Kesenjangan antara si kaya dan si miskin sudah melebar di Israel. Dalam masyarakat yang sudah sarat dengan ketegangan etnis antara Yahudi Mizrahi (keturunan Timur Tengah dan Afrika Utara) dan Ashkenazi (keturunan Eropa), masalah ekonomi dapat memicu lebih banyak gesekan sosial-ekonomi. Yuval Diskin, mantan kepala dinas intelijen internal Israel, Shin Bet, Oktober lalu menulis sebuah artikel di harian Yediot Ahronot berjudul “Di Ambang Perang Saudara”.
Oleh : Lily Galili*
JERNIH–Mungkin, “Perang saudara” (Civil War) adalah istilah yang paling sering terdengar dalam wacana Israel hari ini, dan itu bukan hanya kiasan. Itu adalah ekspresi kecemasan yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya. Jika kurang tegas: yang belum pernah dialami orang Israel sebelumnya.
Kedengarannya lebih tidak menyenangkan dalam bahasa Ibrani ketika istilah alternatif untuk “civil war ” adalah “brother’s war“, di negara yang membanggakan diri pada solidaritas internal ke tingkat yang orang-orang sebut satu sama lain sebagai “saudara” itu.
Tetapi bagi banyak orang Israel, perasaan persaudaraan itu sekarang telah hilang dan secara terbuka digantikan oleh kebencian, penghinaan, dan kengerian.
Apa yang dimulai sebagai penentangan terhadap perombakan yudisial yang kontroversial dalam bentuk “pembangkangan sipil” kini berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih besar.
Selama lebih dari dua bulan, ratusan ribu orang Israel telah berpartisipasi dalam protes mingguan dan pemogokan menentang perubahan peradilan, yang dipandang sebagai “reformasi” oleh pemerintah dan “kudeta” hukum oleh lawan.
Rencana tersebut–yang didorong oleh pemerintah ultranasionalis sayap kanan negara itu–dapat secara efektif mengikis check and balances pada pemerintah, dan memungkinkan negara semakin tergelincir ke arah otoritarianisme.
Tapi sementara pemerintah tetap tidak terpengaruh oleh protes, kebencian tumbuh membesar di kedua sisi. Sekarang lonceng peringatan “perang saudara” dibunyikan oleh para politisi, mantan kepala intelijen, pakar, dan bahkan diperhatikan oleh musuh bebuyutan negara itu.
Permainan menyalahkan siapa yang memulai sudah dimulai. Tidak ada yang tahu pasti apa atau kapan skenario ini akan terwujud, tetapi membicarakannya saja sudah cukup berbahaya.
Suasana beracun di Israel hari ini sejatinya telah ada di sini lebih lama dari yang berani diakui banyak orang. Pada bulan Maret 2021, setelah putaran keempat pemilihan parlemen yang tidak meyakinkan dalam waktu kurang dari dua tahun, sebuah acara satir populer “Eretz Nehederet” menayangkan sketsa komedi yang menakjubkan di mana seorang Israel yang cerdas secara jalanan memberikan solusi untuk kebuntuan politik.
“Cukup sudah”, kata karakter bernama Shauli. “Gagal semua. Bangsa ini kurang punya chemistry antarwarganya. Mari kita akhiri.”
“Satu-satunya solusi adalah perang saudara. Yahudi Sephardi melawan Yahudi Ashkenazi, kiri melawan kanan, kaya melawan miskin, religius melawan sekuler. Tidak masalah. Hanya bukan orang Arab… Jika mereka memilih, biarkan mereka berperang nanti melawan pemenang.”
“Sederhana saja. Anda bahkan tak harus menyatakan perang. Kita semua diperlengkapi (senjata) dengan baik. Semua orang di sini bertugas di dinas ketentaraan dan pastinya memiliki beberapa senjata yang tersisa di rumah.”
Saat itu monolog bergema dengan sambutan penonton Israel karena mereka menganggapnya lucu. Tapi mendengarkannya hari ini, sketsa itu terasa seperti ramalan menyeramkan yang kini kian menjadi kenyataan.
Baru-baru ini Yuval Diskin, mantan kepala dinas intelijen internal Israel, Shin Bet, mengeluarkan peringatan. Pada Oktober tahun lalu, beberapa hari sebelum pemilihan yang membawa pemerintahan ultranasionalis berkuasa, Diskin menulis sebuah artikel di harian Yediot Ahronot berjudul “Di Ambang Perang Saudara“.
Dia meramalkan, mendasarkan analisisnya disintegrasi kohesi sosial sudah berlangsung di Israel secara mengkhawatirkan. Banyak yang terkejut dengan keterusterangannya saat itu, dan bergegas menegurnya serta mencoba membuktikan bahwa dia salah.
