Crispy

‘Roti Hijau’ dan Penangkapan Kaum Gay di Hindia Belanda 1938

  • Di Batavia, laporan Roti Hijau hanya jadi pergundingan. Di Belanda, laporan itu mengundang perdebatan.
  • Hanya ada dua pilihan bagi kaum gay yang tertangkap; lari atau bunuh diri.

JERNIH — Suatu hari Oktober 1936, pelanggan majalah gosip De Ochtendpost — sebagian besar warga Belanda dan kulit putih yang bermukim di Batavia — dikejutkan oleh artikel investigasi tentang sekelompok besar kaum gay menggelar pesta seks dengan korban anak laki-laki di bawah umur.

De Ochtendpost, artinya Pos Pagi, bukan media arus utama (mainstream), tapi memiliki banyak pelanggan yang membuatnya tetap hidup. Frans Leidelmeijer, dalam artikel di situs javapost.nl, menulis isi majalah adalah desas-desus kehidupan masyarakat kulit putih Belanda. Pelanggan menyebut De Ochtendpost sebagai ‘Roti Hijau’ karena majalah dicetak di atas kertas warna hijau.

Hari itu, yang ditulis De Ochtendpost menjadi pergunjingan serius di kalangan pejabat tinggi Hindia-Belanda. Maklum, Roti Hijau menyebut sejumlah ambtenaar level atas ditengarai terlibat dalam pesta itu. Penulis laporan investigasi itu tak menyebut nama, tapi mengarahkan pembaca untuk menuding sejumlah orang.

Seperti biasa, laporan itu hanya menjadi bahan pergunjingan saat makan siang atau minum kopi pegawai Hindia-Belanda dan pemukim kulit putih lainnya. Nun jauh di Kerajaan Belanda, laporan De Ochtendpost membetot perhatian politisi Christelijke Staatkundige Partij (CSP) atau Partai Politik Kristen.

Politisi CSP berkirim surat ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda, meminta penjelasan soal laporan Roti Hijau. Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menggelar penyelidikan. Laporan penyelidikan dibuat Komisaris Utama P Deeker. Namun tujuan laporan itu semata untuk menenangkan emosi CSP.

Menurut P Dekker, keadaan LGBT di Hindia Belanda tidak terlalu buruk. Ia juga mengecam De Ochtendpost dengan menyebutnya Si Bodoh Hijau yang harus diajarkan melunakkan bicara. Kementerian Koloni Belanda menyampaikan laporan ini ke parlemen, tapi CSP tidak puas.

Menjadi Gay di Hindia-Belanda

Di Kerajaan Belanda sebelum Perang Dunia II, siapa pun tidak bisa terang-terangan menyebut diri gay dan berperilaku sebebasnya. Akibatnya, banyak kaum gay yang meninggalkan Kerajaan Belanda dan melanjutkan hidup di Hindia-Belanda, dengan harapan masyarakat kulit putih di tanah jajahan lebih longgar dan toleran.

Namun mereka tak belajar hukum tanah jajahan. KUHP Hindia Belanda mengkriminalisasi homoseksual dengan anak di bawah umur, ancaman hukumannya lima tahun penjara. Penduduk asli, alias Inlander, juga punya hukum adat dan hukum Islam.

November 1938, polisi Batavia menerima informasi bahwa seorang pejabat bernama W.G van E yang tinggal di hotel melakukan hubungan seksual dengan bocah laki-laki di bawah umur. Ia ditangkap, diinterogasi, dan mengakui perbuatannya.

Polisi menggeledah kamar hotelnya dan menemukan korespondensi dengan rekan sesama homoseksual di seluruh Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda. Polisi terbelalak.

Setelah interogasi lanjutan, tersangka menyebut lebih banyak nama. Bola salju bergulir, membesar, dan terus menggelembung. Sejumlah pria, yang namanya disebut tersangka, ditangkap dan disekap sepanjang malam Natal 1938 di Polsek Pasar Baroe. Di Bandung, seorang kepala sekolah bunuh diri setelah namanya disebut tersangka dan ditulis koran Java Bode.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) De La Parra melakukan perjalanan ke sekujur Jawa sesuai petunjuk yang disampaikan tersangka. Pada 27 Desember 1938 pihak Kejaksaan di Batavia mengirim telegram ke seluruh jaksa di Pulau Jawa, yang isinya instruksi penangkapan terduga kaum gay.

Pada 30 Desember 1938, atau tiga hari setelah surat itu keluar, terjadi penangkapan besar-besaran di Surabaya, Semarang, Malang, Salatiga, Bandung, Bali, dan beberapa kota di Sumatera.

Sebagai penguat tuduhan, kepolisian Hindia-Belanda juga menangkap pelacur laki-laki yang melayani kaum gay untuk memberi kesaksian. Kucing-kucing ini, julukan untuk pelacur laki-laki yang melayani kaum gay, berjumlah seratus.

