Rumah Demokrasi Dukung Perppu Sinkronkan Jadual Pilpre, Pileg dan Pilkada 2024
“Partai politik baru dengan caleg-calegnya dapat berkampanye intens di media sosial sejak dini. Dengan Peraturan KPU yang jelas, maka partisipasi individual di ruang media sosial bukanlah kampanye liar atau illegal,”kata dia.
JERNIH—Kesepakatan pemerintah dan penyelenggara pemilu mengurangi durasi kampanye menjadi 75 hari belum menuntaskan persoalan seputar Pemilu 2024. Pasalnya, selain masih ada pihak yang belum sepakat dengan pengurangan durasi itu, asumsi bahwa durasi yang lebih sempit dapat menguatkan sisi integrasi bangsa dan efisiensi pembiayaan pun sebenarnya tidaklah tepat.
Demikian antara lain yang dikemukakan Pimpinan Rumah Demokrasi, Ramdansyah, dalam pernyataan pers yang kami terima Senin (6/6) sore. Ramdhansyah mengatakan, Rumah Demokrasi menganggap durasi masa kampanye tidak berkaitan langsung dengan potensi konflik yang muncul. “Setiap bentuk kontestasi politik berpotensi membelah masyarakat. Ini adalah sesuatu yang given dalam proses demokrasi,”kata mantan Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta tersebut.
Pembelahan politik, kata Ramdansyah, tidak serta merta dapat dihilangkan dengan jadwal kampanye yang singkat, sebab akar permasalahannya berbeda. “Karenanya, partisipasi politik personal dalam bentuk kampanye tidak formal harus diberi ruang yang lebih luas dalam bentuk Peraturan KPU. Masyarakat umum dapat berinteraksi tentang keberadaan partai politik baru, para calegnya dan preferensi calon presiden yang diusung. Partai politik lama dan baru dapat mensosialisasikan partai, para calegnya dan Capresnya di media sosial dengan durasi yang tidak terbatas waktu,”kata mantan Sekjen Partai Idaman dari 2015 sampai 2018 itu.
Ramdansyah menunjuk, tidak adanya dampak signifikan antara durasi kampanye dengan hasil Pemilu pernah diungkap Costas Panagoulos (2013) dalam penelitiannya tentang lama masa kampanye pemilihan DPR di Amerika Serikat tahun 1994 dan 2006. Betul, ada sedikit keuntungan dari petahana karena pemilih akan memilih orang yang dikenalnya, tetapi biaya yang dikeluarkan petahana sangat besar untuk menjaga citra dan keakraban petahana.
“Keuntungan petahana ini dapat dikalahkan oleh caleg pendatang baru, tetapi cukup dikenal oleh pemilih yang berasal dari daerah pemilihan itu sendiri. Apalagi kecenderungan umum kampanye dengan pengerahan massa, tentunya tidak berpotensi untuk merubah pandangan pemilih,”kata dia. “Justru eskalasi akan meningkat di kalangan Caleg petahana ketika terjadi kampanye singkat.”
Untuk itu Rumah Demokrasi meminta KPU RI untuk membuat definisi yang jelas terkait aktivitas kampanye media sosial. Dia yakin, keberadaan internet dan media sosial dengan partisipasi politik personal tentunya dapat mendorong prinsip keadilan bagi partai politik baru.
“Partai politik baru dengan caleg-calegnya dapat berkampanye intens di media sosial sejak dini. Dengan Peraturan KPU yang jelas, maka partisipasi individual di ruang media sosial bukanlah kampanye liar atau illegal,”kata dia.
Untuk itu, kata dia, ruang kebijakan terbuka tentang durasi kampanye tentunya harus mengacu pada Pasal 276 ayat (1) UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan bahwa Kampanye Pemilu dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan Kampanye Pemilu kepada umum dan pemasangan alat peraga di tempat umum dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah ditetapkan Daftar Calon Tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD. Sementara kampanye iklan media massa cetak, elektronik, internet dan rapat umum dilakukan selama 21 hari yang diatur dalam Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu. “Peraturan KPU RI yang akan dibuat sebagai peraturan teknis harus singkron dengan UU Pemilu tersebut,”kata Ramdansyah.
Ia juga mewanti-wanti agar kebijakan untuk mempersingkat masa kampanye tentunya tidak mengabaikan kepastian dari Pemilu. “Pemilu itu adalah pasti dalam proses, tetapi tidak pasti dalam hasil. Pengurangan masa kampanye yang mengerucut menjadi 90 atau 75 hari tentunya harus memberikan kepastian proses pelaksanaan Pemilu 2024,”kata dia.
Kepastian itu sendiri menurutnya mencakup; pertama, sengketa Tata Usaha Negara Pemilu yang membutuhkan waktu untuk inkracht. KPU dan Bawaslu dalam posisi juga harus menunggu Putusan Pengadilan Tata usaha negara, yang sangat mungkin menambah jumlah Calon dan mempengaruhi desain surat suara.
Kedua, terkait percetakan surat suara yang terpusat hanya di beberapa titik. Di saat yang bersamaan antara masa kampanye juga sedang berlangsung pencetakan dan pendistribusian surat suara yang menunggu Putusan Inkracht pengadilan ada atau tidaknya tambahan Calon.
Ketiga, distribusi Surat suara dan formular rekap suara. Pendeknya masa kampanye 90 atau 75 hari harus mempertimbangkan distribusi surat suara dan alat perlengkapan lainnya selama tengat. Jangan sampai terjadi penundaan Pemilu yang disebabkan belum sampainya perangkat tersebut di sejumlah pelosok daerah.
“Tiga persoalan penting tersebut harus ada jalan keluar dalam bentuk Contigency Plan. Karena pemilu di negara manapun, penyelenggara harus punya jalan keluar ketika terjadi persoalan,”kata dia. [rls]