Myanmar Memulai Tahun Ajaran Baru, Ruang Kelas Jadi Medan Tempur Melawan Junta
- Orang tua murid di Myanmar menghadapi dilema. Membawa anak ke sekolah atau tidak.
- Membawa anak ke sekolah akan dicap pro-junta militer oleh rekan mereka yang anti-militer.
JERNIH — Pekan ini Myanmar memulai tahun ajaran baru, dan ruang kelas dipastikan menjadi medan pertempuran baru yang melibatkan guru, siswa, dan orang tua murid, melawan pemerintahan junta militer.
Pada pekan pertama kudeta, Februari 2021, guru sekolah negeri menggelar protes dengan mengenakan — sesuai perintah Kementerian Pendidikan — seragam hijau dan putih.
Kini, enam belas bulan kemudian, junta militer mencoba merayu pendidik masih mogok mengajar dengan mengatakan tidak akan menjatuhkan hukuman atas ketidak-hadiran mereka di depan siswa.
Junta militer akan mempertimbangkan mereka yang mogok sedang cuti di luar tanggungan. Namun, kembali ke sekolah tetap saja berisiko bagi keselamatan para guru yang mobok mengajar.
Junta militer berusaha keras menghancurkan perlawanan di seluruh Myanmar. Pejabat tingkat rendah yang dianggap bekerja sama dengan junta militer menjadi sasaran teror dan pembunuhan.
Ruang kelas juga tidak lagi terisi penuh, karena siswa — terdorong atau terbujuk rekan-rekanya — memilih bergabung dengan Tentara Pertahanan Rakyat (PDF).
Wan Wah Lin, guru sekolah menengah di Sagaing berusia 35 tahun, mengaku kehilangan banyak siswa. Ia juga dipaksa meninggalkan desa setelah menolak bergabung dengan aksi mogok guru tahun lalu
Kini, Wan Wah Lin hidup dalam tekanan PDF. Ia dituduh sebagai informan militer, dan diintimidasi.
Ia masih mengajar sekitar 40 siswa di sekolah darurat di dekat satu biara. Milisi pro-junta militer berjaga di luar, memberi perlindungan saat tidak ada pasukan keamanan reguler.
“Kami khawatir karena PDF mengancam guru yang tidak mogok mengajar,” katanya.
Save the Children, sebuah badan amal, mengatakan setidaknya terjadi 260 serangan ke sekolah antara Mei 2021 dan April 2022. Hampir 70 persen serangan berupa ledakan di dalam dan luar gedung sekolah.
Di Naypyidaw, ibu kota baru Myanmar, orang tua tiba dengan berjalan kaki atau sepeda motor untuk menurunkan anak-anak mereka di gerbang sekolah.
Kepala sekolah, enggan disebut namanya, mengatakan terjadi peningkatan pendaftaran sebesar 30 persen dibanding tahun lalu.
“Kami tidak terlalu khawatir tentang keselamatan di Naypyidaw dibanding daerah lain,” katanya. “Di sini, pasukan keamanan berjaga-jaga di luar sekolah.”
Bagi Moe Aye, pendidik di Yangon yang masih mogok, pekan ini menandai tahun ke-10 kariernya sebagai pengajar.
“Satu hal yang saya rindukan adalah mengenakan seragam putih dan hijau,” katanya kepada kator berita AFP.
Kini, Moe Aye mengajar secara pribadi. Ia mengunjungi rumah orang tua yang menjauhkan anak-anaknya dari lembaga pendidikan yang dikelola junta.
Guru lain, yang juga mogok mengajar, memberi pelajaran lewat video yang disampaikan melalui aplikasi Telegram. Namun, dengan akses Internet di sejumlah wilayah secara teratur diblokir, dan pemadaman listrik bergiliran, pembelajaran online menjadi tidak merata. Situasi ini membuat orang tua murid dan guru frustrasi.
Banyak orang tua yang menentang junta khawatir akan masa depan pendidikan anak-anak mereka. Mereka juga tidak tahu apa yang terjadi satu tahun lagi jika anak-anak mereka mengejar pendidikan di luar sistem formal.
Konflik bersenjata menempatkan orang tua murid dalam dilema. Membawa anak mereka ke sekolah yang dikelola junta akan membuat mereka diasingkan tetangga yang anti-militer.
Jika mereka harus terus berjuang melawan militer, anak-anak mereka terancam tanpa pendidikan.
Di rumah-rumah, orang tua juga terpecah dalam perbedaan tajam. “Saya tidak ingin mengirim anak saya ke sekolah, tapi suami saya saya menginginkan sebaliknya,” kata seorang ibu yang minta namanya tidak disebut.
Si ibu melanjutkan; “Kita tidak bisa terus menunggu ketika kita tidak tahu berapa lama revolusi ini berlangsung.”