Isu Jilbab dan Masa Depan Prancis
- Macron dan Le Pen dihadapkan pada pertanyaan wanita berjilbab.
- Le Pen membela posisinya. Macron mengatakan jawaban wanita berjilbab membantah omong kosong Le Pen.
JERNIH — Jilbab Muslimah menjadi pusat perhatian kampanye kepresidenan Prancis sejak Jumat, atau ketika dua finalis; petahana Emmanuel Macron menghadapi kandidat sayap kanan Marine Le Pen.
Pemilihan putaran kedua akan digelar 24 April. Hari-hari sebelum pemilihan akan diwarnai kesibukan kampanye kedua calon terakhir, dan Muslimah Prancis bertanya-tanya mengapa busana mereka menjadi isu politik.
Le Pen, yang menantang Macron, mengatakan akan melarang jilbab di depan umum. Wanita yang melanggar terkena denda.
Macron tdiak memiliki rencana itu, tapi pemerintahnya menutup beberapa masjid dan kelompok-kelompok Islam yang dituduh memupuk opini radikal.
Prancis adalah rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa Barat. Banyak Muslim merasa kapanye presiden menstigmatisasi iman mereka secara tidak adil.
Pada putaran pertama 70 persen Muslim Prancis memilih Jean-Luc Melencheon, yang berada di posisi ketiga. Melencheon menjadi satu-satunya calon presiden Prancis yang dianggap tidak menstigmatisasi iman Islam.
Di sebuah kota di selatan Prancis, seorang wanita berjilbab mendekati Le Pen ketika kandidat itu lewati di depan penjual ikan dan pendukungnya menyambut. Wanita berjilbab itu bertanya; “Apa yang dilakukan jilbab dalam politik.”
Le Pen bertahan pada posisinya dan menjawab; “Jilbab adalah seragam yang dikenakan orang-orang yang memiliki visi radikal tentang Islam.”
“Itu tidak benar,” kata wanita itu. “Saya memakai jilbab ketika saya menjadi tua. Bagi saya, jilbab adalah simbol seorang nenek.”
Dialog terhenti ketika pendukung Le Pen menyerbu dan memisahkan sang calon presiden dengan wanita berjilbab itu.
France24 menulis ayah wanita berjilbab itu bertugas di militer Prancis selama 15 tahun.
Sikap Le Pen terhadap jilbab merangkum apa yang dikatakan pengkritiknya betapa putri Jean Marie Le Pen ini berbahaya bagi persatuan Prancis. Le Pen menstigmatisasi Muslim Prancis.
Le Pen juga memangkas imigrasi dan ingin melarang rumah potong hewan untuk Muslim. Jika ini dilakukan Prancis secara resmi membatasi akses Muslim dan Yahudi ke daging halal dan kosher.
Pilihan dan Kewajiban
Macron juga memperdebatkan seorang wanita berjilbab pada Jumat, dalam diskusi yang ramai di Franceinfo. Sara El Attar, wanita itu, mengatakan merasa terhina oleh komentar Macron yang mengatakan jilbab mengacukan hubungan antar pria dan wnita.
Wanita Prancis, kata El Attar, dihukum beberapa tahun terakhir karena syal sederhana tanpa ada pemimpin yang berkenan mencela ketidak-adilan ini.
Ia juga mengulang argumen yang dibuat banyak wanita bercadar di Prancis. Bahwa, orang secara keliru mengira mereka bercadar bukan karena pilihan pribadi tapi karena pria memaksa mereka mengenakan jilbab.
Macron berusaha mempertahankan rekornya dengan mengatakan; “Bagi saya pribadi, pertanyaan tentang jilbab bukan obsesi.”
Para kritikus mengatakan pemerintah Macron memicu prasangka buruk terhadap Muslim, ketika menindak apa yang diklaim sebagai upaya umat Islam mengukir ruang di Prancis.
Selama memerintah, Macron menutup beberapa sekolah, masjid, dan asosiasi Islam. Tentu saja dengan lebih dulu menuduh mereka radikal.
Awal pekan ini, Macron ditantang seorang wanita yang mengenakan jilbab di Strasbourg. Wanita itu bertanya apakah dia menganggap dirinya seorang feminis.
Macron bertanya kepada wanita itu; “Apakah kamu memakai jilbab karena ingin atau karena wajib?” Wanita itu menjawab; “Mengenakan jilbab adalah pilihan saya.”
Macron melanjutkan; “Itu penting.” Sebab, masih menurut Macron, meminta seorang wanita berjilbab bertanya kepada saya apakah saya seorng feminis adalah jawaban terbaik untuk semua omong kosong yang kami dengar dari Le Pen.