Mengingat Akar Sejarah
Istilah sejarah itu berasal dari bahasa Arab, artinya pohon. Adapun gerak tumbuh suatu pohon sangat ditentukan oleh daya topang akarnya. Maka, hendaklah kita senantiasa mengingat dan merawat akar sejarah.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, selama sepekan kemarin saya melakukan perjalanan ke belahan timur Indonesia. Bermula dari Manado dan berakhir di Maluku Utara, melacak jejak-jejak sejarah yang menjadi akar ke-Indonesiaan.
Istilah sejarah itu berasal dari bahasa Arab, artinya pohon. Adapun gerak tumbuh suatu pohon sangat ditentukan oleh daya topang akarnya. Maka, hendaklah kita senantiasa mengingat dan merawat akar sejarah.
Di Manado, saya tak lupa berziarah ke makam Imam Bonjol–seorang pahlawan nasional berasal dari Sumatera Barat dan meninggal dalam pengasingan di daerah Lota, Minahasa.
Di Maluku Utara, saya menjadi pembicara dalam diskusi buku “Mozaik Rempah” di Ternate. Sebuah buku yang membawa ingatan kita ke “titik nol” jalur rempah dunia–pusat komoditas terpenting pada masanya yang telah menimbulkan perubahan besar dalam sejarah dunia. Sehingga beberapa petilasan jalur rempah di Maluku Utara dan Maluku layak dinobatkan sebagai situs warisan dunia.
Saya juga berkesempatan mengunjungi keraton Kesultanan Tidore dan diterima oleh Joajau (Perdana Menteri), Yang Mulia Bapak Amien Faroek. Empat kesultanan di Maluku Utara menjadi penyangga penting bagi integrasi keindonesiaan. Khusus Kerajaan Tidore, jejak pengaruh kekuasaannya terentang jauh hingga ke tanah Papua. Tata kelola negaranya sudah sangat maju. Kekuasaan tak bergantung pada monarki absolut. Di sana sudah mengenal perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Dan praktik demokrasi perwakilan melalui mekanisme musyawarah antarelemen representasi sudah menjadi tradisi.
Oleh-oleh dari perjalanan ini bisa saya simpulkan bahwa kuatnya tenunan rasa kebangsaan tidak sekadar mengandalkan pasak besar organisasi politik dan birokrasi negara, melainkan oleh rajutan serat-serat tipis keindonesiaan. Serat tipis yang memediasi fusi antar-horison, menyatukan rantai ingatan dan lapis/elemen tradisi, serta memantik kesukarelaan inisiatif ragam agen sosial dalam usaha menyelesaikan problem-problem konkret kewargaan dengan semangat keadaban publik yang non-diskriminatif. [ ]