Jejak Hitam Debat Politik
Seorang pendebat, selain bertahan dengan seluruh ‘senjata’ yang ia punya, juga wajib mengetahui dengan detil pendebat lain yang merupakan ‘lawan’ debatnya. Seperti Natsir yang paham Kasimo, dan Kasimo yang ndalemi Natsir. Seorang pendebat, tak bakal hebat, jika ia bermental mengerdilkan orang lain. Seorang pendebat, bakal terhormat, jika ia ‘membunuh’ dirinya sendiri, lalu besarkan orang lain yang merupakan lawannya.
Oleh : Indra J Piliang*
JERNIH– Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia sudah menetapkan jadwal dan tema debat antartiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pilpres 2024. Debat terbagi atas tiga kali untuk capres dan dua kali untuk cawapres. Sekalipun yang berdebat capres atau cawapres, pasangan masing-masing juga dihadirkan. Polemik sempat terjadi antara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka versus Tim Nasional (Timnas) Anies Rasyid Baswedan – Muhaimin Iskandar.
Sejak Pilpres digelar tahun 2004, pun dilanjutkan Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2005, debat sudah menjadi agenda wajib. Pilkada Serentak tahun 2020 dalam masa pandemi Covid 19, malah berlangsung secara virtual, tanpa kehadiran tim sukses atau pendukung masing-masing pasangan calon di arena debat. Seluruh bentuk pengerahan massa, baik pertemuan terbatas atau kampanye terbuka, dihilangkan sama sekali. Partisipasi pemilih tak turun drastis.
Dari segi manajemen penyelenggaraan, materi, hingga teknologi yang digunakan, Indonesia sudah jauh melampaui sejumlah negara demokrasi berbasis elektoral lain. Belum lagi aktivitas warga negara RI di pelbagai platform media sosial, sudah sangat tinggi, heboh, dan viral. Politik bukan saja masuk dan terhidang di meja sarapan pagi, sebagaimana berlangsung di kalangan aristokrat, tetapi bisa dimana saja, kapan saja, tentang apa saja, dengan melibatkan siapa saja. Egalite!
Tetapi seluruh kehebatan itu terasa sirna, kalau dilihat secara lebih dalam lagi terkait apa yang disebut debat, apalagi debat dalam kancah pemilihan umum. Di luar agenda resmi debat dalam masa pilpres dan pilkada, sama sekali publik terasing dari segala sesuatu yang menyangkut debat, baik teoritis ataupun praktis. Pedagogi politik bukan saja hitam, tetapi juga ringkih dalam menjalankan kurikulum debat.
Lima kali debat berlangsung tanggal 12 Desember dan 22 Desember 2023, 7 Januari, 21 Januari dan 4 Februari 2024. Teori dan praktik umum yang berlangsung di banyak negara, tema sangat dibatasi. Pilpres Indonesia 2024 menampung seluruh ‘comberan’ tema. Substansi debat sangat detil. Batasan ‘kekuasaan’ pemerintah pusat dan pemerintah daerah, beserta seluruh kewenangan dan urusan yang dimiliki, dibawa ke panggung debat.
Bukan saja soal-soal makro, tetapi juga mikro dan nano. Tak hanya soal-soal primer, bahkan juga sekunder, tersier, bahkan hingga gimmick. Tak hanya soal pajak digital dan pajak karbon yang digelar dalam waktu berbeda, begitu juga tentang masyarakat adat dan hoaks. Tercatat sekitar 32 tema yang diperdebatkan alias lebih dari enam tema dalam sekali debat. Yang lebih unik lagi, bukan saja terkait pengelolaan APBN, tetapi juga APBD.
***
Almarhum ayah kami, sejak kecil sudah mengajarkan banyak hal terkait dunia luar. Kegiatan ‘pengajaran’ itu berlangsung di meja makan keluarga. Ayah yang lahir tahun 1935, sudah menjadi sekretaris Partai Masyumi dalam Pemilu 1955, di usia 20 tahun. Generasi ayah sangat terdidik dalam soal politik. Buya Syafii Maarif juga kelahiran tahun 1935. Radio yang kami dengarkan juga BBC Inggris atau ABC Australia. Dari ayah saya tahu, betapa debat-debat politik, apalagi yang bersifat resmi, di negara-negara demokrasi Barat itu sangat terbatas dari sisi tema. Yang paling saya ingat, ‘Paling soal pajak, naik atau turun.’ Baik ayah, apalagi Buya Syafii Maarif, sangat senang ditantang berdebat.
Kalau belajar lebih jauh terkait kelahiran negara-negara demokrasi, terutama sejak Revolusi Perancis, sudah barang tentu menyangkut pengelolaan keuangan negara. Demokrasi yang lahir dari kaum borjuis ini membutuhkan keterwakilan. ‘Tiada pajak tanpa perwakilan,’ begitu pamflet terkuat dalam Revolusi Amerika yang juga didukung kaum revolusioner Perancis.
Dukungan kuat kalangan filantropis dari kelompok teosofi Belanda terhadap anak-anak Kaum Boemi Poetra guna melanjutkan pendidikan di Belanda dan Eropa, juga berdasarkan prinsip utang budi dan politik etis ini. Sekalipun anti Marxis, mereka juga yang mencarikan pengacara, tatkala Mohammad Hatta diadili. Begitu juga pembentukan Volksraad.
Sebelum penyelenggaraan Pilpres dan pemilu legislatif disatukan, agenda debat antar juru bicara partai-partai politik berlangsung meriah di media, terutama televisi dan radio, termasuk di kampus-kampus. Konstruksi konstitusi RI menempatkan supremasi legislatif atas eksekutif (legislative heavy). Publik bisa membedakan visi, misi, dan program masing-masing partai politik. Fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan legislatif mengapungkan nama-nama politisi legislatif nasional yang mumpuni dan disegani. Tak terkesan parlemen semata hanya pusat lobby, apalagi underdog dibanding eksekutif.
