Bandingkan Logo Halal MUI dan Kemenag, Masuk Pidana
Sementara respon publik atas logo baru itu, memang menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal agar semakin masif mensosialisasikannya kepada masyarakat luas. Sedangkan terkait kepindahan kewenangan sertifikasi halal dari MUI ke Kemenag, Ahmad bilang menjadi titik baru dalam menciptakan ekosistem di Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
JERNIH-Baru juga mereda soal kumandang Adzan yang dianalogikan dengan gonggongan anjing oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, kini giliran logo halal yang baru dirilis Kementerian Agama menuai kontroversi.
Bukan cuma dianggap terjebak pada budaya Jawa, tapi juga tak mencerminkan ke-Islaman yang mengarah ke ranah pidana.
Ketua Law Enforcement Watch (LEW) Hudy Yusuf bilang, logo tersebut tidak terbaca sebagai kata halal tapi halaaka yang berarti malapetaka.
“Kalau halaaka artinya itu malapetaka dan ini masuk penistaan,” kata dia seperti dikutip dari JPNN.
Sah saja kalau logo hala dibuat seperti lambang wayang. Namun jika huruf yang disusun malah menjauhi makna aslina, ini yang jadi masalah.
“Lam dan Kaf itu memilik arti yang berbeda dalam tulisan halal. Coba baca google atau tanya ahli,” katanya melanjutkan.
“Itu kesengajaan atau kurang wawasan? Kalau kurang wawasan seyogianya belajar atau konsultasikan dahulu dengan ahlinya sebelum dipublikasi,” ujarnya.
Jika ada unsur kesengajaan membuat logo bertuliskan Halaaka seperti yang diduga, bisa saja pembuat label tersebut dikenai pasal penistaan agama. Dan sangat disayangkan adanya kekeliruan dalam pembuatannya padahal Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim.
“Jika menulis halal saja salah bagaimana nanti menguji halal haram suatu produk,” kata Hudy.
Di lain pihak, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta yang juga anggota tim penulis Qur’an mushaf Banten, Ahmad Tholabi Kharlie mengatakan kalau logo yang membentuk gunungan wayang dengan corak surjan serta logotype Halal Indonesia tidak ditujukan untuk kepentingan baca tulis, tapi lebih pada soal estetis.
Dia bilang, inilah yang menyebabkan aspek keterbacaan atau kejelasan tulisan jadi tidak dominan atas logo yang baru saja dirilis Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama.
“Terlebih, ini digunakan untuk logo yang juga mempertimbangkan aspek kepantasan, keserasian, dan keindahan,” ujar dia.
Ahmad melalui laman Kementerian Agama yang diposting pada Senin (14/3) lalu bilang, logo tersebut menggunakan Khat Kufi. Sementara logo halal milik Majelis Ulama Indonesia menggunakan jenis Khat Naskhi.
Ahmad yakin betul kalau dari sisi kaidah Khat maupun Imla’i tak ada yang keliru dalam penulisan logo itu. Semua huruf tertulis lengkap. Hanya saja, secara kaidah khat, model huruf yang dipakai Kemenag tidak rigid.
“Meskipun tidak sempurna untuk ukuran khat Kufi yang ideal,” kata Ahmad menerangkan.
Sementara respon publik atas logo baru itu, memang menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal agar semakin masif mensosialisasikannya kepada masyarakat luas. Sedangkan terkait kepindahan kewenangan sertifikasi halal dari MUI ke Kemenag, Ahmad bilang menjadi titik baru dalam menciptakan ekosistem di Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
“Salah besar jika membuat narasi bahwa MUI tidak lagi berperan dalam sertifikasi halal. Dalam Pasal 10 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebutkan BPJPH dan MUI melakukan kerja sama dalam penetapan kehalalan produk,” kata dia.[]