“Pamitan Seorang Jejaka di Dini Hari 4 November”
Ibuku, limpahkan ridla berkahmu pada setiap hela nafas dan langkah kaki. Hanya ini cara Ananda menandai tempat berdiri. Sebab kini Ananda meyakini. Iman dan kecintaan juga butuh pembuktian.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Pada 4 November 2016, warga Jakarta turun ke jalan, menyuarakan isi hati mereka berkaitan dengan pernyataan Gubernur DKO Jakarta (saat itu) Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap memojokkan satu kalangan umat agama tertentu. Dari sini, sebagian orang kemudian menandai apa yang mereka sebut “demo berjilid-jilid”.
Sebenarnya, meski ungkapan berjilid-jilid mungkin dimaksudkan untuk menimbulkan ‘peyorasi’ tertentu, hal itu tidak seharusnya membuat mereka yang ditunjuk berkecil hati. Di sisi lain, itu justru menunjukkan komitmen yang kuat dan tekad yang teguh. Apalagi saat itu aparat hukum pun terkesan menunggu, entah apa yang dinanti. Selebihnya, kita tinggal mengklik Google untuk kembali mengingat apa yang pernah terjadi.
Pada aksi massa yang dikenal sebagai “411” itu, konon, jumlah massa yang datang membanjiri Jakarta berjuta-juta. Keterbelahan yang terjadi bahkan pada awak media, membuat setiap media punya angka berbeda. Bukan karena mereka meyakini, melainkan karena saat itu media pun pada mengambil sisi. Pengalaman yang semoga menjadi catatan bersama yang layak ditafakuri.
Pada saat itulah, saya sempat coba-coba sok menuliskan sebuah puisi, mengiringi langkah diri yang saat itu datang bergabung, untuk meliput aksi.
“Pamitan Seorang Jejaka di Dini Hari 4 November”
Seorang pemuda tanggung menemui ibunya. Ia baru usai sujud dan berdiri, menegakkan subuh paling hening selama ini
Di saku bajunya yang bersih tersembul kain. Jilbab putih yang ia minta malu-malu kepada teman karib di sekolahnya kemarin. Untuk ikat kepala, alas dahi saat akal tersungkur rata memuja-Nya, atau penghalang terik surya. Juga untuk menjaga ikatan rasa cinta. Siang nanti di jalanan seberang Istana Negara
Ibu, katanya malu-malu. Kuminta izinmu untuk tak berangkat ke sekolah menuai ilmu. Dengan ridlamu Ananda pamit. Dada Ananda tak selebar dunia untuk mendiamkan keagungan firman-Nya dinista. Maaf Ananda terlampau rendah untuk merasa mampu mengganti marwah agama dengan ludah dan kata-kata hina
Maafkan Ananda yang tak bisa menahan hati untuk bergerak seiring jalan dalam demonstrasi. Bergandeng tangan, berjalin hati dengan saudara-saudara sejati. Ananda hanya sebentuk batu bata, tapi izinkan untuk berbangga telah rela bersatu membangun tembok ukhuwwah yang padu
Barangkali, ya barangkali, ini akan menyempurnakan demokrasi negeri ini sebagaimana petuah para akademisi. Meski di sana, para pembenci kian memandang Ananda laiknya daki
Ibu, hari ini barangkali memang waktu yang ditunggu. Saat paling tepat untuk menziarahi keberadaan dan jati diri kota ini. Kota tempat darah membasah bumi demi keyakinan yang hakiki. Kota di mana kepergian para syuhada justru merabuk cinta, menumbuhkan asa. Seperti berpuluh tahun lalu, saat yang lama harus berganti baru
Ibu, barangkali pula Jumat ini adalah saat pembeda. Waktu untuk menegaskan cinta Ananda pada Sang Maulana dan agama yang ia bawa. Seperti nina bobok yang Ibu alirkan ke telinga dan seiring waktu meresap di jantung dan sumsum Ananda. Untuk menghidupkan amanatmu mencintai Al-Mustafa dan agamanya di sepanjang kehidupan kita
Ibu, inilah riyadhah Ananda. Menegaskan dalam gerak, nafas dan langkah seutuhnya dimana cinta Ananda berada. Inilah cara Ananda menghayati kerinduan pada Panutan yang selama ini terikatkan syair-syair Barzanzi. Ini pula cara Ananda menegaskan bukti
Ibuku, limpahkan ridla berkahmu pada setiap hela nafas dan langkah kaki. Hanya ini cara Ananda menandai tempat berdiri. Sebab kini Ananda meyakini. Iman dan kecintaan juga butuh pembuktian.
–Tebet, Subuh 3 Nov ’16– [ ]