Hampir sepuluh tahun terakhir, konstruksi konstitusi itu terasa kian lemah, bahkan bisa jadi lenyap. Berjibun nama politisi hebat, kini sekadar deretan huruf dan angka, dalam daftar tim kampanye capres dan cawapres.
Tema debat yang banyak, semrawut, dan ugal-ugalan seperti terbaca dalam proses dan tahapan Pemilu 2024 ini, juga membawa konsekuensi yang lebih buruk. Mana yang kelompok kritis, kelompok penekan, hingga kelompok kepentingan, tak lagi bisa dibedakan. Sedikit sekali suara politisi organis muncul ke dalam pusat-pusat narasi politik. Suara kalangan yang menyebut diri sebagai kelompok independen, tetapi bebas merdeka menjadi kelompok relawan, justru sangat dominan. Bahwa fungsi utama partai politik adalah manajemen konflik, makin pudar. Kebebasan kalangan independen ini begitu tinggi dalam menghujat kalangan politisi. Tetapi mereka juga bukanlah kaum anarki yang anti demokrasi elektoral. Mereka berselancar dalam buih, gelombang, ombak, hingga taufan dan badai demokrasi.
***
Seingat saya, satu-satunya organisasi kemahasiswaan di Universitas Indonesia yang melatih diri dalam debat adalah English Debating Society (EDS). Gagasan pendirian DBS ini berasal dari Hisar Maruli Manurung yang terpilih sebagai the best Debater dalam The 2nD ALSA English Competition 1996 di Kualalumpur, Malaysia. Achmad Noerhoeri Soekarsono dan Patsy Widiakuswara mematangkan organisasi yang tercatat resmi berdiri pada 5 Mei 1996 ini. Patsy kini berkiprah sebagai jurnalis VOA di Washington DC.
Tentu saya kenal Hisar Maruli Manurng dan Achmad Noerhoeri secara pribadi. Berdua Maruli, saya dikirim mengikuti Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa Tingkat Menengah di Universitas Sriwijaya tahun 1994. Bersama Achmad, kami aktif di pers kampus, termasuk Majalah Suara Mahasiswa UI. Bersama Budi Arie Setiadi (Muni) dan almarhum Ihsan Abdussalam, kami pernah mewawancarai dan ‘berdebat’ dengan Pangdam V Jaya Hendro Priyono di ruang kerjanya.
English Debating Club UI menjadi peletak dasar dari apa yang disebut dengan debat dalam dimensi internasional. Praktik debat yang digunakan mahasiswa, baik dalam lomba ilmiah, atau kegiatan pemilihan pimpinan organisasi mahasiswa intra kampus, perlahan mengalami perubahan. Soalnya, sekalipun memiliki prestasi sejak sekolah dasar, pengalaman yang pernah ditempuh oleh mahasiswa UI terbatas pada Lomba Cerdas Cermat dalam berbagai topik.
Dalam debat, sekalipun Anda adalah seseorang yang agnostik, ketika dalam ‘botol undian’ mendapatkan pertanyaan ‘bagaimana Anda menjelaskan tentang eksistensi setan dan malaekat dalam komunitas majemuk seperti Indonesia?’, tentu Anda wajib tampil lebih hebat dari seorang ustadz, pendeta, juga biku. Seluruh argumen teologi wajib Anda ungkit dan hidangkan, bukan saja dari sudut kitab-kitab suci agama-agama samawi, tetapi sekaligus yang masih dibungkus sebagai ‘agama asli’ Nusantara.
Dan usai menjelaskan itu semua, dewan juri dan mahasiswa UI yang menonton tak bakal memberi label betapa Anda sudah ‘bertobat’ atau ‘pindah agama’. Seorang pendebat yang baik adalah orang yang bahkan sangat yakin dan tak sadar, telah tampil bukan sebagai dirinya sendiri sebagaimana orang-orang mengenali.
Tentu saya tidak tahu klub-klub debat di kampus yang lain. Saya lahir sebagai mahasiswa yang aktif di gerakan mahasiswa, teater, kelompok studi, dan pers kampus. Tak suka politik, apalagi berpolitik, bahkan ‘sinis’ kepada status orang-orang yang suka berdebat. Sikap yang ternyata bukan milik saya sendiri, tetapi generasi saya!
Dan akibat dari kesinisan generasi kami itulah, nomenklatur tentang debat kini koyak-moyak dalam sobekan sejarah. Lebih jauh lagi, tanpa mengerti, emoh memahami, dan tak terkontaminasi dengan kehidupan seseorang yang ahli debat dalam kurikulum debat berjenjang, dari kampus hingga partai politik, sesungguhnya yang terbentuk adalah manusia-manusia raksasa dan raksasi di dunia pewayangan.
Kenapa? Seorang pendebat, selain bertahan dengan seluruh ‘senjata’ yang ia punya, juga wajib mengetahui dengan detil pendebat lain yang merupakan ‘lawan’ debatnya. Seperti Natsir yang paham Kasimo, dan Kasimo yang ndalemi Natsir. Seorang pendebat, tak bakal hebat, jika ia bermental mengerdilkan orang lain. Seorang pendebat, bakal terhormat, jika ia ‘membunuh’ dirinya sendiri, lalu besarkan orang lain yang merupakan lawannya.
Jadi, mau apa bangsa ini dengan lima kali debat Capres dan Cawapres nanti? [ ]
*Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara