Solilokui

Bila Tidak Hati-hati, Pemerintah Bisa Terjebak Islamofobi

Khilafah bahkan bisa disebut istilah ‘generik’ Islam manakala berbicara tentang kekuasaan dan politik. Istilah itu mulai memiliki arti peyoratif—pergeseran makna menjadi lebih rendah, lebih buruk, lebih menghinakan—justru tampaknya sejak 2014, manakala kampanye anti-radikalisme dimulai.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Penangkapan Abdul Qadir Baraja, pemimpin organisasi massa (Ormas) Khilafatul Muslimin yang telah sedemikian renta, ringkih dan tua, dengan tudingan sementara yang potensial mengarahkan dirinya kepada tuduhan makar, dianggap banyak kalangan masyarakat berlebihan. Baraja yang kemudian dijerat dengan Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan dan Undang-undang Peraturan Hukum Pidana, yang pasal-pasalnya memungkinkan hukuman penjara 20 tahun, lebih membuat tindakan Kepolisian itu terasa over-kill, berlebihan. Lebay, kata anak muda sekarang.   

Darmawan Sepriyossa

Kesan berlebihan, yang wajar mengarahkan pandangan publik bahwa ada sikap paranoia pemerintah terhadap (kalangan) Islam itu datang dari beragam fakta yang muncul susul-menyusul di media massa. Misalnya, ternyata konvoi sosialisasi khilafah yang dipersoalkan dan memantik penangkapan itu telah dilakukan rutin empat bulan sekali, sejak empat tahun lalu. Atau, nama yayasan yang tampak membangkitkan alergi pemerintah itu pun ternyata nama resmi yang mendapatkan izin dari Kementerian Hukum dan HAM, sejak 2014. Sementara sayap pendidikan kelompok itu sudah memiliki banyak sekolah, tersebar di 18 wilayah, dan hubungan mereka dengan masyarakat setempat tergolong ‘baik-baik saja’.

Wajar bila seorang pengamat terorisme dan pergerakan Islam, Al Chaidar, kemudian menyebut penangkapan Baraja itu bisa jadi cerminan sikap pemerintah yang paranoid terhadap apa pun yang menggunakan istilah khilafah. “Problemnya di rezim sekarang, saya kira terlalu paranoid, terlalu tidak suka, terlalu islamophobia terhadap ide-ide khilafah itu,”kata Al Chaidar.

Padahal, dengan bukti bahwa sejak berdiri di tahun 1997 pun kelompok itu tak melakukan hal-hal yang mengancam keamanan,“Seharusnya dibiarkan saja,” katanya. Dia melihat, meski menggunakan istilah khilafah, Khilafatul Muslimin memiliki perbedaan jauh dengan pemahaman ormas HTI, ISIS, maupun NII, yang sejak lama menjadi momok pemerintah.  

Menurut penulis, pemerintah sudah harus mulai mewaspadai langkahnya sendiri dalam kampanye pemberantasan radikalisme di masyarakat. Kalau pun ada tujuan mulia di balik semua itu, pada saat ini posisi pemerintah sudah nyaris berada di tubir batas, yang rentan membuatnya justru terkesan memiliki alergi terhadap (ajaran) satu agama.

Kritik public selama ini juga mengesankan bahwa mereka melihat ada langkah-langkah pemerintah, yang seolah lebih memasung pikiran warga dibanding apa yang terjadi di masa-masa Orde Baru—rejim yang selalu dikesankan layak menjadi ikon tirani dan otoritarianisme. Karena itu, harus dijaga jangan sampai pemerintah terjebak melakukan langkah tidak simpatik yang memantik kesan sikap Islamofobi. Hal yang tak elok dilakukan karena salah waktu dan sett-back, sementara di dunia pun sudah tak laku, seiring kampanye PBB yang menjadikan tanggal 15 Maret sebagai Hari Anti-Islamofobi.

Dua contoh yang diambil acak ini menegaskan hal itu. Di masa lalu, orang memandang biasa manakala Jawa Pos menggelar debat publik “Polemik Agama-agama Pasca-Ideologi” yang berlangsung tidak kurang dari tiga bulan lamanya. Polemik hangat di tahun 1990 yang melibatkan Dr Arief Budiman, Dr Kuntowijoyo, Dr M Amien Rais; YB Mangunwijaya, aktivis Maksum dan Emha Ainun Nadjib itu terjadi di era setelah Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal serta menjadi landasan ideologi setiap partai politik dan organisasi apa pun yang hidup di Indonesia.  