Enam bulan kemudian, jajak pendapat menunjukkan sepertiga orang Israel sekarang setuju dengannya.
Sebuah survei yang diterbitkan Februari lalu, yang dilakukan oleh Institut Demokrasi Israel, menemukan bahwa sepertiga responden berpendapat bahwa perang saudara yang penuh kekerasan kemungkinan besar akan pecah. Persentasenya lebih tinggi di antara para pengunjuk rasa yang disurvei, mencapai lebih dari 50 persen.
Sekarang pun, di luar ancaman kekerasan fisik, perang kata-kata sudah berlangsung.
Para pengunjuk rasa membandingkan pemerintah dengan Nazi, sementara di sisi lain, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut mereka sebagai “anarkis”.
Dalam protes besar terakhir pekan lalu, polisi juga mengubah strategi pengekangan yang mereka terapkan sejak awal demonstrasi. Peserta dibubarkan dengan kasar oleh petugas berkuda, granat kejut, dan meriam air, yang seringkali digunakan secara sewenang-wenang. Lusinan terluka atau ditangkap aparat.
Di sisi lain, pengunjuk rasa juga dikritik oleh pemerintah dan anggota parlemen oposisi karena menghalangi Sarah Netanyahu, istri PM, keluar dari salon kecantikan, pekan lalu. Yair Netanyahu, putranya, menyebut hal itu sebagai upaya “hukuman mati” oleh “teroris”.
Akar di mana masyarakat Israel tersadarkan akan dirinya hari ini, dapat ditemukan kembali pada tahun 1995, ketika perdana menteri sayap kiri Yitzhak Rabin dibunuh aktivis sayap kanan, Yigal Amir.
Para ahli mengatakan perang saudara secara historis dimulai dengan pembunuhan profil tinggi, tetapi membutuhkan waktu untuk berkembang menjadi konflik habis-habisan. Apakah Israel sudah tiba pada saat itu?
Dua Israel
Gad Barzilai, seorang profesor di Universitas Haifa, melakukan penelitian ekstensif tentang indikator perang saudara. Dia memperkirakan Israel mungkin menuju ke arah itu sekarang.
“Orang-orang membawa citra yang salah tentang perang saudara,” kata Barzilai kepada Middle East Eye. “Ini bukan lukisan orang yang saling menggorok leher dengan kapak, bisa dalam berbagai bentuk.”
Guru hukum dan ilmu politik itu menjelaskan apa yang bisa terjadi: kegagalan komunikasi antarelit negara, kurangnya tokoh sentral dan institusi untuk bernegosiasi dengan pihak yang bersaing, atau ketidaksepakatan konstitusional seperti dalam Perang Saudara Amerika (1861-1865).
“Perang Saudara Amerika tidak hanya terjadi karena perbudakan,” kata Barzilai. “Antara 1830-1860, ada upaya untuk bernegosiasi antara selatan dan utara… Selama bertahun-tahun, kedua belah pihak gagal mencapai pemahaman konstitusional yang akhirnya berujung pada perang. Di sinilah saya melihat Israel sekarang, dalam krisis semacam itu.”
Kekhawatiran Barzilai dikonfirmasi oleh apa yang dia lihat sebagai “indikator sosial” yang biasanya mendahului perang saudara, yang menurutnya tumbuh di Israel saat ini. Yang paling utama adalah masalah keuangan, yang dirasakan dalam beberapa bulan terakhir karena krisis politik yang sedang berlangsung.
Kesenjangan antara si kaya dan si miskin sudah melebar di Israel. Dalam masyarakat yang sudah sarat dengan ketegangan etnis antara Yahudi Mizrahi (keturunan Timur Tengah dan Afrika Utara) dan Ashkenazi (keturunan Eropa), masalah ekonomi dapat memicu lebih banyak gesekan sosial-ekonomi.
Tapi bahaya perang saudara tidak datang dari akar rumput, kata Barzilai, melainkan dari otoritas yang bersaing. “Bayangkan situasi ketika hakim pengadilan tinggi menolak untuk bekerja sama dengan hakim yang ditunjuk oleh pemerintah ini, menganggap mereka ‘hakim politik’. Bagaimana jika ratusan hakim menolak untuk duduk bersama mereka? Apa yang akan dilakukan oleh asosiasi pengacara Israel?”kata dia.
“Bagaimana jika pemukim mendirikan pos ilegal baru di Tepi Barat yang diduduki dan tentara tidak diizinkan mengevakuasinya?”
Ini, Barzilai, akan mengarah pada “dua Israel” dengan “kedaulatan yang terbagi”, yang tanda-tandanya sudah muncul.