Mereka tidak langsung dikurung, tapi dilepas dan harus siap dipanggil untuk memberi kesaksian jika ada penangkapan baru. Yang terjadi berikutnya adalah rumah tahanan kepolisian dan kejaksaan menjadi penuh sesak oleh kaum gay.

Tidak ada informasi pasti tentang jumlh kaum gay yang ditangkap. Sumber di kepolisian dan kejaksaan mengatakan 223 orang, terdiri dari orang Belanda, Indo-Eropa, Cina, dan pribumi. Profesi mereka beragam ambtenaar berpangkat tinggi sampai pekerja berketrampilan rendah.

Penangkapan terbanyak terjadi di Batavia, yaitu 60. Lainnya; Jawa Barat 38, Jawa Tengah 35, Jawa Timur 38, Kalimantan 2, dan Bali 8.

Menulari Pribumi

Pertanyaan berikut adalah dengan siapa kaum gay berhubungan seks? Biasanya dengan anak-anak pribumi dan Indo-Eropa berusia 16 sampai 20 tahun. Kontak seksuak dengan anak laki-laki di bawah 15 tahun hampir tidak ada.

Anak-anak pribumi dan Indo-Eropa yang bersedia menjadi pasangan mesum tetap diberi bayaran, penghidupan layak, dan fasilitas lain. Ada pula sekelompok kecil pribumi yang menjajakan diri dari rumah ke rumah orang Eropa.

Serdadu KNIL yang bergaji rendah tapi berkebutuhan besar juga terlibat dalam praktek menjajakan diri untuk kaum gay Eropa dan Belanda. Lainnya adalah transgender, atau bencong, pribumi.

Di mana pelacur lanang ini beroperasi? Di Batavia, mereka mangkal di sekitar Molenvliet — kini Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk — dan sekitar Koningsplein, kini Jl Medan Merdeka. Di Surabaya, mereka mangkal di sekitar Kali Mas.

Milisi KNIL yang bukan pelacur profesional dan sesekali menawarkan jasa beroperasi di Wilhelmina Park, di depan Gereja Katedral. Rekan mereka yang bertugas di Bandung dan Surabaya lebih aktif menjajakan diri.

Selain tempat mangkal terbuka, ada sejumlah tempat pertemuan kontak, yaitu di Kramatplein, persimpangan Jl Raya Kramat saat ini, dan benteng lama Nordwijk di Weltevreden atau Sawah Besar, Jakarta Pusat saat ini.

Ada cerita tentang kaum gay Eropa yang membawa pacar mereka yang pribumi ke rumah mereka dan mempekerjakannya sebagai djongos, atau pembantu rumah tangga. Pacar pribumi sedikit berpendidikan diberi pekerjaan sebagai sekretaris, juru tulis, dan lainnya.

Menjadi pacar kaum gay Eropa membuka peluang bagi pribumi untuk mendapat pendidikan Belanda. Ada pula yang dibawa sampai ke Belanda, dan diterima oleh keluarga kaum gay sebagai menantu.

Bunuh Diri atau Lari

Hanya ada dua pilihan bagi kaum gay Belanda dan Eropa yang tertangkap dan tak ingin diadili; bunuh diri atau melarikan diri.

Beberapa memilih yang pertama. Lainnya melarikan diri. Yang melarikan diri adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai di kantor pemerintah kolonial. Mereka minta cuti dan tak kembali.

Hanya 20 orang yang diadili tapi dibebaskan dengan alasan kurang bukti. Puluhan lainnya dijatuhi hukuman penjara dua bulan sampai dua tahun. Para kucing, atau penjaja seks untuk kaum gay, menghilang dari jalanan karena berada di bawah pengawasan pro-Juventute.

Setelah pengungkapan kasus ini, muncul pertanyaan mengapa semua itu bisa terjadi?

Kaum gay telah ada di pemerintahan Belanda, terutama di kalangan pejabat tinggi kolonial, sejak lama. Ketika skandal mereka terendus, pemerintah kolonial menutup mata. Artinya, kaum homo bisa tinggal aman di Hindia-Belanda sepanjang tidak mengumbar hasratnya di jalan-jalan.

Setuasi berubah ketika memasuki tahun 1930. Kaum gay Belanda diam-diam membanjiri Hindia-Belanda, tinggal di kota-kota di Pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Mereka mengisi posisi-posisi penting di pemerintahan Hindia-Belanda

Akibatnya, isu homoseksual menjadi kudapan sehari-hari masyarakat Belanda. Bahkan, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborch Stachhouwer mencurigai menantu lelakinya seorang berkecenderungan biseksual.

Ia mempercayai desas-desus itu dan melontarkan kalimat kasar khas Groningen saat marah; “Orang itu pasti deruut.” Sayangnya, tidak ada terjemahan pasti kata ‘deruut’ di Google Translate.

Back to top button