Pada puncak era Soeharto, 1980-an, sebuah tulisan Mr Mohammad Roem–elit Partai Masyumi yang dibubarkan dan dilarang pemerintah– di majalah Panji Masyarakat no 379/1982 tentang pemikiran negara Islam, memantik korespondensinya dengan Nurcholis Majid. Belakangan polemik itu melibatkan pula Amien rais dan Syafii Maarif. Korespondensi itulah yang kemudian diterbitkan sebagai sebuah buku “Tidak Ada Negara Islam” oleh penerbit Djambatan pada 1997.

Meski judulnya soft, pertukaran ide tentang negara Islam di Panji Masyarakat dan kemudian di buku tersebut, cukup tajam. Namun yang pasti, keduanya terjadi di masa-masa yang dalam pikiran anak muda saat ini mungkin dianggap sebagai puncak era keterkungkungan pemikiran warga masyarakat Indonesia.

Semua itu bisa terjadi karena—sebagaimana pendapat Emha dalam polemic tersebut—“Islam memandang setiap benda dan peristiwa dalam hidup tak pernah merupakan benda mati (dimandekkan oleh objectivitas), apabila kita tahu titik koordinatnya di tengah ruang dan waktu yang tak terhingga.” Pandangan itu sesuai dengan pemikiran filsuf Yunani kuno, Herakleitos tentang panta rei. Helakleitos menganggap tak ada—dan makanya tak harus ada—kejumudan di dunia ini. Semua (harus) mengalir, (karena) segalanya pun berubah.   

Perlu disadari semua pihak bahwa salah satu kekuatan terbesar Islam itu adalah keleluasaan—bahkan nyaris menjadi kewajiban—untuk berijtihad. Ijtihad telah menjadikan Islam agama yang selalu bisa sesuai—bukan menyesuaikan diri– dengan kondisi tempat, ruang dan waktu. Dari dulu hingga kemudian nanti. Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Amr bin Ash, tercatat sebagai hadits no 6.805 dalam “Sahih al-Bukhari “dan no 1716 dalam riwayat Muslim, menegaskan bahwa bila ijtihad seseorang benar, ia mendapatkan dua pahala. Bila salah pun, tidak berdosa, ia mendapatkan satu pahala.

Dorongan untuk berijtihad itulah yang membuat terbangunnya mazhab-mazhab fikih, mulai dari Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali, yang memperkaya khazanah pemikiran Islam, termasuk dalam pemikiran siyasah (politik).

Istilah khilafah

Dalam khazanah Islam, terma atau istilah ‘Khilafah’’ adalah hal wajar dan biasa. Lumrah, dan Muslim yang sedikit berpendidikan pun tak akan terbawa untuk berinterpretasi ‘buruk’.

Khilafah bahkan bisa disebut istilah ‘generik’ Islam manakala berbicara tentang kekuasaan dan politik. Istilah itu mulai memiliki arti peyoratif—pergeseran makna menjadi lebih rendah, lebih buruk, lebih menghinakan—justru tampaknya sejak 2014, manakala kampanye anti-radikalisme dimulai.

Al-Quran menyebut tentang pemberian khilafah dari Tuhan kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih sebagai berikut : “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih, bahwa Ia akan memberikan khilafah (menggantikan penguasa-penguasa yang ada) kepada mereka di muka bumi sebagaimana Ia telah memberikan khilafah itu kepada orang-orang sebelum mereka.” (QS 24:55).

Dalam “al-Khilafah wal Mulk (Khilafah dan Monarki)”, diteruskan dalam “Islamic Law and Constitution”, mujtahid besar Islam, Abul Ala Maududi, mengatakan  bahwa  ayat itu, selain mengandung arti fundamental bahwa Islam menggunakan “khilafah” (pengganti)  sebagai kata kunci–bukannya kata kedaulatan atau yang lain–kekuasaan untuk mengatur bumi, untuk memakmurkannya, untuk mengelola negara dan untuk menyejahterakan masyarakat itu dijanjikan kepada “seluruh masyarakat beriman”. Bukan kepada seseorang atau suatu kelas tertentu.

Konsekuensi logis dari pengertian tersebut, seluruh orang beriman menjadi tempat bersemayamnya (repositories) khilafah. Dus, khilafah diberikan oleh Tuhan kepada kaum mukminin secara menyeluruh, tidak terbatas pada keluarga tertentu, kelas tertentu, suku tertentu atau ras tertentu. Dengan pemikiran tersebut, wajar bila Maududi tergolong pemikir anti-monarki, apalagi yang absolut. Menurut Maududi, dalam suatu masyarakat yang setiap orang menjadi khalifah Tuhan dan menjadi partisipan sederajat dalam khilafah, setiap perbedaan kelas yang didasarkan pada keturunan dan posisi sosial sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Dalam khilafah versi Maududi, Islam tidak memberikan kesempatan bagi berlangsungnya suatu kediktatoran karena setiap orang adalah khalifah Tuhan. Tidak ada seseorang atau sekelompok orang berhak menjadi penguasa mutlak dengan menghilangkan hak khilafah rakyat. Seseorang yang ditunjuk oleh rakyat untuk mengelola urusan pemerintahan berarti bahwa ia mendapat tugas-tugas administratif yang harus dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat, tidak lebih dari itu.

