, dan masyarakat.
RUU yang diajukan Zelenskyy itu penting. Dalam sebuah pernyataan kepada wartawan Kyiv Post, ajudan kepala staf Zelenskyy, Mykhailo Podolyak, mengatakan bahwa RUU baru Zelenskyy penting karena sebelum VolodymyrZelenskyy, tidak ada seorang pun dalam politik Ukraina mencoba mengambil langkah seperti itu dengan keinginan membongkar sistem oligarki.”
Podolyak berpendapat, RUU itu diperlukan karena “Oligarki dan orang-orang yang berafiliasi dengan mereka telah lama memegang posisi khusus dalam politik dan ekonomi kita dan dapat memeras negara melalui mekanisme mereka dan merebut sumber daya publik.”
Zelenskyy juga tak kepalang tanggung. Ia juga mencabut kekebalan anggota parlemen sehingga politisi dapat dituntut atas kejahatan. Ia mensahkan apa yang disebut ‘undang-undang bank’, yang menghalangi oligarki Ihor Kolomoisky mendapatkan kembali kendali atas PrivatBank yang sekarang dinasionalisasi negara. Bank tersebut dinasionalisasi pada 2016 ketika penyelidikan menemukan kekurangan modal sekitar 5,65 miliar dolar AS.
Tentang invasi Rusia kepada Ukraina, Kaleniuk dan Halushka mengakhiri artikel mereka di Foreign Policy dengan permohonan bantuan dan laporan situasi terkini:
“Setelah mencoba melemahkan Ukraina melalui agresi militer dan hibrida, Putin sekarang mengancam invasi skala besar untuk menghancurkan negara itu—bukan hanya karena berhasil menjalani transformasi domestik yang komprehensif, tetapi yang lebih penting, karena berpotensi memicu reformasi demokrasi serupa Ukraina itu di Rusia.” [ ]
Dari berbagai sumber, di antaranya: