Solilokui

Nasib Dunia Survei Indonesia di Tangan ‘Intelektual Pelacur’

Ambyarnya dunia intelektual kita juga bisa diteropong dari pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri. Melalui akun Twitter-nya, Firli membuka data lama. Menurut dia, pada 2015 tercatat bahwa 86 persen pelaku korupsi merupakan lulusan perguruan tinggi. Sedikitnya 10 profesor dan 200 doktor telah berstatus koruptor.

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Cuitan aktivis Haris Rusly Moti di Twitter pada Selasa (14/6) lalu, seharusnya membuat geger hati nurani bangsa ini. Jika apa yang Haris cuitkan itu benar, sejatinya (hati nurani) negeri ini tengah berada di tubir kebinasaan. Lalu kita pun mafhum, masa depan seperti apa untuk bangsa yang telah kehilangan nurani dan common sense, kecuali menjadi bangsa paria yang melata dalam pergaulan bangsa-bangsa lain di dunia. Tidak punya harga karena telah kehilangan wibawa dan martabatnya.

Darmawan Sepriyossa

Hari itu Haris mencuitkan serangkai twit yang berkaitan. Penulis kutip dengan editing sesuai kaidah baku bahasa Indonesia. “Sobat,”cuit Haris di twit pertama,”lembaga survei seperti (Haris menyebut sekian nama) dll.  Mereka disebut mainstrem bukan karena objektivitas metodologisnya, tapi lantaran di-back sumber dana yang melimpah, yang diduga mengalir dari oligarki, untuk mendikte publik (agar) mendukung bakal capres yang didukung oligarki jahat.”

Pada twit kedua, Haris menambahkan,”Sobat, lembaga survei dengan dana mainstream dari oligarki mengguyur hasil survei palsu di newslink hingga medsos,  untuk mendikte publik terkait calon presiden yang jadi kehendak oligarki. Mereka merusak seleksi kepemimpinan nasional berbasis gagasan jadi berbasis popularitas palsu.”

Sobat,”cuit Haris di twit ketiga,”di Amerika, ada banyak lembaga survei politik, tetapi lebih banyak lagi lembaga think thank. Ada 1.984 lembaga peneliti dan pemikir dalam berbagai bidang yang bekerja memperkuat kepentingan nasional Amerika sebagai imperium. Di Indonesia menjamur lembaga survei antek oligarki untuk menopang oligarki jahat.”

Kita berharap konstatasi yang Haris cuitkan tersebut lebih sebagai wanti-wanti, asumsi (seberapa pun kuatnya), dan belum menjadi bukti yang didukung data kredibel. Harapan yang didasari semata karena kecintaan kita semua kepada Indonesia, betapa pun mungkin terpuruknya ia di hari-hari terakhir ini.

Pada sisi kepedulian dan cinta akan bangsa inilah, tampaknya, kemudian pakar komunikasi Universitas Indonesia, Profesor Ibnu Hamad, berkomentar terkait twit Haris dan lembaga survei tersebut. Survei, kata Prof Ibnu dalam sebuah grup WA, adalah pengumpulan data berupa pendapat responden.  Pendapat responden tersebut terwujud dalam bentuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di kuesioner yang disiapkan surveyor. “Responden hanya menjawab pertanyaan yang ada dalam kuesioner yang didesain oleh surveyor. Pendapat responden bisa berubah dari waktu ke waktu sesuai dinamika internal dan eksternal diri responden,”kata Prof Ibnu.

Persoalannya, kata guru besar UI itu, meskipun semua orang menyadarinya, khalayak bahkan surveyor cenderung meyakini bahwa pendapat responden itu tetap sepanjang waktu, dengan kata lain, selamanya. “Keyakinan inilah yang dalam filsafat ilmu disebut dengan bebalisme pengetahuan,”kata Prof Ibnu.

Namun tentu saja cuitan Haris tak datang semata dari alam khayal. Terlalu telanjang, amat sangat banyak kasus dan contoh betapa di negeri ini kaum intelektual telah kehilangan martabatnya yang agung dan tinggi.

Dunia lembaga survei yang seolah telah menjelma ‘dunia terbalik-balik’ itu membuat pakar ekonomi cum aktivis Rizal Ramli mengatakan, banyak dari mereka mau berbohong untuk bayaran. Sembari menyebut beberapa nama terkemuka dari dunia survei, Rizal mengatakan dalam sebuah video yang diunggah CyberTV dan dimuat juga oleh-–antara lain–Makassar Terkini, bahwa dalam jaringan kebohong-an yang melibatkan buzzer dan hoaks, sejatinya pilar atau tiangnya adalah lembaga survei.

Rizal lantas menunjuk jejak kebohongan lembaga-lembaga survei itu dari–antara lain– margin of error mereka yang sangat besar pada saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 yang kental diwarnai perseteruan politik.

“Contohnya pada pemilihan Gubernur DKI yang terakhir, itu kesalahan ramalan sampai sembilan kali margin of error. Kalau penelitian yang benar, salahnya sesuai margin error plus minus 2,”kata Rizal. Menurut dia, lembaga-lembaga survei seperti itu jika di luar negeri pasti sudah hancur karena ketahuan rela melakukan kebohongan, bermental kerdil minus tanggung jawab moral.

Ambyarnya dunia intelektual kita juga bisa diteropong dari pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri. Melalui akun Twitter-nya, Firli membuka data lama. Menurut dia, pada 2015 tercatat bahwa 86 persen pelaku korupsi merupakan lulusan perguruan tinggi. Sedikitnya 10 profesor dan 200 doktor telah berstatus koruptor. “Lihat saja para koruptor yang dicokok KPK dan penegak hukum lainnya, sebagian besar dari mereka menyandang gelar sarjana, S-1, S-2, S-3, bahkan profesor. Rupanya gelar akademik tidak menjamin. Ada apa sebenarnya?” tulis Firli pada 8 April 2022, dengan nada gusar.

Peristiwa mutakhir, kasus yang melibatkan intelektual dan ekonom senior, Lin Che Wei, semakin menebalkan pesimisme kita soal runtuhnya martabat dunia intektual di Indonesia. Sebagaimana diketahui umum, Lin Che Wei saat ini merupakan tersangka kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor minyak kelapa sawit mentah dan turunannya. Padahal, Lin Che Wei merupakan bagian dari kaum intelektual dan dunia survei dan riset. Ia adalah pendiri Independent Research and Advisory Indonesia.

Dunia memang tak senantiasa adil. Berapa pun besar andil kalangan intelektual dalam membangun peradaban, menurut intelektual Prancis, Julien Benda, dosa terbesar kalangan ini tidak diperhitungkan berdasarkan jumlah kesalahan yang dibuat, tetapi oleh kebohongan dan ketakutan dalam mengungkapkan kebenaran yang mereka ketahui.

Sekali saja mereka gawal dengan melalaikan tanggung jawab, apalagi mengambil peranan yang bertentangan dengan perikeadilan dan kemanusiaan, saat itulah apa yang mereka lakukan layak disebut pengkhianatan intelektual. Le trahison d’es clerc, sebagaimana kemudian menjadi judul buku Benda.

Lebih ekstrem lagi, bagi sosiolog asal Hongaria, Karl Mannheim, ‘intelektual pengkhianat’ itu bahkan merujuk para  cendikiawan yang tidak terlibat dalam kerja-kerja praksis membangun  masyarakat.

Sulit untuk benar-benar mengerti mengapa para cendikiawan, kaum resi di masa lalu, bisa memiliki mental pelacur yang rakus dunia. Tetapi memang tampaknya itulah yang tengah menjadi pandemi di dunia intelektual kita. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Gadjah Mada, 14 Februari 2012, Profesor Heru Nugroho PhD menyatakan keresahannya terhadap dunia intelektual di Indonesia. Menurutnya, telah terjadi banalitas intelektual di berbagai kampus, termasuk di UGM.

“Secara sederhana banalitas intelektual di universitas ditandai dengan pendangkalan yang tidak disadari, disertai menurunnya kualitas akademik dan sekaligus merosotnya komitmen terhadap bidang ilmu yang digeluti oleh pada akademisi,”kata Prof Heru. Ada Sebagian dosen yang menurutnya kerap dijuluki dunia kampus sebagai ‘dosen asongan’. Mereka memiliki banyak pekerjaan lain di luar, sehingga tidak punya cukup waktu untuk beraktivitas di kampus. Macam-macam atribut dan profesi yang disandang akademisi tipe ‘asongan’ ini, misalnya menjadi staf ahli, staf khusus, konsultan, direktur, deputi, konsultan lembaga donor internasional, dll.

“Tugas utama mereka bukan lagi menjadi intelektual kampus, tetapi menggunakan alat-alat akademik untuk kepentingan-kepentingan ekonomi politik mereka,” kata Prof Heru.

Itu pula yang menjadi keprihatinan mendiang Prof. Cornelis Lay, dalam pidato pengukuhan dirinya menjadi guru besar di kampus yang sama, 6 Februari 2019 lalu. Saat itu Prof Cony mengatakan, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya. Ujian terbesarnya justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan, sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual: berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan. Karena hal itu berat, kata Prof Cony, banyak intelektual kesulitan menemukan jalan pulang saat mereka berada dalam lingkaran kekuasaan.

Benar kata filosof terkemuka Italia, Antonio Gramsci, tentang perbedaan besar dan mendasar antara intelektual dan pemikir upahan. Bagi Gramsci, seorang intelektual harus punya kesadaran untuk membebaskan. Sebuah kewajiban kalangan yang menurut Ali Syariati raushan fikr itu, sebagai  kewajiban moral untuk membuka selubung penindasan terstruktur, yang kadang tak lagi disadari khalayak. Karena itu, pandangannya pun harus selalu sebening, sejernih dan sejujur mata bayi. Dia diharapkan komit, kukuh, tegas tak gampang terbujuk. Sekali saja tergelincir, pamornya surut, dan sebagaimana kata Benda tadi, ia pun jatuh sebagai pengkhianat, bahkan–maaf— pelacur.

Dengan semua fakta itu, wajar bila bagi Ceslaw Milosz, kerinduan terdalam seorang intelektual seharusnya adalah bergerak bersama dan menggerakkan masyarakat.

Dalam terminology Alquran, sebutan untuk para intelektual pengkhianat itu bahkan lebih ekstrem lagi: anjing. Dalam Alquran, Tuhan berfirman:“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.” [QS  al-A’raf : 175-176].

Tentu saja setiap pribadi  (yang pernah mengalami sebagai) intelektual merasakan sisi romantis tersebut. Ketika terjebak dalam labirin dunia pragmatis ekonomi-politik, barangkali mereka senantiasa ingin pulang dan kembali. Namun saat itu ujian pastilah lebih berat lagi.

Untuk itu, bagi intelektual yang masih bertahan menghadapi godaan dan belum terperosok kehilangan martabat, satu hal perlu dihayati dengan intens. Sadari bahwa intelektual sejatinya juga adalah resi. Ia orang yang dihormati, wasit yang menengahi, yang memberi pikiran jernih saat semua kepala panas dan keruh. Makanya, manakala di tengah gejolak kisruh dunia ada resi yang bersedia turun  dari pertapaannya (legenda menyebutnya “resi turun gunung”), hal itu selalu menjadi peristiwa besar di tengah public di masa lalu. Ia dinanti, ia dihormati. [dsy]

Back to top button