Tetapi karena banyaknya variasi pemikiran soal khilafah dari banyak mujtahid Muslim, tak susah untuk mencari pemahaman lain, bahkan yang berlawanan diametral dengan Maududi. Pemikir Muslim asal Pakistan, Mohammad Iqbal, misalnya, dalam pemikirannya tentang khilafah lebih memilih konsensus ketimbang aturan mayoritas sebagai cara mengesahkan kepemimpinan. “Ide persetujuan universal adalah, dalam kenyataannya, prinsip fundamental dalam teori konstitusional Muslim,”katanya. Bagi Iqbal, konsensus memberi kepemimpinan keleluasaan yang lebih besar dan menegaskan kesatuan komunitas; konsensus mengeliminasi persoalan minoritas dengan mengabaikan mereka.

Lain lagi dengan Sayyid Qutb, salah seorang tokoh penting Ikhwanul Muslimun yang gugur di tiang gantungan Gamal Abdul Nasser. Sebagaimana pemahaman yang banyak dipegang saat ini tentang khilafah, konsep pemerintahan ideal menurut Quthb adalah pemerintahan Supra Nasional. Dalam sistem ini, wilayah negara meliputi seluruh dunia Islam dengan sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat yang dikelola atas prinsip persamaan penuh antara semua umat Islam yang terdapat di seluruh penjuru dunia Islam. Sama dengan pemahaman khilafah secara umum saat ini.

Namun, meski mengesankan sikap keras dan skripturalis, laiknya Ibnu Taimiyah yang menjadi rujukannya, Qutb terkesan ganjil dalam satu kenyataan.  Ia tak pernah menyarankan bahwa lembaga-lembaga negara Madinah harus dihidupkan kembali setelah tiga belas abad kemudian. Sesuatu yang dalam pikiran seorang skeptis modern didikan Barat, pasti tertuju kepadanya. Hanya, sebagaimana dikatakan William E. Shepard, professor University of Canterbury, Selandia Baru, dalam bukunya “Sayyid Qutb’s Doctrine of Jāhiliyya”, Qutb sangatlah meyakini Islam sebagai suatu sistem yang menghasilkan segala penyelesaian. Tentang kolaborasi dalam syura, Quthb mengatakan, “Tidak ada metode khusus yang telah ditentukan.”

Masih banyak lagi pemikiran mujtahid lain di dunia Islam, terkait kekuasaan dan khilafah.  Bahkan, bagi Joseph Schacht dan G.E. Bosworth, dalam “The Legacy of Islam”, yang diterbitkan  Oxford At the Clarendo Press 1974, Indonesia pun mengambil ijtihad dalam praktik kenegaraannya. Indonesia, kata para penulis, “… menampakkan diri di dunia sebagai bangsa Islam (Islamic State) dan bahwa sekaligus pula Islam Indonesia itu bukan semata-mata atau kurang lebih sebuah kopi paste Islam  mana pun.. Islam di Indonesia adalah ia sejalan (pararel), malah dapat dibandingkan dengan kejadian-kejadian dan situasi yang berlangsung di lain-lain bagian di dunia Islam, termasuk negara asalnya…”

Itulah Islam yang dicontohkan para founding fathers negeri ini. Para founding fathers, yang karena kecintaan mereka akan persatuan, yang menghindari perpecahan seperti yang dianjurkan agama mereka itu, memilih bersetuju menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta,”…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Menurut Menteri Agama di 1970-an, Alamsyah Ratu Perwiranegara, Pancasila itu hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia, karena kecintaan yang teramat besar dan agung. Kecintaan yang akan senantiasa lestari selama negeri ini maujud.

Alhasil, tidak pada tempatnya seolah memusuhi umat Islam, rakyat kita sendiri. Senyampang itu, sudah pada tempatnya bila pemerintah berhati-hati menjalankan program kampanye anti-radikalisme. Silap dalam melangkah, gerakan anti-radikalisme bisa berubah menjadi gerakan pembusukan pemerintah dari dalam, oleh mereka yang ingin mendiskreditkan pemerintah di mata umat Islam.  [dsy]

Check Also
Close
Back to top button