Retorika “dua Israel” ini—yang liberal-sekuler dan yang teokratis di sisi lain– kini menjadi lebih populer. Mereka adalah dua entitas yang terpisah; Israel dan Yehuda, atau Yudea, seperti di zaman kuno.
Perpecahan ini tidak serta merta memicu perang saudara, tetapi hal itu merangkum ketidakmampuan yang sangat dirasakan antara kubu-kubu Yahudi yang bersaing untuk hidup berdampingan di satu negara.
Al-Aqsa, bukan demokrasi
David Passig, seorang futurolog dan profesor di Universitas Bar-Ilan, telah meramalkan perang saudara di Israel selama bertahun-tahun. Dia percaya, bagaimanapun, bahwa “casus belli” (istilah Latin yang mengacu pada peristiwa atau tindakan yang digunakan untuk membenarkan perang) akan terjadi di Masjid al-Aqsa di Yerusalem Timur yang diduduki, dan bukan atas demokrasi, isu inti dari ketegangan serta protes massal di Israel saat ini.
Masjid Al-Aqsa adalah salah satu situs tersuci dalam Islam dan dipandang sebagai simbol budaya Islam dan Palestina. Ini disebut sebagai Temple Mount dalam Yudaisme dan suci bagi orang Yahudi.
Situs tersebut saat ini diatur oleh perjanjian status quo internasional yang menetapkan bahwa hanya umat Islam yang boleh beribadah di situs tersebut. Kelompok pemukim Israel, yang didukung oleh menteri dan anggota parlemen, telah mengadvokasi perubahan status quo selama bertahun-tahun, dan sering melakukan ritual di lokasi, didukung oleh pasukan Israel, yang jelas-jelas melanggar kesepakatan.
“Temple of Mount bagi banyak orang Yahudi di Israel adalah perwujudan dari apa Negara Yahudi itu. Tanpanya, negara kehilangan apa yang bagi mereka raison d’etre [tujuan atau alasan keberadaan],” kata Passig kepada MEE.
“Saya tidak yakin demokrasi memiliki arti yang sama. Kecuali– dan ada penafian — demokrasi berubah menjadi agama dan bukan hanya sistem pemerintahan yang dapat direformasi. Bukan tidak mungkin, tapi saya tidak melihat itu terjadi sekarang.”
Faktor lain yang membuat Passig skeptis bahwa protes saat ini dapat menyebabkan perang saudara adalah kurangnya keinginan yang sama untuk konfrontasi massa di kedua sisi perjuangan. Sejauh ini hanya demonstran pro-demokrasi yang merasa berjuang untuk menyelamatkan bangsanya, ujarnya, sementara skenario terburuk bagi pihak lain adalah membatalkan rencana perombakan peradilan.
“Saya ragu ‘pihak lain’ dapat dibujuk ke jalan karena reformasi peradilan,” kata Passing.
Namun, jika warga Palestina Israel bergabung dengan gerakan protes, maka itu bisa menjadi titik balik, tambahnya.
Warga negara Palestina di Israel mencapai hampir 20 persen dari total populasi. Mereka adalah kelompok pribumi minoritas yang menghindari pemindahan dengan kekerasan oleh milisi Zionis pada tahun 1948 dan tetap tinggal di tanah air mereka, yang kemudian menjadi Israel.
Kelompok HAM mengatakan mereka telah dipinggirkan dan didiskriminasi di Israel selama beberapa dekade, termasuk oleh lembaga negara yang ingin diselamatkan oleh protes saat ini, seperti Mahkamah Agung.
Meskipun mereka kemungkinan akan menjadi korban pertama dari “reformasi” pemerintah, mereka sebagian besar telah memboikot demonstrasi Zionis Yahudi yang terang-terangan. Beberapa warga Palestina mengatakan mereka telah dilarang atau dikecualikan dari protes.
Ketidakhadiran mereka yang mencolok berfungsi sebagai perisai terhadap kekerasan sayap kanan. Sejauh ini, ada pembatasan bawaan terhadap orang Yahudi yang memerangi orang Yahudi. “Jika massa Arab bergabung dalam protes, itu mungkin akan mengubah sifat konfrontasi,” kata Passig.
“Kehadiran mereka akan membangkitkan kemarahan kaum kanan radikal, dan kita menemukan diri kita berada dalam permainan bola baru. Sama dengan beberapa kerusakan fisik, bahkan tidak disengaja pada seorang pemimpin. Itu jelas akan membawa pihak lain turun ke jalan, ada banyak faktor yang kami tidak bisa mengendalikan atau memprediksi.”
Sebagian besar orang Israel masih tidak percaya perang saudara adalah pilihan, atau enggan mengakui pada diri mereka sendiri bahwa itu adalah kemungkinan yang sah. [Middle East Eye]
*Lily Galili, wartawan MEE di Tel Aviv, Israel